Jumat, 26 April 2024 | 00:58
OPINI

Belajar Menulis Tempo Doeloe

 Belajar Menulis Tempo Doeloe
Sabak dan Grib

Artikel ini saya persembahkan untuk Zus Deetje Utane dan Zus Soemarni Sadikin. Maklum kedua Grand Ladies ini pasti akan lebih bisa turut menghayati isi artikel ini.

Mang Ucup pertama kali masuk sekolah tahun 1948. Tepatnya di sekolah SD - Eerste Zending School – Citepus (Bandung). Dua Karakteristik (Talenta) Bawaan yang sangat menonjol ialah sifat Bangor (Nakal) dan kalau belajar Lamban alias Kurang Cerdas. Dalam bahasa Inggris halusnya: go-block! (bodoh.red).

Guru saya pernah menilai bahwa otak saya ini lebih kecil daripada otak ayam. Munkin ia kagak tega untuk bilang bahwa otak saya ini sama seperti otak kecoa (Coro).

Walaupun demikian sejak saya masuk sekolah. Saya termasuk murid kesayangan Guru. Buktinya hampir setiap dua hari sekali saya harus menemani Guru berdiri didepan kelas atau lebih tepatnya dipojok kelas (op de hoek).

Guru kelas 1 dan kelas 4 begitu menyayangi saya, sehingga ia mohon agar saya menemani Guru satu tahun lebih lama lagi. Namanya juga murid yang manut dan sayang Guru jadi saya tidak tega untuk menolaknya takut Pamali.

Bakat nulis saya juga sudah menonjol dari sejak kecil. Misalnya ibu Guru sering memohon kepada saya untuk menuliskan kalimat sebanyak 100 kali: saya tidak boleh nakal di dalam kelas.  Ma Anie (ibunda alm.) menyadari bahwa putera kesayangannya ini IQ nya udah dari sononya jongkok. Jadi wajarlah harus bantu di dongkrak dikit. Dengan cara sering mengirimkan makanan untuk ibu Guru.

Bahkan pernah disuru mengambil les pelajaran tambahan untuk mata pelajaran ilmu Bumi. Hasilnya Tokcer di Raport sekolah dapat angka 8 untuk ilmu Bumi. Ma Anie senang Pak Guru senang, begitu juga si Ucup kecil senang. Jadi eperi bodi hepi lah – Nothing Wrong kan?

Kami murid-murid diwajibkan duduk manis (netjes zitten) dengan kedua tangan dilipat di atas. Alat tulis pertama saya adalah Sabak, dan alat tulis ini tidak bisa dipisahkan dari yang namanya Grip. Sabak adalah Bukunya, sedang Grip berperan sebagai Bolpoin-nya. Catatan di sabak tidak bisa disimpan, sebab begitu sabak penuh harus dihapus dengan lap basah.

Bagaimana kalau harus mencatat? Itulah kelebihan anak sekolah jaman dahulu. Tidak mempunyai catatan, tetapi memahami pelajaran. Ingatan dan pendengaran sangat memegang peranan penting dalam cara belajar tempo doeloe.

Kami juga dididik untuk belajar menghitung luar kepala (hoofdrekenen). Kami belajar Menulis Halus (Schoonschrift) dengan garis Tipis dan Tebal. Disamping itu harus memiliki kemiringan yang sama ialah sekitar 55 derajat condong ke kanan.

Bahkan pada saat menulis; tangan kita dilarang diangkat dari atas kertas, sebelumnya sebuah kata dikalamkan. Hasilnya akan diperiksa oleh Guru, kalau ternyata kurang rapih (Slordig) maka tangan kita akan digebuk dengan penggaris.

Untuk belajar Menulis Halus ini ada Buku Tulis khusus. Gaya menulis dengan tulisan tangan seperti ini lebih dikenal dengan nama Copperplate Handwriting. Tulisan seperti ini hanya dikenal oleh generasi kakek gaek seperti mang Ucup.

Pada awalnya kami menulis dengan potlot. Setelah mahir ditingkatkan ke Pena Celup. Pena yang berujung runcing mirip mahkota (Krootjespen). Dengan pena ini kita akan mampu menulis huruf-huruf dengan garis tipis dan tebal mirip Kaligrafi.

Setiap menulis tiga kata pena ini harus dicelupkan ke dalam botol tinta. Setelah beberapa hari harus ganti pula ujung penanya. Mengingat tinta yang dipakai tidak cepat kering. Terpaksa kami harus menggunakan Kertas Peresap (Vloeipapier).

Saya belajar membaca dari Buku Beladjar Membatja. Dan yang menjadi tokoh utama dibuku tersebut adalah Si Didi dan Si Minah. Setelah kelas 4 ganti buku pelajaran yang berjudul Matahari Terbit.

Apabila ganti tahun ajaran baru, kami paling senang melakukan kegiatan menyampul – meng-kap, buku tulis dengan berbagai macam kertas minyak yang warna-warni.

Kita dahulu merasa bangga, apabila bisa menyelipkan Pulpen mahal di kantong kemeja, maklum belum ada HP. Saya paling senang apabila dapat hadiah pensil berwarna De Drie Vogels dari Faber Castell.

Jawablah sendiri:  Kapankah  terakhir kalinya Anda menerima surat dengan tulisan tangan? Jangankan  surat; ucapan selamat yang singkat sekalipun dikirimnya hanya per SMS ato FB! Silahkan ditambah dgn pengalaman-pengalaman masa kecil Anda . Hatur rebu nuhun.

Mang Ucup

Menetap di Amsterdam, Belanda

Komentar