Menuju Masa Jabatan Presiden Ketiga?
SELAMA ini pembicaraan tentang topik atau usulan merubah masa jabatan presiden menjadi tiga periode berlangsung secara bisik-bisik dari orang ke orang.
Awalnya usulan ini dicetuskan sebagai keinginan beberapa pihak agar Presiden Jokowi diberikan kesempatan untuk memimpin sebagai presiden untuk masa jabatan yang ketiga. Menanggapi usulan ini Presiden Jokowi pernah berkomentar sebagai berikut: "Usulan itu (jabatan periode ketiga) mau menjerumuskan saya".
Namun berawal dari kisruh KLB Partai Demokrat, Amien Rais secara terbuka pada akun Twitter-nya mengunggah kegalauannya tentang dugaan adanya upaya untuk merubah masa jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode. Kegundahan Amien Rais tesebut kmudian ditanggapi oleh Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PDIP Ahmad Basarah yang antara lain mengatakan "Masa jabatan presiden sudah ideal (dua periode), tidak perlu diubah lagi."
Sejak itu topik masa jabatan presiden ketiga menjadi isu yang terbuka bagi pembahasan publik.
Tulisan ini bermaksud untuk ikut serta di dalam menganalisis tentang topik masa jabatan presiden ketiga tersebut. Untuk mewujudkan rencana atau keinginan merubah masa jabatan presiden menjadi tiga periode maka perlu ditempuh upaya-upaya melalui dua jalur, yaitu:
1. Hukum
Pertama, menyelenggarakan Sidang Istimewa MPR untuk menetapkan kembali ke UUD 45 yang asli secara penuh. Sehingga berlakulah ketentuan pasal 6 UUD 45 asli yang tidak membatasi masa jabatan presiden karena hanya menyebutkan presiden dan wakil presiden dapat dipilih kembali (tanpa batasan). Ketentuan ini akan membawa kehidupan kenegaraan kita kembali ke masa Orde Baru, di mana Presiden Soeharto bisa berkuasa selama 34 tahun! Jika hal ini terulang kembali maka sungguh bangsa ini tidak pernah belajar dari sejarahnya.
Konsekuensi lain dari kembali ke UUD 45 asli adalah:
a). MPR berhak menetapkan GBHN
b). MPR berhak memilih presiden
c). MPR kembali menjadi Lembaga Negara Tertinggi sehingga MPR dapat mencabut/membatalkan ketetapan-ketetapan MPR yang sebelumnya (yang dibuat sebelum amandemen UUD 45), sehingga misalnya bisa saja Tap-Tap MPR, di antaranya tentang pelarangan/ pembubaran PKI dan pelarangan ajaran Komunisme dicabut atau dibatalkan MPR yang terlarang bukan Lembaga Negara Tertinggi (bedasarkan UUD 45 amandemen) sehingga tidak bisa mencabut atau membatalkan Tap-Tap MPR yang dibuat oleh MPR berdasarkan UUD45 yang asli (sebelum Reformasi). Dan konsekuensi lainnya jika kembali ke UUD 45 yang asli.
Upaya untuk mengembalikan UUD 45 ke aslinya itu nampaknya sudah mulai dijalankan. Di bawah koordinasi pimpinan MPR sudah mulai diadakan sosialisasi dengan berbagai elemen masyarakat dengan dalih yang ditonjolkan bahwa kita membutuhkan kembali GBHN yang ditetapkan oleh rakyat cq. MPR. Oleh karenanya perlu kembali ke UUD 45 yang asli, sementara konsekuensi-konsekuensi lainnya tidak dikemukakan.
Kedua, setelah berhasil mengembalikan UUD 45 ke aslinya maka langkah berikutnya diduga atau dipekirakan adalah merubah UU Pemilu/UU Pemilihan Presiden. Di mana aturan presiden/wapres dipilih oleh rakyat diubah menjadi dipilih oleh MPR kemudian ketentuan tetang larangan calon tunggal pada pilpres dihapuskan, sehingga pada pilpres berikutnya dibolehkan ada capres dan cawapres tunggal. Kenapa ketentuan harus calon tunggal ini perlu dihapus? Karena ada kekhawatiran jika ada calon lainnya kemungkinan capres/cawapres petahana (yang akan maju untuk ketiga kalinya) akan kalah dalam pilpres.
