Tarif Listrik Di Indonesia Kalah Murah dari Malaysia
ASKARA - Anggota DPR RI menolak rencana Pemerintah melaksanakan penyesuaian tarif dasar listrik. Penyesuaian tarif dasar listrik di saat pandemi adalah langkah yang tidak tepat, mengingat kegiatan ekonomi masyarakat belum pulih benar.
"Selain itu, harga listrik di Indonesia sudah mahal dibandingkan harga listrik beberapa negara ASEAN bahkan dengan China," ujar Wakil Ketua F-PKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan Mulyanto kepada para awak media, Sabtu (17/4).
Mulyanto menyatakan, data dari Globalpetrolprice.com menyebutkan harga listrik untuk rumah tangga di Malaysia, Vietnam dan China masing-masing sebesar Rp 895/kWh, Rp 1.190/kWh, dan Rp 1.219/kWh.
"Sementara harga listrik PLN untuk pelanggan rumah tangga rata-rata Rp 1.467/kWh. Harga listrik di Thailand lebih mahal dari Indonesia, yakni sebesar Rp 1.771/kWh," ungkap Mulyanto.
Mulyanto mengungkapkan, harga listrik rumah tangga di Indonesia hampir dua kali lipat dari harga listrik rumah tangga di Malaysia dan masih jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga listrik di Laos, Vietnam, dan China.
"Untuk harga listrik pelanggan bisnis, dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia, Vietnam dan China, termasuk Thailand harga listrik PLN memang jauh lebih murah," sebut anggota Komisi VII DPR RI ini.
Berbeda dengan Malaysia atau Vietnam yang lebih memilih kebijakan penyediaan listrik murah bagi kebutuhan pelanggan rumah tangga, tutur Mulyanto, Indonesia lebih memilih kebijakan menyediakan listrik murah untuk pelanggan bisnis.
Mulyanto menambahkan, PKS usul ke depan pemerintah perlu mengkaji secara seksama kebijakan harga listrik ini agar lebih adil dan berpihak kepada masyarakat kecil ketimbang kepada para pengusaha.
"Selain itu, PLN harus terus-menerus melaksanakan efisiensi yang berkeadilan atas angka BPP (biaya pokok pembangkitan listrik red). Masak harga listrik kita kalah murah dibandingkan dengan Malaysia. Ini kan aneh," imbuh Mulyanto.
Mulyanto juga meminta PLN untuk negosiasi ulang mengenai jadwal operasi pembangkit baru agar tidak semakin menekan keuangan PLN.
"Jangan sampai program 35 ribu MW semakin menambah surplus listrik yang sudah lebih dari 30%, yang akhirnya membuat PLN terkena penalti untuk membayar TOP (take or pay) atas listrik yang tidak digunakannya," tegas Mulyanto.
Mulyanto menilai, hal ini merupakan hal yang mubazir, dan ujung-ujungnya menjadi beban keuangan negara.
"Jangan sampai masyarakat berpikir negatif, kenaikan tarif listrik ini terjadi karena PLN didikte oleh pengusaha listrik swasta (IPP), karena ketergantungan PLN yang semakin hari semakin besar terhadap listrik swasta," pungkas Mulyanto.
Komentar