Kamis, 17 Juli 2025 | 04:28
COMMUNITY

Kejahatan Perang Tergantung Seragam Siapa

Kejahatan Perang Tergantung Seragam Siapa
Gaza Palestina

ASKARA - Ketika Gaza dibantai lebih dari 600 hari, dunia bungkam. Bayi dilindas, perempuan diperkosa, masjid dihancurkan, dan rumah sakit dibombardir. Tapi saat sebuah negara adidaya dihantam rudal selama tujuh hari, mereka langsung menggugat dunia dengan teriakan: "Ini kejahatan perang!" Ironi keadilan telah mencapai titik nadir.

Keadilan, seperti halnya demokrasi versi dunia hari ini, telah menjadi parodi yang menjijikkan. Selama lebih dari 600 hari, Gaza dijadikan arena pembantaian sistematis: rumah sakit diratakan, bayi dilindas tank, perempuan diperkosa dalam gelapnya pengungsian, dan masjid disulap jadi debu oleh rudal yang katanya “pintar”. Tapi dunia menahan napas bukan karena ngeri, melainkan karena mereka terlalu sibuk menghitung nilai kontrak senjata.

Mari kita ucapkan selamat datang pada teater absurditas global: saat satu negara melawan agresi militer yang tak seimbang, ia dituduh “teroris”. Tapi ketika negara berotot memuntahkan bom dari langit dan menyebut itu “pembersihan teroris”, kita diminta bertepuk tangan atas nama stabilitas.

Apakah hukum humaniter internasional punya lensa selektif? Apakah Konvensi Jenewa kini dijilid dalam dua versi: satu untuk negara berseragam rapi dan satu lagi untuk rakyat bersendal jepit? Lebih ironis, ketika bom jatuh ke kepala anak-anak di Gaza, para pejabat dunia menyebutnya “kerugian sampingan”. Tapi ketika negara adikuasa tersentil rudal selama tujuh hari, mereka menggiring opini dunia bahwa itu adalah “kejahatan perang”.

Oh, betapa mahalnya harga air mata jika yang menangis bukan anak-anak Timur Tengah. Dan betapa murahnya nyawa jika darah yang tumpah tak mengalir dari kulit putih berjaket pers atau diplomat.

Tak cukup hanya menyebut ini kemunafikan. Ini adalah pendangkalan moral global. Ketika Palestina menguburkan 30.000 lebih syuhada tanpa satu pun investigasi PBB yang berarti, dunia menggenggam ponsel dan menyusun pernyataan prihatin di Twitter. Namun ketika satu markas militer diserang balik selama seminggu, dunia bersidang kilat, mengutuk beramai-ramai, dan menyebutnya sebagai ancaman bagi peradaban.

Peradaban macam apa yang kalian maksud? Peradaban yang hanya bangun saat tembok kalian retak, tapi tetap tidur lelap saat rumah anak yatim hancur? Peradaban yang bersatu jika rudal menyasar wilayah elite, tapi tercerai saat mendengar bayi dibom di kamp pengungsian?

Keadilan ternyata bukan soal benar atau salah. Tapi soal siapa yang punya drone lebih banyak, kamera lebih banyak, dan suara lebih nyaring di ruang sidang PBB. Kebenaran sekarang tergantung siapa yang punya koneksi server media global.

Apakah membombardir rumah sakit bukan kejahatan perang? Apakah menjadikan kelaparan sebagai senjata taktis bukan kejahatan perang? Apakah menyandera ambulans dan memutus akses air bersih adalah tindakan heroik?

Sungguh, jika definisi “teroris” disusun oleh para penindas, maka jangan heran jika mereka yang membela tanahnya sendiri disebut ekstremis. Dunia terbalik tidak karena gravitasinya hilang, tapi karena hati nurani kolektif telah mati dan dikubur dengan upacara diplomatik.

Dan kini, setelah 600 hari tragedi yang nyaris tak disorot kamera utama, mereka yang selama ini mendiamkan genosida di Gaza justru berdiri gagah memekik: “Ini kejahatan perang!” saat hanya tujuh hari pos mereka digempur rudal balasan.

Jangan salahkan kami jika kami sinis. Karena sinisme kami lahir bukan dari ketidaktahuan, tapi dari terlalu sering disuguhi sandiwara internasional yang menjual air mata buatan, keprihatinan palsu, dan moralitas yang hanya aktif kalau kepentingannya ikut terkena bom.

Barangkali dunia butuh kacamata baru. Kacamata yang tak hanya melihat korban berkulit putih sebagai manusia, dan yang lain sebagai statistik. Dunia tak akan pernah adil jika yang menciptakan hukum juga yang melanggarnya paling banyak. Dan suara nyaring tentang “kejahatan perang” akan tetap jadi guyonan paling pahit, selama Gaza tetap dijadikan laboratorium eksperimental kekejaman modern.

Karena rupanya, dalam dunia kalian:

- Jika kalian membunuh, itu pertahanan.
- Jika kami melawan, itu terorisme.
- Jika kalian dibalas, itu kejahatan perang.
- Jika kami diserang, itu statistik.

Ironi keadilan kini sudah tidak sekadar memekakkan telinga. Ia menusuk nurani, menghancurkan makna kemanusiaan yang selama ini dikibarkan di podium, tapi diinjak di medan perang.

Dan Gaza? Gaza tetap membisikkan kepada langit, bukan untuk dunia yang tuli melainkan kepada Tuhan yang Maha Mendengar, tempat keadilan sejati tak butuh siaran pers atau suara mayoritas.

Jadi, simpanlah teriakan “kejahatan perang” kalian. Dunia sudah muak dengan lakon berpihak yang terus dipentaskan oleh kalian, sang pemeran utama sekaligus penulis naskahnya. (Dwi Taufan Hidayat)

Komentar