Untuk memastikan keberhasilan upaya di jalur hukum maka perlu ditempuh upaya di jalur politik.
2. Politik
Pertama, memastikan tidak muncul (potensi) perlawanan rakyat terhadap rencana kembali ke UUD 45 asli dan menggagalkan kemenangan capres/cawapres petahana untuk ketiga kalinya. Di mana untuk itu tokoh-tokoh dan/atau ormas-ormas yang dianggap mampu menggerakkan perlawanan rakyat perlu dibungkam (melalui proses hukum), seperti misalnya dijerat dengan tuduhan hukum kemudian ditahan. Diduga mungkin inilah alasan yang menyebabkan Habib Rizieq Shihab ditahan dan FPI dilarang (bahkan melakukan kegiatan sosial membantu korban bencana banjir pun di Jatinegara dilarang karena memakai singkatan FPI), sementara secara kasat mata ada tokoh lainnya yang melakukan tindakan yang sama (kerumunan) tetapi tidak dijerat hukum.
Kedua, memastikan tidak ada parpol atau gabungan parpol yang memenuhi syarat Presidential Threshold (20 persen dari kursi DPR) untuk dapat mencalonkan capres/cawapres alternatif (penantang calon petahana). Sementara ini hanya dua parpol yang tidak tergabung di dalam parpol koalisi pendukung pemerintah yaitu PKS (8,63 persen) dan Partai Demokrat (8,03 persen). Jadi meskipun PKS dan Partai Demokrat bergabung belum memenuhi syarat Presidential Threshold karena baru berjumlah 16,65 persen) atau masih kurang sekitar 4 persen untuk memenuhi Presidential Threshold. Tetapi jika PKS dan Partai Demokrat ditambah dengan PPP (4,6 persen) bergabung maka mereka bisa memajukan capres/cawapres alternatif.
Sehingga dapat diduga latar belakang pengambil alihan kepemimpinan Partai Demokrat adalah untuk memastikan tidak ada capres/cawapres alternatif. Bukankah gabungan PKS dan Partai Demokrat belum memenuhi Presidential Threshold? Tetapi jika PPP (4,6 persen) ikut bergabung maka akan terpenuhi Presidential Threshold. Sehingga artinya pihak petahana masih kurang yakin terhadap sikap politik PPP dalam pilpres yang akan datang.
Jadi untuk sementara dapat diperkirakan bahwa pengambilalihan Partai Demokrat di KLB Sibolangit mungkin bukan untuk benar-benar dialih-alih tetapi hanya untuk sekadar "safe to safe" memastikan Partai Demokrat tidak bisa ikut dalam Pilpres 2024 karena masih tergantung statusnya pada proses hukum di pengadilan.
Berdasarkan analisis di atas dapat disarankan hal-hal sebagai berikut:
1. Pengembalian ke UDD 45 asli perlu dijamin bahwa pasal-pasal yang merupakan tuntutan reformasi pada UUD 45 amandemen harus tetap dipertahankan, seperti antara lain, masa jabatan presiden dua periode tetap dipertahankan, pilpres tetap dipilih langsung oleh rakyat, MPR tetap berkedudukan sebagai salah satu Lembaga tinggi Negara saja (bukan sebagai Lembaga Negara Tertinggi).
2. Presiden Jokowi hendaknya menyatakan secara terbuka bahwa beliau menjunjung batas masa jabatan presiden dua periode sebagaimana diatur pada UUD 45 amandemen dan tidak berkehendak maju dalam pilpres untuk masa jabatan ketiga.
3. Konflik Partai Demokrat hendaknya diselesaikan berdasarkan konsensus politik bukan diselesaikan melalui jalur hukum.
4. Membebaskan semua tahanan politik dan menghapuskan semua hambatan demokrasi, seperti mencabut atau merevisi UU ITE serta mewarisi kehidupan bernegara yang demokratis kepada penerus beliau.
Semoga tulisan ini dapat diterima sebagai saran yang bermanfaat bagi kehidupan bernegara yang sejalan dengan cita-cita Proklamasi dan Reformasi.
Jakarta, 15 Maret 2021
Muchyar Yara
(Mantan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia)
Komentar