Kamis, 17 Juli 2025 | 16:16
CULINARY

Boikot, Ayam, dan Identitas Konsumen

Boikot, Ayam, dan Identitas Konsumen
Restoran siapp saji (ist)

ASKARA - Di tengah aroma ayam goreng dan denting panci dapur, terjadi pergolakan sosial yang tak bisa diremehkan. Gerai Almaz Fried Chicken yang dijejali pelanggan melawan sepinya McD di Karawang bukan sekadar fenomena kuliner.

Ini adalah manifestasi sikap konsumen Indonesia: gabungan antara selera lidah, kesadaran politik, dan pencarian identitas kultural yang semakin menggema.

Fenomena Almaz versus McDonald's bukan hanya duel dua ayam goreng, melainkan gambaran kompleks dari pergeseran kesadaran sosial, politik, dan kultural masyarakat Indonesia.

Di permukaan, ini tampak seperti adu promosi, rasa, dan branding. Tapi di lapisan yang lebih dalam, gerai yang satu dijejali pengunjung, sementara gerai lain lengang seperti toko VHS di era Netflix, menunjukkan transformasi paradigma konsumen dalam menyikapi globalisasi dan isu geopolitik.

Boikot terhadap produk produk Barat, terutama yang diduga mendukung Israel dalam konflik berkepanjangan di Palestina, telah menjelma dari sekadar seruan moral menjadi tindakan ekonomi nyata.

McDonald's, sebagai simbol multinasional Barat, menjadi sasaran empuk. Padahal, secara legal dan struktural, gerai McD di Indonesia dikelola oleh perusahaan lokal dengan pekerja lokal pula. Namun, di mata konsumen yang digerakkan oleh emosi kolektif dan solidaritas umat, simbol tetaplah simbol dan simbol adalah segalanya.

Kemenangan Almaz dalam "pertarungan ayam" ini bukan hanya soal rasa rempah yang menggoda atau saus yang lebih jazirah. Ini adalah kemenangan narasi. Almaz datang bukan sekadar menjual makanan, melainkan menjual makna. Dengan tagline “Ayam Goreng Saudi No. 1 di Indonesia,” mereka menembus lapisan identitas religius dan kultural masyarakat urban.

Dalam era pascamodern, konsumen tak lagi hanya membeli produk, mereka membeli cerita, ideologi, dan afiliasi moral.

Sementara McD datang dengan citra universal dan modernitas global, Almaz datang membawa nuansa Timur Tengah, lengkap dengan semangat "berpihak."

Inilah yang membedakan: satu adalah raksasa bisnis yang netral dan steril, yang lain adalah simbol gerakan meski mungkin secara faktual tak pernah menyatakan dukungan eksplisit untuk Palestina. Tapi dalam narasi publik, Almaz sukses menempatkan dirinya sebagai alternatif yang lebih "berpihak", lebih "bersahabat dengan umat", dan tentunya lebih “halal secara emosional”.

Papan bunga yang berderet di depan Almaz pun bukan sekadar lelucon, melainkan simbol sosial baru. Makan di Almaz menjadi bentuk ekspresi politis, layaknya membeli produk UMKM saat pandemi, atau memilih transportasi lokal di tengah polemik dominasi aplikasi asing.

Bahkan antrean panjang dan waktu tunggu berjam jam tidak dilihat sebagai ketidaknyamanan, melainkan sebagai bentuk "jihad konsumen" pengorbanan kecil dalam perjuangan besar.

Namun, apakah ini hanya tren sesaat atau pergeseran permanen?

Sejarah konsumen Indonesia mencatat bahwa tren kuliner kerap kali bersifat musiman. Dari Kebab Turki, Chatime, hingga Es Kepal Milo semuanya sempat memuncaki langit popularitas, lalu menguap pelan pelan.

Namun, ada yang berbeda dari kasus Almaz: daya dorongnya bukan hanya lidah, melainkan hati dan kesadaran kolektif. Momentum boikot yang bersandar pada konflik Palestina Israel memberi Almaz pondasi sosial yang jauh lebih kokoh dibanding sekadar gimmick rasa.

Tetapi tetap ada pertanyaan krusial: apakah gerakan ini benar benar memahami substansi atau sekadar ikut tren?

Boikot, jika tidak disertai literasi kritis dan sikap konsisten, rentan berubah menjadi euforia sesaat. Kita bisa melihat banyak yang bersikap selektif: memboikot McD sambil tetap aktif di media sosial yang datanya disimpan di server negara negara pendukung Israel. Atau menggunakan HP buatan perusahaan yang juga mendukung zionisme, sembari menyeru boikot dari status WhatsApp.

Maka tantangan berikutnya adalah bagaimana mengawal kesadaran ini agar tidak menjadi gerakan hipokritikal belaka ramai di mulut, tapi kosong di prinsip.

Dalam konteks inilah, Almaz menjadi lebih dari sekadar bisnis ayam goreng. Ia telah menjadi studi kasus bagi para sosiolog, pakar pemasaran, dan aktivis sosial. Bahwa dalam dunia serba cepat ini, narasi yang tepat bisa menggoyang kekuatan ekonomi mapan.

Bahwa lokal bisa menantang global, asal membawa isu yang menyentuh urat nadi masyarakat.

Penting untuk dicatat bahwa kemenangan Almaz tidak serta merta berarti kekalahan McD secara menyeluruh. McD tetap menjadi salah satu jaringan restoran terbesar dengan sistem distribusi, kualitas layanan, dan pengalaman global yang tak tertandingi. Tapi kejadian di Karawang mengingatkan kita bahwa kekuatan multinasional pun bisa goyah di hadapan gerakan moral yang digerakkan dari bawah. Dan itu, dalam lanskap konsumen modern, adalah hal yang sangat berarti.

Di sisi lain, keberpihakan konsumen juga semestinya mengarah pada pemberdayaan jangka panjang. Artinya, tak cukup hanya ramai makan di Almaz. Harus ada kesadaran bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan adalah suara politik dan dukungan ekonomi.

Dan jika benar benar ingin berpihak pada Palestina atau umat yang tertindas, maka logika konsumsi harus berubah: dari konsumtif ke produktif, dari impulsif ke strategis.

Kita tidak sedang menyaksikan pertarungan ayam biasa, tapi pertarungan antara dua cara pandang: makan sebagai kebutuhan vs makan sebagai pernyataan. Dan sejauh ini, publik tampaknya lebih memilih yang kedua.

Apakah Almaz akan terus bertahan setelah gelombang boikot mereda? Itu pertanyaan terbuka. Namun satu hal pasti: dalam lanskap konsumen Indonesia hari ini, makna bisa lebih laris daripada makanan. Dan ayam bisa menjadi senjata wacana yang menggugah kesadaran.

Karawang bukan lagi sekadar titik di peta. Ia menjadi saksi bahwa perut dan nurani bisa berjalan bersama, bahwa ayam goreng bisa jadi panggung politik, dan bahwa pilihan kuliner bisa menjadi bentuk perjuangan.

Sebagai konsumen, kita akhirnya dihadapkan pada pilihan: hanya mengisi perut, atau sekaligus menyuarakan sikap. Dan dari antrean di depan gerai Almaz, tampaknya jawaban masyarakat Indonesia sudah cukup jelas.(Dwi Taufan Hidayat)

Komentar