Minggu, 12 Mei 2024 | 14:50
OPINI

Melangkah Kembali Surakarta Menjadi Daerah Istimewa Surakarta (DIS)

Melangkah Kembali Surakarta Menjadi Daerah Istimewa Surakarta (DIS)

Oleh Kanjeng Senopati *)

MAHA PATIH atau Panembahan Agung Gusti Tedjowulan dalam hal ini sebagai Perdana Menteri Kerajaan Putra Dalem Sinuwun PB XII beberapa waktu lalu pernah melalui kontak dengan penulis via WA. 

Penulis menyampaikan masalah DIS untuk mengingatkan kembali kepada beliau. Bahwa dulu Surakarta pernah berstatus Daerah Istimewa yang diperjuangkan oleh ayahandanya Paku Buwono XII.

Penulis melihat kedepan Surakarta harus diperjuangkan Wacana Luhur ini untuk menuntut kembali status Surakarta sebagai DIS oleh para sentono dalem, abdi dalem, kawulo dalem dan seluruh masyarakat Surakarta agar negeri Surakarta kembali menjadi Daerah Istimewa Surakarta (DIS) yang dulu pernah ada seperti halnya Jogja, tapi akan ada hambatan berat dan dihalangi oleh pemerintah pusat wacana luhur tersebut.

Karena bisa jadi pemerintah pusat mempunyai "kepentingan" dibalik itu semua, yaitu untuk membentuk "provensi baru" yang bernama ProVensi ex Karisidenan Surakarta ini yang dimaukan oleh para segelintir Oligarkis, Kapitalis dan aseng untuk kepentingan politis dan kepentingan "keluarga istana".

Jangan sampai ada diantara para Sentono Dalem yang mendukung "wacana hitam"  tersebut. Para Sentono Dalem harus menolak wacana tersebut karena ini merupakan "Trouble Maker" dan ancaman bagi eksistensi Dinasti Mataram itu sendiri.

Alhamdulillah jika beliau Gusti Tedjowulan mendukung dan sedang di wacanakan kembali untuk memperjuangkan kembli ke arah DIS. ini mohon dukungannya dari semua pihak kawulo dan komponen masyarakat  demi menyelamatkan pamor dan marwah Dinasti Mataram Kraton Kasunanan Surakarta sebagai Center of Javanese cultural identity (Pusat Identitas Kultur Budaya Jawa).

Status DIS (Daerah Istimewa Surakarta) masih berlaku saat ini hanya masih dibekukan karena adanya instabilitas politik saat itu mengakibatkan adanya situasi yang darurat pada waktu itu. Maka untuk sementara waktu Surakarta dianggap sebagai daerah Karisidenan sampai hari ini.

Tuntutan kota Solo sebagai kota budaya dan kota pelajar akan lebih tepat bila Solo menjadi Daerah Istimewa Surakarta (DIS) seperti DIY di Yogyakarta. Usulan ini pernah diserukan beberapa tahun lalu di Kasunanan Surakarta. Karena dalam sejarah, status Daerah Istimewa pernah melekat di Surakarta.

Menurut sejarawan UGM Prof Dr Djoko Suryo. Di awal-awal bulan Republik ini berdiri, Surakarta memang pernah diakui Surakarta pernah menjadi Daerah Istimewa. Status itu melekat sejak sekitar September-Oktober 1945. Sebelumnya, Pakubuwono XII bersama dibantu oleh Pangeran Soerio Hamidjoyo Putro Dalem PB X (kakek penulis) yang saat itu beliau sebagai anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) mengeluarkan maklumat 1 September 1945 yang isinya antara lain menyatakan, Negeri Surakarta Hadiningrat yang bersifat Kerajaan adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia.

Tapi kemudian dalam perjalanan sejarah, ada yang membedakan nasib Surakarta dan Yogyakarta, terjadi peristiwa, yakni terjadi gerakan-gerakan revolusi sosial yang merupakan gerakan "Antiswapraja" (kelompok anti Trah Kerajaan) dengan alasan anti feodalisme yang didalangi oleh para tokoh kaum kiri Komunis cikal bakal PKI Solo dan Boyolali sambung staf pengajar UGM itu.

Gerakan Antiswapraja (anti kerajaan) yang didukung oleh kelompok kiri yang dipimpin oleh Tan Malaka golongan radikal kiri sosialis komunis itu muncul pada sekitar Oktober 1945 hingga Maret 1946 dari parti MURBA.

