Senin, 20 Mei 2024 | 06:21
COMMUNITY

Rumah Kos Bekas Pesugihan (10)

Rumah Kos Bekas Pesugihan (10)
Ilustrasi. (Joachimart)

ASKARA - "Buh jawab dong, kenapa kamu diam saja?" ujarnya sambil memegang pundakku. Aku tetap diam seribu bahasa. Ifa menekan pundakku.

"Buh jawab. Apa bener kamu liHat aku digrepek-grepek sama Genderuwo?" bentaknya.

"Apa, digrepek Genderuwo?" sahut Ani yang tiba-tiba datang dan berdiri di koridor. Dia jalan menghampiri kami. "Siapa yang digrepek Genderuwo?" tanya Ani.

"Kata si Subuh tadi dia lihat aku tidur digrepek Genderuwo. Tadi dia cerita sama Muh. Iya kan Muh? Jawab jangan diam aja kamu!" ujar Ifa penuh emosi. Muh terdiam dan menunduk. 

"Buh, apa bener yang dibilang Ifa?" Ani memegang tangan kiriku. 

Aku tetap terdiam sambil menggenggam erat gelas yang kupegang di atas meja. Mataku fokus ke arah cermin. Di sana aku melihat Genderuwo itu, bayangannya terpantul di dalam cermin. Aku terus memandanginya. Keringat mengalir dari keningku membasahi wajahku. Tanganku gemetaran. Otot-ototku menjadi tegang. Aku terdiam mematung. Jantungku berdetak kencang, bibirku bergetar pelan, suaraku seakan tidak bisa keluar melihat makhluk jelek dan sangat menyeramkan dengan mata yang melotot merah dengan gigi yang menyeringai yang ada di hadapanku. Entah kenapa aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya. Ani dan Ifa terus mendesakku untuk bicara. Ifa membentakku. Dia emosi karena aku sama sekali tak menggubrisnya. 

"Udah dong kalian, hey jangan desak Subuh kayak gitu," ujar Muh.

"DIAM KAMU MUH!" bentak Ifa

"Ada apa sih ini ribut sekali" sahut Sigit yang juga ikut nimbrung. 

Ani menarik tangan kiriku dengan kasar. Aku tersentak "Crang..." gelas yang kugenggam dengan tangan kananku terjatuh, air tumpah membasahi meja dan mengalir ke lantai. Tiba-tiba pandanganku kabur. Tubuhku terasa dingin. Pandanganku semakin lama semakin gelap. Dan entah apa lagi. Aku sudah tidak ingat apa-apa lagi. 

Saat aku tersadar aku udah ada di suatu ruangan yang di penuhi bau obat. Ugh kepalaku terasa berat sekali. Tubuhku lemas seperti tak  bertenaga. Bahkan untuk duduk pun aku hampir tak mampu.

"Buh, allhamdulilah akhirnya kamu sadar juga. Jangan bangun dulu!" ujar Ani. 

Aku melihat sekelilingku. Ani, Ifa, Sigit dan Muh, mereka berdiri di dekatku. 

"Ada apa ini? Aku di mana?" tanyaku bingung.

"Tadi kau itu tiba-tiba pingsan lalu kami membawamu ke klinik," ujar Sigit.

"Ha, klinik?" aku kaget dan buru-buru ingin bangun. Ugh tangan kananku sakit, kulihat ada infus tertancap di sana. 

"Apa ini? Aku gak mau di sini, aku mau pulang," ujarku. 

Ani memegangiku. Sedangkan Ifa keluar dari ruangan ini.

"Udah, kamu tidur aja," ujar Sigit. Sambil memegangiku. 

Tak beberapa lama Ifa kembali bersama seorang pria muda berseragam putih dengan stetoskop melingkar di lehernya. Anjir dokter, aku makin panik waktu dokter mendekatiku. 

"Mbak Wahyu diperiksa dulu ya," ujarnya.

"Enggak usah dok, saya udah sembuh, udah sehat. Gak mau disuntik saya," ujarku. 

Kau tau hal yang paling aku benci adalah pergi ke dokter karena aku takut disuntik. Mereka bilang disuntik itu gak sakit seperti digigit semut. Tapi bagiku suntik itu menakutkan. Dokter itu ingin menyentuhku. Segera kutepis tangannya. 

"Mbak Wahyu tenang ya. Gak disuntik kok mbak, saya cuma mau ngecek suhu tubuh sama detak jantungnya Mbak Wahyu aja," ujar dokter itu sambil melempar senyum padaku. Hadeh manis sekali ya Allah.

