Jumat, 17 Mei 2024 | 21:27
OPINI

Sikap dan Pandangan Keraton Surakarta Terhadap Belanda

Dari Perspektif Theologis Historis dan Teori Kamuflase Konspirasi

Sikap dan Pandangan Keraton Surakarta Terhadap Belanda
Foto/Istimewa

Sebagai buyut Paku Buwono X sepertinya saya perlu meluruskan dan mengklarifikasi jangan sampai informasi berita yang salah kaprah dijadikan sebagai sejarah.

Saya tegaskan, tidak benar jika Keraton Surakarta tidak pernah ikut menentang Belanda dan tidak pernah ikut melawan kolonialisme Belanda. Apalagi dianggap memihak Belanda ini adalah perspektif radikal yang keliru dari gagal paham mungkin bisa jadi karena tidak runtut membaca sejarah.

Tentu banyak yang bertanya-tanya kenapa Keraton Kasunanan Surakarta waktu itu seakan-akan tidak menentang Belanda? Berbeda tidak seperti keraton Kesultanan Jogja?

Kurangnya informasi dan referensi yang cukup terhadap sejarah masa lalu tidak secara verbal tapi secara parsial (sebagian-sebagian).

Yang menarik bagi saya mengapa ada tuduhan seperti ini? Saya perkirakan awal tuduhan yang paling kuat adalah saat kejadiannya pada waktu Belanda menduduki dan menguasai Solo dan Jogya dengan kekuatan militer.

Sinuhun, Paku Buwono ke XII dimohon oleh Letkol Slamet Riadi Komandan Pasukan Gerilya di wilayah Karesidenan Surakarta untuk keluar dari Keraton menggabung dengan Pasukan Gerilya (Rakyat dan TNI) untuk meninggikan moril pasukan gerilya dalam menghadapi agresi militer Belanda.

Sinuhun tidak usah ikut bertempur cukup dibelakang saja sudah bisa meninggikan moril Gerilyawan. Tetapi apa yg diharapkan pak Samet Riadi tidak terlaksana karena Sinuhun tidak mau keluar dari Keraton.

Hal ini sangat berbeda dengan Sultan Hamengku Buwono IX yang aktif bergerilya malah Keraton Jogya jadi Markas Gerilyawan dan Mujahidin pimpinan Soeharto.

Sinuhun PB XII tidak ikut bergerilya melawan Belanda bukan dalam arti membantu Belanda apalagi diartikan memihak Belanda, Tidak!

Momen ini dimanfaatkan oleh kelompok Anti Swapraja (anti monarki anti kerajaan) yaitu kelompok yang dibekingi oleh kelompok kiri yang berwarna sosialis cikal bakalnya kelompok komunis Solo. Untuk membesar-besarkan masalah penolakan Paku Buwono XII dengan memfitnah memihak kepada Belanda.

Kelompok kiri Solo inilah yang memfitnah dan membesar-besarkan bahwa Keraton Kasunanan Surakarta tak pernah ada kiprahnya terhadap perjuangan melawan Belanda.

Memang kelompok sekuler, liberal dan komunis di Solo sejak dari dulu hingga saat ini jelas anti dan tidak suka pada sistem kerajaan bangkit lagi di Solo, dengan alasan fikrif Solo bukan kota perjuangan.

Masih ingat, pemberontakan PKI tahun 1948 pertama kali meletus di kota mana? Yaiti di kota Solo tepatnya di Srambatan.

Secara Pandangan Theologis (Agama) Dan Historis

Kita jangan lupakan sejarah bahwa prinsip azas dasar Keraton Jawa Mataram turun temurun adalah syariat Islam dan berdarah pejuang.

Yang semenjak dahulu Keraton Mataram Islam sudah berbasis Islam. Dan Jihad fi Sabilillah sebagai dasar atau fundamen perjuangan rakyat jawa dan tentara keraton Mataram.

Hal itu telah di buktikan langsung saat melawan penjajahan Belanda yang di pimpin langsung oleh seorang Raja Mataram Islam yaitu Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma.

Hingga saat Dinasti Mataram terpecah menjadi dua keraton Solo dan Jogja, para raja Solo tetap meneruskan perjuangan leluhurnya Sultan Agung dalam berjihad melawan Belanda.

Siapa bilang Keraton Surakarta tidak mau ikut memerangi penjajahan Belanda? Kalau boleh saya katakan malah sebetulnya keturunan raja-raja Kasunanan Surakarta adalah keturunan darah para pejuang sama saja dengan Jogja.

Apakah kita lupa dengan Sri Susuhunan Pakubuwono VI beliau merupakan salah satu raja yang pernah bertahta di Kasunanan Surakarta Hadiningrat, tapi beliau juga pejuang melawan Belanda.

Siapakah beliau? Beliau adalah seorang Raja putra Pakubuwono ke V yang paling keras melawan penjajahan Belanda.

Sebetulnya dahulu pada masa Pakubuwono VI diam-diam dirinya menjadi pemimpin melawan Belanda didalam keraton Kasunanan dan pernah menjadi markas mujahidin dan gerilyawan untuk melawan Belanda.

Memang berbeda dengan Jogja, kalau keraton Jogja secara terang-terangan menjadi markas perjuangan melawan kolonial Belanda.