Kelompok itu bahkan menculik dan membunuh Pepatih Dalem Kasunanan KRMH Sosrodiningrat. Orang-orang yang pro terhadap gerakan antiswapraja membuat kegaduhan, kemudian memberontak dan menduduki posisi Bupati.

Pada Maret 1946, Pepatih Dalem yang baru yakni KRMT. Yudonagoro juga diculik dan kemudian dibunuh oleh gerombolan Antiswapraja. Pada bulan berikutnya, pejabat Kepatihan mengalami hal yang sama.

Pangeran Soerio Hamidjoyo (kakek penulis) putra sinuwun PB X sebagai "sang Grand Disign DIS" dan anggota BPUPKI juga pernah diculik gerombolan PKI anti Swapraja (anti kerajaan) sampai 1 minggu lebih lamanya dan juga diancam akan dibunuh.

Yang dimasalahkan adalah selain mereka anti swapraja rencana kedatangan Van der Plas seorang pejabat teras Belanda ke Keraton, dimana beliau GPH. Soerio Hamidjoyo difitnah memprakarsai kedatangan tokoh Belanda tersebut.

Namun begitu Komandan Markas Tinggi (MT) Tentara Indonesia yang waktu itu ada di Jogya dengar kalau putra sinuwun PB X Pangeran Soerio Hamidjoyo di culik oleh kelompok kiri Komunis langsung kirim beberapa Perwira dan tentara untuk menyerbu gerombolan Antiswapraja membebaskan Pangeran Soerio Hamidjoyo, Alhamdulillah keluarga bersyukur.

Dalam deretan jejak rekam sejarah kelam kelompok kiri Komunis Solo selalu saja menghalangi eksistensi DIS dan kelompok kiri membikin masalah dengan keluarga kerajaan Kasunanan dan umat Islam Solo.

Mengapa Kasusunan Surakarta tidak bisa seperti Kesultanan Jogja dalam mensikapi ini?

Kala itu Sunan di Surakarta masih muda beliau sehingga dianggap tidak sesigap dan sematang Sultan di Yogya di awal-awal bergabungnya dengan Republik ini. Inilah sebagai alasan usang atau kamuflase yang memunculkan ketidakpuasan dari gerakan Antiswapraja.

Daerah Istimewa Surakarta (DIS) yang sudah didirikan oleh PB XII kemudian dibubarkan lantaran banyaknya kasus penculikan dan kekerasan terhadap sejumlah sentono dalem atau putro dalem sebagai pejabat Kasunanan.

Untuk mengantisipasi tindakan teror tersebut maka Pemerintah Soekarno menjadikan daerah Surakarta sementara sebagai daerah pemerintahan residensi, maka terbentuklah yang sekarang bernama "Karesidenan Surakarta".

Saat itu pimpinannya Residen dan bukan lagi seorang Sunan atau Raja dari Keraton tapi seorang Walikota biasa.

Kecelakaan masa lalu lah yang membuat Surakarta kehilangan status Daerah Istimewanya. Dan saat ini jaman sudah berubah, lain dulu lain sekarang karena dulu negara baru mengalami transisi menuju kemerdekaan maka lumrah masih rawan kondisi masyarakat belum kondusif seperti sekarang. Berbeda pada jaman ini.

Di Yogya gerakan Antiswapraja tidak ada. Karena peranan umat Islam militan dari para Santri dan ulama di kesultanan Jogja begitu besar dan lebih kuat timbang di Surakarta. Para ulama Jogja sangat mendukung agar sistem pemerintahan Jogjakarta di kelola oleh Sultan kerajaan atau sistem monarki.

Kasusnya sekarang pada Surakarta adalah dulu DIS pernah pernah berdiri kemudian alasan instabilitas politik maka DIS "dibekukan" oleh Soekarno, bukan dihapus. Lalu masa pemerintah sekarang dituntut diminta kembali status DIS itu.

Pemerintah pusat rezim Bung Karno memang sengaja tidak mau menumpas gerakan kiri Komunis Anti Swapraja, malah status Daerah Istimewa Surakarta yang telah memberikan dukungan dan kontribusi kepada Soekarno dan republik dihilangkan oleh Seokarno.

Padahal dahulu presiden Soekarno datang menghadap kepada Paku Buwono XII dengan sedikit merengek² meminta restu untuk mendirikan republik Indonesia dan Soekarno telah mendapat sumbangan besar dana dari dinasti Kasunanan Surakarta. Kraton Kasunanan Surakartalah pertama kerajaan yang awal lebih dulu merestui Indonesia menjadi republik, sehingga turunnya Maklumat.

