Yasonna Laoly: Dulu Media Tutup Ditekan Rezim, Sekarang karena Persaingan
ASKARA - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna Hamonangan Laoly menyebutkan, terdapat pola berbeda dalam kasus penutupan media saat ini dengan beberapa dekade silam.
Menurutnya beberapa dekade silam, banyak media berhenti beroperasi karena ditekan dan diberedel oleh rezim.
Pola itu berganti pada era saat ini. Media tutup setelah tertekan persaingan usaha imbas digitalisasi dan pandemi Covid-19.
"Sebelumnya media tutup karena mendapatkan tekanan dari rezim, kini media tutup karena tekanan persaingan sesama perusahaan media, khususnya jaringan digital dan juga dalam setahun terakhir akibat pandemi Covid-19," ujarnya dalam keterangan virtual, Selasa (9/2).
Seperti halnya media cetak seperti Suara Pembaruan dan Indopos pada era saat ini, sudah menyampaikan salam perpisahan. Begitu pula tabloid Bola, majalah Hai, Suara Karya, dan Sinar Harapan telah menyampaikan perpisahan.
"Berakhirnya masa terbit media cetak itu menjadi kado pahit menjelang HPN 2021," imbuh Yasonna.
Menurut Yasonna, fenomena tutupnya media akibat persaingan digital dan terpaan pandemi, tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Australia per April 2020, diumumkan 60 surat kabar regional ditutup.
Khusus terpaan pandemi, banyak perusahaan di luar media massa yang kesulitan beroperasi. Imbasnya mata anggaran promosi sebuah perusahaan dibatasi.
Hal ini berimbas ke pendapatan media massa. Sebab, sumber pendapatan media massa banyak disumbang oleh iklan dari perusahaan lain.
"Berkurangnya promosi atau iklan berdampak besar pada industri media di mana sebagian besar pemasukan dari sisi itu," jelasnya.
Maka sebagian orang telah melihat bisnis media tidak lagi menguntungkan. Krisis akibat pandemi sangat signifikan tidak hanya ke kesehatan masyarakat, juga merembet ke ekonomi. "Krisis ekonomi menghadirkan tekanan bagi media," tuturnya.
Komentar