Untung dokternya ganteng, jadi aku luluh oleh senyumannya yang manis kayak gula aren. Ah dasar aku, jones baperan. Dokter itu pun memegang keningku dan memeriksa detak jantungku, menempelkan tetoskopnya di dadaku. Duh kan dag dig dug... getar-getar cinta ini pasti. Eh apaan sih.

"Saya boleh pulang sekarang dok?" tanyaku.

Dokter itu tersenyum padaku, ya Allah manis banget jadi pingin ngajakin ke KUA xixixi. 

"Oh, iya sudah boleh mbak. Tapi harus banyak istirahat ya," perintahnya.

Aku menganggukkan kepala. "Iya," jawabku lirih.

Dokter itu melepaskan infus di tanganku lalu pergi dari ruangan ini.

"Buh maafin aku ya," ujar Ani dengan wajah sedih.

"Maafin aku juga ya Buh udah bentak-bentak kamu," tambah Ifa.

"Apa kita bisa pulang sekarang?" tanyaku.

"Iya, ayo pulang!" ujar Sigit.

Muh dan Ani membantuku bangun lalu mereka menuntunku jalan berlahan-lahan. Ifa memesan taksi online. Kami nunggu taksi online itu datang sekitar 10 menit. Sepanjang perjalanan kami tak saling bicara. Cuma Muh yang duduk di kursi depan ngobrol sama sopir taksi online-nya.

Sampai di rumah pukul 1.30 dini hari. Muh dan Sigit menggandengku, mereka mengantarkanku ke kamarku. Aku duduk di ujung tempat tidur.

"Istirahat Buh!" ujar Muh. Sigit menyibakkan rambutku yang berantakan. 

"Udah Muh ayo keluar. Aku tidur di kamarmu ya," ujar Sigit.

"Lah kenapa kau tidur di kamarku?"

"Mçek... udah gak gak usah banyak nanya, pokoknya malam ini aku tidur di kamarmu, udah ayo keluar biar Subuh istirahat," ujar sigit sambil menarik Muhammad keluar dari kamarku. 

Ifa dan Ani masuk kekamarku sambil membawa bantal. 

"Kalian kenapa pada ke sini bawa-bawa bantal?" aku beranjak dari tempatku dan pergi ke pojokan berdiri di atas kasur. "Iyuh kalian berdua mau gebukin aku ya?"

Ifa menaruh tangannya ke pinggang sambil ngempit bantalnya. "Apaan sih kau itu Buh. Siapa yang mau gebukin kau itu ha?"

"Lah itu, ngapain kalian berdua ke sini sambil bawa bantal?"

"Ya ampun Buh kita berdua ini mau tidur di kamarmu," sahut Ani.

"Ha, apa? Kalian mau tidur di kamarku? Apa gak salah, yang bener aja."

"Ya benerlah masa bercanda," ujar Ifa sambil jalan mendekati tempat tidur dan duduk di ujung tempat tidur. 

"Iyuh sempit dong kalau bertiga," protesku.

"Bodo amat, kita tidur di sini. Salah sendiri kamu udah nakutin aku. Ngomong tidur digrepek Genderuwo. Jadi kamu harus tanggung jawab," ujar Ifa. 

Ani tanpa ngomong sepatah kata pun langsung naik ke atas ranjang. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dengan pasrah aku menerima kehadiran mereka berdua di kamarku. Kami tidur mepet-mepetan udah kayak pindang aja. Astaga sumpek sekali.

"Buh tadi kamu kenapa pingsan?" tanya Ani.

Aku tidak menjawab pertanyaan Ani. Aku memejamkan mataku dan pura-pura tertidur. Aku tidak ingin membahas masalah ini. Aku tidak ingin membuat mereka semakin takut. 

"Buh?" ujar Ani. "Buh?" dia mengulangi ucapannya sambil menyikut punggungku. Namun aku tetap diam dan pura-pura tidur.

"Buh, nyebelin banget sih ditanya juga. Aku tau kamu belum tidur," ujar Ani.

"Iya ih, Subuh gak usah pura-pura kayak gitu," tambah Ifa.

Aku tetap diam dan memejamkan mataku. Aku benar-benar tidak ingin membahas masalah ini sekarang. 
"Buh..." Ifa mencolek-colek pingganggu. Hah, ini membuatku geli. Ani menarik-narik rambutku. Memasukannya ke dalam telingaku. Aku tidak tahan lagi. Aku bangun dan duduk. 

"Kalian itu kenapa sih ganggu aja," aku kesal.