Ini adalah bentuk penghianatan rezim Soekarno terhadap kerelaan dan keikhlasan Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat untuk membantu, mensuport dana dan mau bergabung kedalam republik NKRI.

Untuk menentukan posisi Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kadipaten Mangkunegaran setelah tidak adanya Pemerintah Daerah Istimewa Surakarta, maka pemerintah pusat Republik Indonesia menerbitkan Penetapan Pemerintah No.16/SD/46 tertanggal 15 Juni 1946.

Yang isinya menyebutkan bahwa sebelum bentuk Pemerintah Daerah Kasunanan dan Mangkunegaran ditetapkan dengan Undang-undang, untuk sementara Surakarta dipandang sebagai Daerah Karesidenan seperti halnya daerah-daerah lain yang dipimpin oleh seorang Residen yang berwenang memimpin segenap pamong praja (pegawai pemerintahan) dan aparat keamanan (polisi). 

Sejak itu, wilayah Surakarta yang sebenarnya dimiliki oleh Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kadipaten Mangkunegaran hanya berstatus sebagai sebuah karisidenan yang menjadi bagian wilayah Provinsi Jawa Tengah. 

Sri Susuhunan Pakubuwono XII dan Sri Paduka Mangkunegeoro VIII tidak lagi berwenang dalam hal politik dan pemerintahan dan tidak memiliki integritas penguasaan wilayah, kedua raja besar itu hanya didudukkan sebagai simbol Pemangku Adat dan Pelestari Budaya semata.

Beberapa tahun lalu pernah puluhan orang dari Komunitas Masyarakat Pendukung (KMP) Daerah Istimewa Surakarta (DIS) menggelar aksi mendukung Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Mereka juga menuntut agar Surakarta kembali menjadi Daerah Istimewa Surakarta (DIS) seperti pada tahun 1945.

Aksi ini diprakarsai para Abdi dalem Kasunanan yang berasal dari wilayah Klaten, Sukoharjo, Boyolali, Karanganyar, Sragen dan Wonogiri. Alasannya saat Indonesia merdeka, kerajaan di Yogyakarta dan Surakarta memiliki historis sejarah yang sama dan menyatakan diri bergabung kepada Republik Indonesia.

Hal itu dilakukan oleh Ingkang Sinuhun Susuhunan Paku Buwono XII. Pemerintah Indonesia waktu itu kemudian mengakuinya secara resmi seperti yang tercantum dalam Surat Maklumat 1 September 1945 yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno.

Tapi kemudian pengajuan DIS diajukan lagi oleh para Sentono Dalem pada tanggal 27 Maret 2014 tapi ditolak oleh MK (Mahkamah Konstitusi) dengan dasar penguat membawa Surat Maklumat tanggal 1 September 1945 oleh Paku Buwono XII sebagai dasar hukumnya.

Penolakan ini didukung oleh Roy Suryo yang waktu itu Menteri Pemuda dan Olahraga yang juga mengaku masih kerabat Pura Pakualaman Yogyakarta.

Roy Suryo menolak gugatan yang waktu itu diajukan KP Edhy Wirabhumi sebagai Ketua Eksekutif Lembaga Hukum Keraton Surakarta dan Gusti Raden Ayu Koes Isbandiyah sebagai putro dalem ahli waris mendiang Paku Buwono XII. Karena mereka menggugat aturan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah.

Menurut Roy Suryo, yang paling berhak mengajukan permohonan pembentukan Daerah Istimewa Surakarta adalah Raja Surakarta, yaitu Paku Buwono XIII Hangabehi atau Mahapatih Gusti Tedjowulan. "Kalau beliau berdua yang mengajukan dan didukung keluarga besar dan kerabat keraton, mungkin keputusannya akan lain," ujar _Roy Suryo.

Salah seorang anggota Lembaga Dewan Adat Keraton Surakarta, Satriyo Hadinagoro, menilai keputusan MK Mahkamah Konstitusi sangat lemah karena alasan melihatnya saat kondisi negara Indonesia masih awal merdeka, yang memang wajar masa transisi saat itu masih rawan belum kondusif dan pola pokir masyarakat awal kemerdekaan belum stabil tidak sama seperti masa sekarang.

Saat ini negara telah merdeka maka sudah tidak ada alasan dan hambatan lagi untuk merealisasikan kota Surakarta sebagai DIS (Daerah Istimewa Surakarta) kembali dengan pertimbangan kultur dan filosofi masyarakat yang memiliki kesamaan sejarah dan memiliki kultur kerajaan tertua Solo dan Jogja sebagai aset nusantara dalam upaya melestarikan dan menghidupkan kembali pemerintahan monarki di daerah.

