Kamis, 17 Juli 2025 | 03:03
LIFESTYLE

Perempuan dan Botol di Negeri Orang

Perempuan dan Botol di Negeri Orang
Riska

ASKARA - Langkah kaki Riska tak pernah ragu menelusuri trotoar kota Sydney sambil memanggul karung besar berisi botol bekas. Mahasiswi asal Indonesia ini memilih jalan tak biasa: menukar botol demi botol untuk menambah biaya hidup dan kuliah. Di balik kesederhanaan itu, ada tekad besar yang menyala bahwa mimpi tak menunggu keringanan nasib.


Senyum Riska mengembang walau pundaknya dibebani karung plastik besar berisi ratusan botol kosong. Di kota Sydney yang serba cepat dan mahal, Riska melangkah mantap menyusuri jalanan, bukan sebagai turis, bukan pula sebagai ekspatriat dengan gaya hidup gemerlap, tetapi sebagai pejuang harian yang mengandalkan kepingan botol demi secercah masa depan.

Tak banyak yang tahu, bahwa setiap botol plastik atau kaleng bekas yang dikembalikan ke mesin daur ulang di New South Wales akan dihargai 10 sen Australia. Sekilas tampak sepele. Tapi bagi Riska, sepuluh sen demi sepuluh sen itu bisa berarti sekotak nasi, ongkos naik bus, atau tambahan uang beli buku. Bagi orang yang menabung harapan, angka sekecil itu bukan main-main.

Tak semua orang sanggup memeluk rasa malu dan mengubahnya jadi energi. Namun Riska, perempuan 22 tahun asal Jawa Tengah, memilih jalan itu. Ia tahu, kuliah di luar negeri bukan soal gaya hidup, melainkan tanggung jawab. Ketika sebagian teman mungkin memilih tidur lebih lama di akhir pekan, Riska justru menyusuri tempat sampah umum dan sudut-sudut taman kota, mencari botol bekas yang ditinggalkan pengunjung.

“Kadang orang mandang saya aneh. Tapi saya cuma senyum. Niat saya baik, buat biaya kuliah,” ujarnya suatu kali, seusai mengantarkan karung ketiga hari itu ke mesin refund.

Riska mengambil jurusan Ilmu Lingkungan di salah satu universitas negeri di Sydney. Ia belajar tentang keberlanjutan, krisis iklim, dan pentingnya mengurangi limbah plastik. Aktivitasnya mengumpulkan dan menukarkan botol justru menjadi bentuk nyata dari apa yang ia pelajari: tak sekadar teori, tapi pengamalan.

Selain mengumpulkan botol, Riska juga bekerja paruh waktu di sebuah gerai cepat saji. Dari mencuci piring, membersihkan meja, sampai melayani pelanggan yang kadang cerewet, semua dilakoni tanpa keluhan. Dalam seminggu, ia menyusun jadwal yang padat: kuliah pagi, kerja sore, dan akhir pekan berburu botol.

Namun yang paling berat bukanlah kelelahan fisik. Yang paling menyiksa, katanya, adalah ketika rasa rindu rumah datang tanpa bisa ditawar. Ia merindukan masakan ibunya, suara ayam di pagi hari, dan pelukan ayah yang biasanya menyambut di teras. Tapi ia memilih diam. Menangis sebentar, lalu kembali menyusun botol.

Ibunya pernah berkata, “Kalau tidak kuat, pulang saja.” Tapi Riska tahu, pulang dengan tangan kosong bukan pilihan. Ia ingin membuktikan bahwa meski lahir dari keluarga sederhana, ia bisa menyelesaikan studi dengan keringat sendiri.

“Saya enggak mau hidup bergantung. Saya ingin bisa berdiri dengan kaki sendiri,” ujarnya mantap.

Kisah Riska memang bukan satu-satunya. Banyak pelajar Indonesia di luar negeri yang hidup serba pas-pasan. Tapi cerita-cerita seperti itu jarang muncul ke permukaan. Yang sering ditampilkan adalah sisi glamor: foto di depan kampus ternama, pemandangan luar negeri, atau gaya hidup serba trendi. Padahal di balik semua itu, ada mereka yang mengatur makan dua kali sehari, memilih jalan kaki puluhan menit demi hemat ongkos, bahkan mencuci pakaian di wastafel kamar mandi.

Apa yang dilakukan Riska bukan hanya tentang bertahan hidup. Ia sedang membangun nilai-nilai dalam dirinya: tentang tanggung jawab, tentang kerja keras, dan yang paling penting, tentang keberanian melawan gengsi. Dalam banyak kesempatan, ia menuliskan pengalamannya di blog pribadi, agar orang lain tahu bahwa hidup di luar negeri tidak selalu seindah unggahan media sosial.

Ia menulis, “Saya belajar bahwa rasa malu itu bisa ditekan, tapi kehilangan harga diri karena jadi beban orang tua, itu jauh lebih menyakitkan.”

Kini Riska memasuki tahun ketiga kuliahnya. Ia mendapat beasiswa parsial sejak tahun kedua, namun biaya hidup tetap menjadi beban yang harus dipikul sendiri. Ia belum menyerah. Setiap botol yang ia tukar, setiap shift yang ia jalani, adalah satu langkah mendekatkan diri pada gelar sarjana.

Harapannya sederhana. Setelah lulus, ia ingin kembali ke Indonesia dan mengajar. Ia ingin berbagi cerita dan membuktikan, bahwa tidak perlu jadi orang kaya untuk bisa belajar tinggi. Yang penting adalah tekad dan keberanian untuk menempuh jalan yang tidak mudah.

“Saya enggak nyari hidup enak. Saya cuma ingin hidup layak dan berguna,” ucapnya, sembari menata botol ke dalam karung yang kembali terisi.

Ketika matahari tenggelam di ufuk barat Sydney dan lampu-lampu jalan mulai menyala, Riska masih berdiri di depan mesin daur ulang. Sekantong botol kembali ditelan mesin, satu per satu. Layar digital menampilkan angka: AUD $3.80. Angka kecil, tapi cukup untuk membeli bahan makan malam.

Dan dalam keheningan itu, ia tersenyum. Karena ia tahu, masa depan tidak dibangun oleh keberuntungan, tapi oleh mereka yang berani menempuh jalan sulit dengan hati teguh. (Dwi Taufan Hidayat)

Komentar