Rupanya PB VI adalah seorang raja yang ber otak cerdas ahli strategi perang sehingga beliau PB VI saat itu diangkat oleh Pangeran Diponegoro sebagai arsitek perangnya pasukan Mujahidin Pangeran Diponegoro.

Pangeran Diponegoro sendiri adalah seorang Pangeran (anak raja) kesultanan Jogja anak dari Hamengkubuwono III.

Jangan heran bila PB VI saat bergerilya bersama Pangeran Diponegoro juga berpakaian ala jubah dan sorban sebagai imamah di kepalanya seperti Pangeran Diponegoro dan pasukannya. Karena bagi bagi PB VI dan Pangeran Diponegoro perang melawan kafir Belanda termasuk bagian dari perang suci yaitu Jihad Fisabilillah.

Jadi secara pandangan theologis dan historis keraton Surakarta dan dan Keraton Jogjakarta adalah dua keraton yang sama-sama memiliki basis perjuangan melawan kolonialisme yang secara sejarah berbasis perjuangan.

Teori Konspirasi Kamuflase

Memang Keraton Surakarta berbeda cara perjuangannya melawan Belanda. Sebetulnya Keraton Surakarta lebih pasif karena menerapkan kepada aspek approach (pendekatan dengan psikologis) hanya sebagai kamuflase dihadapan Belanda saja.

Seakan-akan bersahabat dan berkonspirasi padahal ini dalam rangka untuk mencari titik lemah dan memata-matai Belanda dari dalam.

Hal ini telah dibuktikan oleh Paku Buwono VI raja Kasunanan Surakarta. Dimana PB VI secara dhohir bisa dekat dengan Belanda tetapi secara batin tidak. Sehingga PB VI bisa membocorkan rencana dan strategi Belanda. Beliau ini diam-diam ikut turun bergerilya mendampingi bersama Pangeran Diponegoro didalam berbagai aksi operasi pertempuran melawan Belanda.

Tapi ternyata Belanda mencium bahwa Raja Kasunanan PB VI berkerja sama dengan pasukan Diponegoro, maka beliaupun ditangkap oleh belanda lalu beliau diasingkan ke Ambon. Dan di Ambon beliau wafat. Kemudian saat pemerintahan PB X makamnya yang di Ambon digali dan jasadnya dipindahkan ke makam raja-raja di Imogiri.

Saat perpindahan jasad PB VI dari Ambon ke Imogori nampak tengkorak di dahi kepalanya beliau terlihat lubang ini menunjukkan bahwa Belanda membawa PB VI bukan untuk diasingkan tapi memang untuk dibunuh dieksekusi oleh Belanda di Ambon.

Dari sejarah ini saja sudah membuktikan bahwa Keraton Kasunanan Surakarta ikut berjuang melawan Belanda tidak pernah tidak menentang Belanda apalagi memihak Belanda.

Kala itu Sunan Paku Buwono XII di Surakarta masih sangat muda belia berusia hampir 20 tahun sehingga mungkin bisa dimaklumi dan wajar saja bila mungkin tidak sesigap dan sematang Sultan Hamengku Biwono IX di Jogja yang jauh lebih tua dan matang di awal-awal bergabungnya dengan republik ini. Inilah alasan yang memunculkan opini negatif terhadap Keraton Surakarta.

Paku Buwono XII saat tidak ikut turun bergerilya bukan di artikan tidak menentang Belanda apalagi diartikan memihak Belanda, Tidak!

Karena Paku Buwono XII pada waktu Proklamasi kemerdekaan sempat mengeluarkan pernyataan politik dengan tegas mendukung dan mengakui kemerdekaan RI dan menyatakan berada dipihak Republik Indonesia.

Jadi, mungkin kita bisa menyimpulkan, dimasa sinuhun Paku Buwono VI beliau telah melakukan perjuangan begitu gigihnya melawan Belanda secara fisik. Sedangkan pada masa Sinuhun Paku Buwono X dan Paku Buwono XII beliau melakukan perjuangannya melawan Belanda melalui smooth politics.

Memang diakui saja kalau Keraton Surakarta lebih pasif dan lemah dalam menghadapi Belanda, tapi sikap lemah tidak bisa dikatakan tidak melawan apalagi dikatakan memihak Belanda. Tidak!

Jangan lupa bahwa di keraton Kasunanan Surakarta juga ada salah satu tokoh nasional putra raja dari Sinuhun Paku Buwono ke X yang menjadi seorang tokoh politikus dan sebagai anggota BPUPKI yaitu GPH. Soerio Hamidjoyo beliau adalah kakek saya sendiri.

Beliau GPH. Soerio Hamidjoyo adalah satu-satunya putra raja PB X putro ndalem seorang Pangeran yang aktif bergelut didunia politik yang ikut aktif memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Maka dari sisi mana bila keluarga dari Keraton Surakarta sama sekali diam tidak menentang tidak ada kontribusinya dalam perjuangan melawan Belanda, apalagi sampai dikatakan memihak.

Kalau dalam ilmu hadist ini bisa dikatakan riwayat berita ini sangat lemah dari sanadnya dan perawinya (pembawa berita) dan bisa dikatakan riwayatnya dhoif.

Kanjeng Senopati
(K.RMH. Tommy Wibowo Hamidjoyo.SE)

Komentar