Menurut penulis daerah Surakarta lebih baik akibatnya dan kondisinya bila dipimpin kembali oleh seorang raja (Sunan) seperti Jogja layaknya.  Daripada kota Surakarta dipimpin oleh seorang walikota seperti saat ini yang pemilihannya penuh dengan money politik dan kepentingan politik oligarki melalui cara pemilu pilkada yang hanya mentradisikan ke masyarakat praktek suap menyuap dan manipulasi. 

Para oligarkis dan kapitalis bisa sangat mendominasi karena yang berkuasa adalah yang memiliki uang terkuat. Akan hilang marwah dan barokah dari keraton bila Surakarta dikuasai orang² seperti ini. 

Sistem Karisidenan dengan pemilihan melalui pilkada pimpinan walikota atau bupati sebenarnya SANGAT TIDAK TEPAT bila diterapkan di daerah kota yang berkultur kerajaan seperti Surakarta dan Jogjakarta.

Karena saya sangat yakin bila Surakarta tidak kembali menjadi DIS suatu saat Surakarta akan hilang dan punah eksistensi Dinasti Mataram dan diawali dengan hilangnya marwah para sentono dalem (penerus trah) dan otomatis akan hilangnya marwah Surakarta sebagai kota kerajaan penerus generasi Mataram.

Apalagi di Surakarta merupakan kerajaan tertua Mataram yang memiliki marwah (kemuliaan) yang dapat mewakili mayoritas masyarakat Solo yang berbudaya dan religius tinggi saat ini.

Tapi menurut penulis untuk menjadikan Surakarta sebagai DIS bukan untuk masa sekarang ini, selama rajanya yang masih berkuasa sinuwun Hangabehi sebagai PB XIII tidak akan kondusif karena kondisinya Hangabehi yang sudah sakit cacat permanen lumpuh tidak dapat berkomunikasi selama bertahun², kuatir seorang raja tidak dapat berjalan  sesuai tupoksinya seorang raja.

Maka masyarakat kota Surakarta sebenarnya banyak berharap kotanya bisa meningkat gradenya menjadi DIS (Daerah Istimewa Surakarta) seperti dulu, paling tepat kembali dipimpin oleh seorang Sunan atau Raja. Agar Keraton Kasunanan Surakarta bisa bangkit, terkontrol asetnya dan terjaga kelestarian fisik cagar budayanya yang saat ini semakin rusak dan rusak nilai² kepaugerannya dan hilang energinya.

Apalagi kultur masyarakatnya Surakarta yang mayoritas notabene beragama Islam seperti halnya Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa harusnya memiliki perlakuan status yang sama karena sama-sama berasal dari kerajaan besar Mataram Islam sepantasnya dijadikan sebagai Daerah Istimewa yang dipimpin oleh seorang raja atau sultan.

Warga Solo harus peduli dan bersama-sama kembalikan kota Solo sebagai kota yang memiliki marwah dan pamor sebagai kota kerajaan, simbol kerajaan Mataram Islam.

Saya Kanjeng Senopati sebagai Wayah Dalem Soeriohamijayan PB X mengajak warga Solo, kerabat dan kawulo masyarakat Surakarta yang peduli dengan nilai keluhuran budaya dan kemuliaan trah keraton Kasunanan sebagai punjer kerajaan Mataram Islam dan marwah kota Solo untuk kembalikan kota Solo sebagai Daerah Istimewa.

Jadikan ini sebagai wacana luhur yang wajib bagi para putro dalem, sentono dalem, abdi dalem dan kerabat kawulo dalem kota Solo.

Negeri Surakarta Hadiningrat harus dikelola kembali oleh Putro wayah sinuwun soho sentono dalem yang memiliki energi kepemimpinan dan penerus Dinasti Mataram.

DIS adalah salah satu pilihan terbaik untuk kota Solo jika ingin negeri Surakarta kembali menjadi Center of Javanese Cultural Identity (Pusat Identitas Kultur Budaya Jawa) juga akan terkontrol dan terlindungi asetnya, yaitu harus kembali menjadi "Negari Kasunanan Surakarta Hadiningrat" (NKSH).

*) Penulis adalah Buyut Dalem PB X, Cucu / Wayah Dalem Pangeran Soeriohamidjoyo, Pemerhati Spiritual Peradaban Kerajaan Nusantara dan Sejarah Peradaban Agama & Keyakinan Kepercayaan

Komentar