"Kamu sih diajak ngomong malah pura-pura tidur, kamu kenapa tadi pingsan?" tanya Ifa 

"Ya mana aku tau, ini gara-gara kalian terus mendesakku," jawabku emosi. Aku kembali tidur dan membelakangi mereka.

"Udah Fa tidur aja, berhenti gangguin Subuh," ujar Ani.

30 menit berlalu dengan hening. Ranjang ini terlalu kecil sempit untuk tiga orang. Aku benar-benar tidak bisa bergerak. Aku bangun dan beranjak turun dari tempat tidur dan mengambil matras. Lalu menggelarnya di lantai. Aah aku benar-benar terjajah oleh mereka berdua. 

"Buh...Buh, Subuh. Bangun!" ujar Ani sambil menepuk-nepuk lenganku.

Aku menggeliat, mataku pedas, rasa kantuk yang amat sangat membuatku susah membuka mataku. 

"Apa sih" ujarku lirih sambil setengah merem.

"Bangun Buh, heh kamu denger gak? Ada suara orang nyapu?"

"Enggak denger," jawabku sambil kembali memejamkan mataku.

"Heh kebo banget sih. Ifa aja denger, masa kamu gak denger. Bangun Buh!" ujar Ani menggoyang-ngoyangkan badanku.

Aku bangun dan duduk. Berkonsentrasi mendengarkan suara orang menyapu. 

"Ah gak ada. Dasar halu kalian berdua. Udah tidur lagi. Masih malam ini," ujarku sambil kembali tidur.

"Kamu gak tahajud Buh? Tumben."

"Enggak, malam ini aku absen," kupejamkan mataku. 

"Ngapain tidur di bawah Buh?" tanya Ifa.

"Di atas sempit, bisakah kalian berhenti ngajakin aku ngobrol? Kepalaku pusing mau pecah, aku butuh tidur saudara-saudara," ujarku mulai emosi.

"Iya-iya maaf," ujar Ani. 

Aku tidak menjawab perkataan Ani. Kubenamkan kepalaku ke dalam selimut. Sebenernya aku mendengar suara orang menyapu itu. Aku tidak ingin membahas hal ini dengan mereka. Kau tau kenapa? Karena terkadang diam adalah satu-satunya cara terbaik agar temanmu tidak panik. Menurutku tidak semua hal yang aku ketahui harus dibicarakan, apalagi hal-hal yang tidak bisa dinalar. Karena terkadang tidak sedikit orang yang tidak mempercayai perkataan kita apalagi berhubungan dengan hal gaib yang gak bisa dipikir secara akal sehat. 

Percuma kau membicarakan hal yang tak kasat mata dan gak bisa dibuktikan kepada orang lain. Mereka hanya akan menganggapmu halu hanya membual atau mungkin gila. Yah setidaknya begitulah yang aku tau. Aku sering dipanggil kaum halu oleh teman-temanku karena membicarakan hal yang gak bisa aku buktikan pada mereka. Dan sekarang aku lebih memilih diam kalau melihat sesuatu. Terkadang aku benci ini.  Kau tau, hal ini sangat menggangguku. 

Waktu kecil, waktu pertama kali pindah ke rumah baru. Aku pernah dihajar oleh ibuku dipukuli pake ikat pinggang karena beliau geram padaku karena tidak mau mendengarkan perintahnya untuk masuk ke dalam rumah. Aku asyik bermain di bawah pohon mangga. Ibuku memanggilku dan menyuruhku masuk tapi aku tidak menghiraukannya dan terus bermain dengan temanku. Ibuku terus memanggilku. Aku tetap cuek. Kubilang aku sedang bermain dengan temanku. Tapi ibuku tidak percaya. Ibu bilang gak ada siapa-siapa, padahal ada. Ibu menyeretku masuk rumah tapi aku kembali ke luar. Mungkin ibuku geram, akhirnya aku dihajar, dipukuli pakai ikat pinggang untuk membuatku jera. Agar aku kapok gak balik ke luar lagi.

Gadis kecil bergaun putih. Teman khayalan petamaku ketika aku duduk di sekolah dasar. Lambat laun dia menghilang gak tau ke mana, gak pernah muncul menemuiku lagi. Mungkin dia mulai bosan denganku. Entah apa yang salah denganku ini. Jujur aku takut melihat hal-hal yang seharusnya tak dilihat.

Ani dan Ifa ngobrol sambil bisik-bisik. Samar-samar aku mendengar obrolan mereka.

"Fa itu siapa ya yang nyapu malam-malam gini?"

"Gak tau, Subuh kenapa sih hari ini aneh banget, sebel aku sama dia."

