Jumat, 19 April 2024 | 06:01
OPINI

Sukarno, Suharto dan ‘sisi kanan’ politik Indonesia

Sukarno, Suharto dan ‘sisi kanan’ politik Indonesia
Sukarno dan Suharto (Dok swararakyat208.files.wordpress.com)

Meskipun lazim untuk mempersepsikan kedua tokoh ini sebagai penguasa kuat dalam sisi yang berlawanan, agaknya lebih tepat untuk melihat Suharto sebagai (seorang yg memposisikan diri sebagai) lawan ideologis sekaligus penerus, ‘murid’ Sukarno dalam strategi politik. 

Hubungan yang serupa terjadi antara Jokowi dengan lingkaran kekuasaan oligarkis peninggalan Orde Baru pada masa sekarang. Ini memang memerlukan penjelasan lebih lanjut, karena trauma politik 1965-1966 ataupun 1998 menghalangi penilaian yang lebih jernih tentang hal ini.

Sukarno sesungguhnya dapat dilihat sebagai bagian dari nasionalisme sayap kiri, sekaligus tokoh yang memiliki andil dalam perkembangan gagasan-gagasan ‘kanan’ (tradisionalis, korporatis) dalam politik Indonesia. 

Bagaimana bisa? Mari kita cermati kembali. Kalau dapat dibuat periodisasi, pemikiran Sukarno bisa dibagi dalam tiga fase: pertama, fase kiri yang pertama ditandai dengan kemunculan ide ‘Marhaenisme’ sebagai ‘Marxisme yang diadaptasikan dengan kondisi masyarakat Indonesia’ kira-kira antara tahun 1926 dan 1933. 

Kedua adalah fase pemikirannya sebagai ‘nasionalis sekular-moderat’ antara tahun-tahun pembuangan sejak pertengahan 1930-an hingga berakhirnya revolusi di tahun 1949-50. Kemudian fase ketiga dan terakhir antara sekitar tahun 1955 hingga 1965 adalah fase kembali ke kiri tetapi dengan strategi ‘realpolitik’ yang cenderung otoritarian dan justru meletakkan dasar dari politik sayap kanan yang kemudian menggulingkannya.

Jika masa-masa non-kooperatif di zaman pergerakan menghasilkan Marhaenisme - sintesis nasionalisme dan Marxisme yang memang unik, maka periode selanjutnya melahirkan ide ‘Pancasila’ sebagai filosofi negara-kebangsaan yang kemudian menjadi semacam agama sipil bagi masyarakat Indonesia. 

Fase kedua ini ditandai dengan pelunakan garis politik Bung Karno karena situasi represi, kemunculan fasisme, dan perlunya langkah-langkah politik yang lebih strategis dan pragmatis untuk survival dari perjuangan pembebasan nasional - juga memperkuat posisinya sebagai ‘solidarity maker’. 

Sukarno mencoba membangun dialog dengan kalangan modernis-reformis Islam tetapi tidak membawa banyak hasil karena orientasi sekulernya yang dipengaruhi Mustafa Kemal Ataturk mendapat penolakan kuat kelompok islamis.

Dalam pandangan sejumlah sarjana Indonesianis, Pancasila sebagai proyek ideologis cenderung bersinggungan dengan spektrum politik kanan terutama karena penggunaanya oleh rezim Orde Baru. 

Ia merepresentasi semacam ‘perennialisme’ dari nasionalisme Indonesia yang berhubungan dengan teosofi, gagasan negara integralis/organik, disamping sintesis ideologis Sukarno sendiri. 

Sementara penguasa kolonial etis-orientalis menggunakan spirit revivalisme Jawa-India melalui teosofi untuk membendung kebangkitan pan-Islamis, maka Pancasila dimunculkan dalam spirit yg kurang lebih serupa. 

Tetapi setidaknya ada dua versi Pancasila: Pancasila versi Sukarno 1 Juni 1945, dan Pancasila dasar negara 18 Agustus 1945 yg merupakan kompromi politik (dengan perantaraan Hatta) antara kaum nasionalis dan islam yg mendukung piagam Jakarta. 

Jika versi asal Pancasila secara eksklusif Sukarnois, maka versi kedua yang resmi memang memungkinkan perang tafsir dan klaim yang tak berkesudahan antara kelompok nasionalis dan islamis-karena faktor kontribusi Islam di dalamnya.

Upaya untuk memperkuat sisi tradisionalis ini - yang juga menjadi landasan untuk memperkokoh dominasi kolonial, adalah hal yang ditentang oleh kalangan sosialis-demokratik ataupun intelektual Sumatra pada umumnya. 

Dalam aspek rasionalitas politik dan semangat anti-feodal, baik PSI Sjahrir ataupun PKI memiliki sejumlah kesejajaran, meski karena akar populisnya dan perhitungan politik praktis golongan komunis cenderung mendukung Sukarno.

Di sisi lain, Suharto sejak peranannya dalam pembantaian pasca percobaan kudeta 1965 terus menjadi kutukan bagi kalangan kiri Indonesia dari segmen manapun, sehingga sulit untuk melihat kembali bahwa posisinya dalam politik Indonesia sebelum kejadian itu sangat sumir dan diliputi ketidakjelasan. 

Pernyataan/klaim Suharto tentang asal mula G30S hanya mungkin valid jika memang hubungan Suharto dengan militer sayap kiri pernah cukup dekat setidaknya pada masa revolusi. Meskipun hubungan tersebut lebih bersifat solidaritas sesama tentara revolusi didikan Jepang, aktivitas Suharto dalam ‘kelompok Patuk’ yang berafiliasi dengan Partai Sosialis (sebelum pecah menjadi PSI dan FDR-PKI) setidaknya mencerminkan kedekatan ideologis tertentu - meski sejak Orde Baru berkuasa hal ini menjadi sangat sulit untuk ditelusuri lebih jauh. 

Sementara Suharto ikut berperan aktif dalam jaringan anti-komunis AD (dengan menyabot kampanye konfrontasi Malaysia), hubungan masa lalunya dengan sayap kiri dan posisinya dalam divisi Diponegoro di Jawa Tengah jelas berpengaruh sehingga ia dikecualikan dari sasaran kelompok G30S. 

Kenaikan Suharto yang cepat menuju kekuasaan bukan saja karena faktor momentum penghancuran komunisme namun juga kenyataan bahwa ia merupakan perwira berkultur Jawa dan berasal dari kubu ‘populis’ yang sedikit banyak berlawanan dengan orientasi modernis-teknokratik Nasution cs. Itulah yang menyebabkan ia dipercaya Sukarno - atau setidaknya dianggap ‘lesser evil’ di antara militer antikomunis. Tentu saja kenyataan menunjukkan hal yang berbeda.

Ini adalah beberapa hal saja yang menunjukkan bahwa realitas politik Indonesia jauh dari gambaran hitam-putih yang terlampau simplistik.

 

 

Oleh: Pradipto Niwandhono
Dosen Universitas Airlangga (Mahasiswa Program Doktor University of Sydney)

Komentar