Kamis, 25 April 2024 | 19:13
NEWS

Politisi Demokrat Ini Sebut Pimpinan Sidang Rapat RUU Cipta Kerja Sewenang-wenang

Politisi Demokrat Ini Sebut Pimpinan Sidang Rapat RUU Cipta Kerja Sewenang-wenang
Sidang Paripurna Pengesahan RUU Cipta Kerja (Dok Tempo/M Taufan Rengganis)

ASKARA - Fraksi Partai Demokrat membeberkan dua alasan utama walk-out dari Rapat Paripurna DPR saat pengesahan RUU Cipta Kerja. Alasannya tersebut bersifat teknis dan substansi. 

Alasan teknis dalam sidang DPR adalah keputusan diambil melalui mekanisme musyawarah mufakat apabila semua anggota fraksi yang ada di rapat paripurna setuju.

"Di sidang ini, kan ada dua fraksi yang tidak setuju RUU Ciptaker disahkan. Sesuai mekanisme tatib, kasih kesempatan lobby dulu supaya ada kesamaan pandangan," kata Politisi Partai Demokrat, Benny K Harman dalam keterangannya, Selasa (6/10).

Menurutnya, jika lobby tidak dicapai, maka harus dilakukan voting. Akan tetapi pimpinan sidang paripurna tidak melakukan hal tersebut. 

"Pimpinan sewenang-wenang, tidak memberi kesempatan kepada kami untuk menyampaikan pandangan," sesal Benny. 

Sementara alasan substansi, menurutnya fraksi yang dipimpin Edhie Baskoro Yudhoyono itu sejak awal menolak RUU Ciptaker. Karena RUU ini tidak punya urgensi apa pun di tengah rakyat Indonesia sedang menderita. 

"Rakyat sedang kesusahan akibat Covid-19, kok tega-teganya pemerintah membuat rancangan undang-undang tidak relevan dengan kebutuhan dan kesulitan masyarakat saat ini, lalu mendukung pengesahannya di paripurna," cetusnya. 

Maka sejak awal Fraksi Partai Demokrat meminta supaya pembahasan RUU di Badan Legislasi ditolak. Tujuannya agar pemerintah dan DPR fokus pada penanganan Covid-19. Sehingga memiliki waktu lebih luas mendalami RUU. 

"Supaya ada proses diskusi di tingkat Panitia Kerja yang lebih mendalam mengenai konsep-konsep. Ini kan sama sekali tidak. Dalam Panja, pembahasan RUU hanya ketok saja, ketok saja, tidak ada diskusinya," ucap Benny. 

Secara substansial RUU Ciptaker dinilai lebih banyak mengakomodir kepentingan pebisnis. Sedangkan kelompok rentan seperti nelayan, petani, pekerja, UMKM, sama sekali tidak diperhatikan. 

"Hanya memberikan legalisasi, dekriminalisasi terhadap pebisnis-pebisnis yang selama ini melakuan perambahan hutan. Bagaimana kita menyetuji RUU seperti ini," imbuh anggota Komisi III DPR RI itu.

Pihaknya juga meminta Klaster Ketenagakerjaan dikeluarkan dari RUU Ciptaker. Karena berdasar analisa dan mendengar pandangan dari kalangan pekerja melalui pimpinan-pimpinan federasi buruh, Fraksi Demokrat melihat hak-hak pekerja tidak diperhatikan dalam RUU ini. 

"Yang paling nyata adalah ketentuan tentang pesangon, misalnya. Pesangon itu sesuai undang-undang eksisting adalah 32 kali gaji. Ini dipotong, pengusaha hanya tanggungjawab 16 kali," kritiknya. 

"Lalu pemerintah dikasih tanggungjawab 9 kali, itu pun mekanismenya asuransi. Bayangkan, duit dari mana pemerintah bayar itu, apalagi dalam situasi ekonomi sulit ini," tandasnya.

Komentar