"Aneh kenapa?"

"Tadi dia gedor-gedor kamarku sambil teriak-teriak manggil-manggil aku. Terus pas aku bukain pintu dia langsung nyelonong masuk ke kamarku clingak clinguk kayak lagi nyari-nyari sesuatu. Tapi pas aku tanyain dia bilang dia mau minjem gunting. Terus ya, aku mau minum di dapur ada Subuh sama Muh lagi ngobrol. Subuh bilang ke Muh pas aku tidur aku digrepek-grepek Genderuwo. Aku kaget dong, siapa yang gak emosi coba diomongin kayak gitu. Dasar ngaco. Tadi kamu ke mana sih?"

"Ke luar, di ajak temenku ngopi. Bisa jadi yang diomongin Subuh itu bener, gak ngaco dia."

Mereka mulai berdebat sementara aku tetap diam meringkuk di dalam selimut sambil mendengarkan obrolan mereka.

"Ih kok kamu ngomong gitu sih, berarti kamu juga percaya apa yang dibilang sama Subuh? Jahat sekali sih kamu An."

"Bukannya gitu, aku sama Subuh itu temenan sejak SD, aku kenal banget dia itu seperti apa, dia emang aneh anaknya. Waktu SD dia gak punya temen, lebih sering menyendiri. Pokoknya anti sosial. Kadang ngomong sendiri. Pas SMP dia mau bersosialisasi dan gak ngomong sendiri lagi. Dia juga sering ketakutan sendiri. Katanya sih dia sering ngeliat hantu. Mungkin aja kan yang dia omongin itu bener."

"Kalau bener gimana?"

"Udah gak usah dipikirin. Mungkin juga dia salah yang dibilang Subuh, aayo tidur aja."

Mereka berdua gak melanjutkan obrolan. Suasana hening sesaat. Suara orang yang yang sedang nyapu pun hilang.  

"Bruak!" suara benda seperti dibanting memecahkan keheningan. "Kya..." Ani dan Ifa teriak, aku tersentak kaget. "Suara apa itu?" celetuk Ani. 

Aku langsung bangun dan loncat ke atas ranjang. "Crang!" seperti suara kaca pecah.

"Apa itu?" ujar Ifa gemeteran. 

"Sst... diam jangan berisik!" ujarku. "Baca doa." sambil berbisik.

"Doa apa?" tanya Ani.

"Apa aja, jangan doa makan atau doa tidur. Ayat kursi hafal gak?" bisikku.

Ifa mulai menangis. "Sst... jangan nangis." Bisikku.

Ani meraih Al Qur'an, dengan gemetaran dia baca Al Qur'an. Ifa pun ikutan baca sambil nangis. Sementara aku beranjak dari ranjang dan turun mendekati pintu. Kubuka pintu perlahan-lahan. Pintu berdenyit lirih. Kubuka beberapa senti. Aku mengintip dari celah pintu. Ah sayang aku gak bisa liat apa-apa. Ah bodo aku kembali menutup pintu. Suara gaduh yang berasal dari samping kamarku berhenti. Suasana berubah mencekam. Ani dan Ifa terus ngaji. Aku duduk diam di ujung tempat tidur. Kami bergadang hingga subuh. Duduk diem di dalam kamar.

Allah huakbar, Allah huakbar... terdengar suara adzan Subuh. Aku membuka pintu kamarku. Tiba-tiba Muh keluar kamar sambil lari menuju kamarku. Dia lngsung membuka paksa pintu kamarku. Lalu masuk ke dalam kamar dan menabrakku. 

"Aduh apa-apaan sih?" tanyaku sambil memegang pundakku yang habis ditabrak Muh.

Gak beberapa lama kemudian Sigit keluar dari kamar, jalan sambil mengerang-ngerang. Matanya membalik melihat ke atas. 

"Si..Sigit... Sigit," Muh ngos-ngosan ngomong sambil terbata-bata. 

"Sigit kesurupan," ujarku. "Kya..." Ifa dan Ani teriak. 

"Bantuin woh ayo!" ujarku. 

"Bantuin gimana?" tanya Ifa.

"Pegangin." Kutarik tangannya Muh. "Ayo bang pegangin Bang Sigit, jangan sampai dia ngamuk," ujarku.

Muh menganggukkan kepalanya. Kita berdua langsung megangin tangannya Sigit.

Wahyu Pujiningsih
(Pekerja swasta, pencinta alam, tinggal di Madiun)

Sebelumnya: 
Rumah Kos Bekas Pesugihan (9)

Komentar