Kamis, 25 April 2024 | 19:08
CULINARY

Nikmatnya Nasi Padang di Saat Covid

Nikmatnya Nasi Padang di Saat Covid
(Dok. pribadi)

ASKARA - Kecuali sayurannya, Samuel sangat suka nasi padang. Di penghujung tahun lalu, karena belum memungkinkan untuk memasak di rumah baru saat pindahan, saya membawanya makan siang di warung nasi padang terdekat.

Dia sangat suka. Setelah itu, beberapa kali dia mengajukan permintaan khusus agar nasi padang jadi menu makan siangnya.

Covid-19 mengubah semuanya sejak empat bulan lalu. Tidak pernah lagi terpikir untuk makan nasi padang. Boro-boro beli, untuk tahu apakah warungnya buka saja tidak memungkinkan.

Kami benar-benar di rumah saja. Belajar menaati pemerintah, yang walau dalam banyak hal pada saat yang sama unsur-unsurnya justru tidak taat alias mencla-mencle dalam menghadapi wabah ini.

Minggu lalu, saya membawa ketiga bocah kami jalan sore hingga ke pinggir jalan besar. Itu jarang kami lakukan selama empat bulan ini. Tentu saja dengan perlengkapan masker dan kesiapsiagaan agar tak berpapasan dalam jarak dekat dengan orang lain selama perjalanan.

"Papi, itu nasi padangnya ternyata buka ya. Saya kira selama ini tutup. Saya sebenarnya pengen sekali makan nasi padang. Sudah lama sekali gak makan," ujar Samuel tiba-tiba. Saya spontan melirik ke arah warung padang murah meriah yang biasa kami makan atau beli bungkus itu.

Saya tidak bisa memenuhi permintaan spontan Samuel sore itu. Soalnya, agak repot menyeberang karena saya juga membawa kedua adiknya. Banyak kendaraan lalu lalang.

Dan lagian, makanan dengan menu yang selalu baru sudah disiapkan oleh Mama mereka di rumah. Makan malam kami sudah disiapkan. Rasa sudah jelas top markotop. Proses produksi aman dan bersih. Juga tak perlu keluarkan uang. Tinggal makan saja.

Sebelum jadwal makan siang tadi, ketika saya masih di bengkel sepeda, tetiba Samuel mengajukan proposal lisan kepada Mamanya. "Mami, saya ingin sekali makan nasi padang. Boleh ya?" ujar dia. Tentu saja dengan bumbu ekspresi wajah yang mendukung, intonasi yang memberi kesan penuh harap agar jangan ditolak, dan lain-lain. Dia cukup mahir merayu atau dalam bahasa kerennya: mempersuasi.

Mamanya langsung cair, luluh. Segera bersiap. Dengan berjalan kaki Mamanya menuju warung padang itu. Dan, ketika saya tiba di rumah, Samuel sedang menyantapnya dengan lahap.

Warung penjual nasi padang itu sangat sederhana. Bukan kelas restoran. Ini warung padang murah meriah. Serius. Murah meriahnya polll.

Per porsi cuma Rp 11.000. Itu sudah mencakup nasi, satu jenis lauk, sayur, sambal dan kuah. Kalau mau air putih, gratis biasanya.

Beberapa teman saya menjadi pelanggan tetap warung itu. Rasanya memang gak elite banget. Ya, kira-kira standar menengah bawahlah. Tetapi harganya itu lho. Sangat bersahabat. Sangat merakyat dalam bahasa populisnya.

Anda bisa mencobanya di Jalan Kemang Utara IX di sisi sebelah kanan kalau dari arah Lampu Merah Duren Tiga menuju Kemang. Posisinya sebelum Pasar Warung Buncit. Saya pernah tanya penjualnya, mereka menjual minimal 400 bungkus per hari.

Lalu, apa luar biasanya nasi padang siang ini dibanding pada waktu lalu dia beberapa kali menikmatinya? Biasa saja sebenarnya. Seperti saya sudah jelaskan di atas bahwa itu cuma sekelas warung biasa dengan rasa standar namun harga super bersahabat.

Sebelum pandemi, kami usahakan sekali atau dua kali membawa anak-anak jalan-jalan dan makan di luar rumah pada akhir pekan.

Tetapi, meski di mal, kami makannya biasanya kalau bukan di kantin murah meriah di mal itu maka kami akan cari resto yang harganya masih bersahabat. Kalau perlu banyak kesbeknya.

Maklum, meski bukan generasi milenial, kami juga terpapar dan tak terhindarkan tergabung dalam generasi kesbek. 

Kami berusaha menanamkan kepada anak-anak ini nilai-nilai yang tepat dalam memperlakukan makanan. Agar tak melihat momentum makan di luar itu sebagai pembalasan karena kebosanan atau ketidakpuasan atas makanan di rumah.

Kami melatih mereka untuk menikmati dengan penuh syukur apa saja yang disajikan di rumah. Termasuk bila makanan itu sangat sederhana sekali bila kami tidak bisa membeli bahan makanan dengan lebih lengkap. Makan di luar hanya sebagai variasi situasi saja. Tidak lebih.

Kadang-kadang memang perlu variasi. Sesekali. Sesuai kesanggupan. Tidak perlu memaksakan diri. Seperti dialami oleh beberapa orang yang merasa tersiksa hidupnya, merasa termiskin di dunia dan lain-lain hanya karena tidak bisa menikmati menu tertentu, di resto tertentu, diolah oleh koki tertentu, disajikan dengan cara tertentu, harga minimal tertentu dan lain-lain.

Pada dasarnya semua makanan kurang lebih sama bahan dasarnya. Cara mengolah dan komposisi bumbu saja yang bikin beda. Selebihnya karena jualan citra saja. Dan hal dasar yang lebih sama lagi yakni yang penting sama-sama bikin kenyang.

Di atas semua itu, entah apapun makanan yang tersedia dan masih bisa diupayakan, kalau Anda melihatnya sebagai tanda pemeliharaan Tuhan, Anda akan menikmatinya dengan penuh syukur, bahkan meski mungkin secara porsi tidak selalu mengenyangkan.

Jadi entah makan siangmu hari ini cuma nasi putih ditemani garam saja dan beberapa potongan cabe, nasi padang level warung atau resto elite, satu-satunya rekomendasi saya agar Anda merasakan kenikmatan yang sejati saat menyantapnya adalah dengan mengingat bahwa apapun sajian itu adalah tanda pemeliharaan Tuhan bagimu hari ini.

Dan bila masih mengeluh meski menikmati santapan sajian yang melimpah bahkan oleh sebagian orang membayangkannya saja sebuah kemustahilan, Bang Oma Irama bilang, "Anda 'itu terlalu'...!"

Menikmati nasi padang sederhana siang tadi, bagi Samuel sudah cukup. Dinikmati dengan penuh syukur dan lahap. Tidak ada lagi permintaan lain. Juga tidak ada komentar. Semua persoalan sudah selesai dengan sajian itu. Bagi dia, hidup dan makan itu sesederhana itu. Tidak usah dibawa ribet.

Nah, mengingat cerita nasi padang itu kali ini momentumnya pada masa pandemi Covid-19, maka rasanya cocok saja bila nama menu itu untuk sementara ini menjadi NASPADOVID. :D

Sabtu, 4 Juli 2020 

Etis Nehe
(Wisma Teratai, Warung Buncit, Jakarta Selatan)

 

Komentar