Kamis, 25 April 2024 | 09:02
OPINI

Toko Boekoe Tempo Doeloe

Toko Boekoe Tempo Doeloe
Toko Boekoe Tempo Doeloe

Oleh: Mang Ucup *)

Hampir setiap anak ketika masa kecilnya senang baca komik, termasuk saya. Sebelum ada komik dalam bentuk buku, kami selalu membaca komik strip yang terdapat di koran ataupun majalah. Misalnya, Put On yang terbit rutin di surat kabar Sin Po (Sinar Harapan). 

Komik strip Put On merupakan hasil karya dari Kho Wan Gie sejak tahun 1930. Komik strip lainnya adalah Tarzan, Sie Djien Koei Tjeng Tang (karya Siaw Tiek Kwie), dan Apiauw (karya Goei Kwat Siong) dari majalah Star Weekly.

Komik pertama yang berupa buku dalam bahasa Indonesia adalah Sri Asih (Wonder Women Indonesia) yang merupakan karya komik pertama dari R.A. Kosasih (almarhum), sang legenda Bapak Komik Indonesia. Ia  juga adalah pengarang komik Mahabarata. 

Komik ini diterbitkan oleh toko buku Melodi (Tan Eng Hiang) – Jalan ABC di tahun 1952. Di samping komik, saya juga kecanduan bacaan silat. 

Saya membaca hampir semua cerita silat yang bisa didapatkan, mulai dari cerita silat (bersambung) di koran harian tempo doeloe seperti Sin Po (Sinar Harapan), Keng Po (Kompas), Star Weekly (Kim Tjoa Kiam - 1958) sampai dengan buku silat karangan Kho Ping Hoo, Tjan Id, Liang Ie Shen sampai Lho Khuan Chung.

Karena sedemikian rajinnya baca silat, sampai tidak naik kelas. Kalau kelompok Sin Po, penerjemahnya adalah Gan KL (Gan Kok Liang). Sedangkan kelompok Keng Po memakai OKT (Oey Kim Tiang). 

Media yang mempublikasikan karangan Kho Ping Hoo itu adalah majalah “Analisa”.  Selain cerita silat, saya juga hobi membaca buku roman detektif seperti Naga Mas, Les Hitam maupun Gagaklodra. 

Majalah Star (1939-1942) yang kemudian bertukar menjadi Star Weekly, “Pancawarna” (kepunyaan Sin Po), “Varia” (kepunyaan Keng Po) dan “Analisa”. 

Karena begitu senangnya membaca buku, walaupun pada saat itu saya belum menguasai bahasa Inggris, tetapi sudah berlangganan buku dari British Council – Jalan Naripan. Maklum, di situ saya bisa pinjam buku secara gratisan. 

Selain itu, saya juga sering berburu buku bekas di pasar loak yang berlokasi di Jalan Suniaraja. Sedangkan untuk keperluan alat-alat tulis, ketika itu saya selalu membeli di toko buku Hap Tjiang – Jalan Asia Afrika 16. 

Di toko itu juga kita bisa membeli pulpen Parker yang merupakan idaman setiap anak remaja, maupun pensil berwarna cap Burung dari Faber Castle. Pada saat itu juga ada beberapa toko buku besar, misalnya toko buku Van Dorp di Jalan Braga 77. 

Toko ini dibangun pada tahun 1922 dan ditutup pada tahun 1970. Pada awal tahun 1940-an, toko Van Dorp pernah menerbitkan sebuah buku botani berjudul “Indische Tuinbloemen”.  Buku ini disusun oleh M.L.A. Bruggeman, botanikus pengelola Kebun Raya Bogor, dengan Ojong Soerjadi sebagai ilustrator. 

Melalui buku ini mereka telah berhasil melakukan promosi pemasaran yang luar biasa pada saat itu. Setiap pembeli buku akan mendapatkan juga bibit tanaman bunga lengkap dengan potnya. Dengan demikian, toko buku Van Dorp telah turut berperan mengajak warga Bandung menjadi penanam dan pencinta bunga alias Go Green yang pertama di Indonesia.

Dalam satu bulan pertama setelah penerbitan buku “Indische Tuinbloemen”, Van Dorp telah menjual sekitar satu juta tanaman bunga beserta potnya akibat permintaan pelanggan yang antusias. 

Untuk kebutuhan bunga saat itu mudah saja, karena kawasan di seberang Van Dorp adalah sebuah pasar bunga yang besar dan ramai. Ini adalah pasar bunga lama yang pertama sebelum dipindahkan ke Wastukencana.

Toko buku lainnya adalah toko buku Visser & Co di depan Gedung Merdeka, yang kemudian namanya berubah menjadi Karya Nusantara, tetapi sekarang sudah tidak ada lagi. Toko buku lainnya adalah A.C. Nix & Co. yang kemudian berubah namanya menjadi N.V. Masa Baru.

Penerbit dan percetakan N.V. Vorkink (Sumur Bandung) mulai dibuka pada tahun 1896 di Groote Postweg. Pada tahun yang sama, perusahaan ini menerbitkan koran pertama di Bandung, yaitu De Preangerbode. 

Bangunan awalnya dirombak pada tahun 1910 menjadi bangunan megah bergaya Eropa. Toko buku Vorkink kemudian berubah menjadi toko buku Sumur Bandung setelah masa kemerdekaan. 

Nama ini dipilih mungkin karena di dekat gedungnya terletak dua buah sumur legendaris, yang masing-masing lokasinya berada di belakang Vorkink, dan satu lagi di belakang kantor PLN.

*) Menetap di Amsterdam, Belanda

Komentar