Kamis, 17 Juli 2025 | 04:48
COMMUNITY

Polisi Tanpa SK, Gaji, Nurani

Polisi Tanpa SK, Gaji, Nurani
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi bertemu Banpol tua

ASKARA - Fenomena kakek tua berseragam polisi yang ternyata hanya “ditugaskan” menjaga jalan tanpa Surat Keputusan resmi dan tanpa gaji, sungguh menampar akal sehat publik. Ini bukan hanya soal pelanggaran prosedur, tapi cerminan bobroknya sistem yang mempermainkan martabat manusia, sementara aparat sah malah entah ke mana.

Di sebuah tikungan jalan sepi, seorang kakek renta berdiri tegak berseragam polisi. Bukan sedang cosplay atau main drama dokumenter, melainkan benar-benar “bertugas” menjaga lalu lintas atas perintah pihak yang konon berasal dari institusi kepolisian. Namun ada satu hal yang menggelitik: dia tidak bergaji, tidak bersurat keputusan, dan penghasilannya berasal dari belas kasih para sopir yang melintas.

Sungguh sebuah potret ironi yang kian menajamkan absurditas birokrasi negeri ini. Lantas muncul pertanyaan yang tak kalah menyakitkan: di mana sebenarnya para polisi sungguhan?

Apakah ini bentuk outsourcing gaya baru? Atau barangkali reformasi birokrasi kita telah berevolusi menjadi parodi tragikomedi yang menggaji pejabat dengan anggaran miliaran, tapi membiarkan seorang kakek jadi polisi gadungan tanpa status hukum? Jika benar dia “ditugaskan” oleh Polres, maka publik berhak menggugat: mana dokumennya, mana legalitasnya, dan kenapa institusi sebesar kepolisian RI merekrut orang tanpa hak dan jaminan kerja?

Pertunjukan ini tak ubahnya sandiwara paling murah yang pernah disaksikan rakyat. Lebih murahan dari sinetron dini hari, dan lebih memilukan dari telenovela zaman VHS. Karena sang aktor utamanya bukan superstar, melainkan seorang lansia dengan mimpi sederhana: dihormati dan dianggap berguna.

Namun apakah itu harus ditebus dengan menjadi tameng palsu bagi wajah institusi negara? Apakah seragam dan pangkat bisa dipinjamkan seenaknya, seolah-olah hukum hanya berlaku untuk kalangan tak punya koneksi?

Kita pun tiba di babak sinisme: saat aparat resmi duduk manis di kantor ber-AC, warga tua diminta berdiri di panas terik menjaga jalan yang bahkan bukan tugasnya. Sementara publik sibuk dipertontonkan gimmick-gimmick “polisi humanis”, realitasnya malah menunjuk pada kejahatan struktural: eksploitasi yang dilegalisasi, kemiskinan yang dimanipulasi.

Bayangkan, andai ada kecelakaan atau pelanggaran lalu lintas, siapa yang akan bertanggung jawab? Si kakek? Dia bukan anggota resmi. Si Polres? Mereka tidak mengakui secara terbuka. Maka tragedi berikutnya adalah: hilangnya akuntabilitas, dan teater kekuasaan terus berlanjut tanpa koreksi.

Jika benar kakek itu hanya menjalankan “tugas moral”, maka inilah saatnya bangsa ini berhenti menertawakan penderitaan orang kecil yang dijadikan bumper sistem. Sebab tugas moral seharusnya tidak dibayar dengan receh dari sopir, tapi dengan rasa hormat dan kepastian hukum.

Kasus ini harus menjadi refleksi keras: sudah sedalam apa institusi negara membiarkan sistem bekerja tanpa hati? Jika peran polisi bisa digantikan oleh kakek tua yang tidak bergaji, maka dua kemungkinan muncul: sistem sedang sangat rusak, atau memang tak pernah berfungsi sejak awal.

Kita hidup di negeri di mana seragam bisa dibeli, jabatan bisa dipinjamkan, dan tanggung jawab bisa dilesapkan. Lalu siapa yang benar-benar menjaga jalan, rakyat, dan hukum? Tentu bukan kakek itu. Tapi mereka yang seharusnya berseragam resmi, dibayar dari uang rakyat, dan punya SK jelas.

Namun jika mereka malah membiarkan ini terjadi, maka mereka bukan lagi aparat, tapi penonton dari sandiwara paling kelam dalam sejarah pelayanan publik.

Mungkin benar, negeri ini terlalu sibuk ber-selfie dengan citra, tapi lupa bahwa realitasnya ditopang oleh tenaga renta yang bahkan tidak diakui keberadaannya.

Dan kepada kakek berseragam itu, kami hanya bisa berkata: engkau layak lebih dari sekadar upah dari sopir lewat. Engkau layak untuk dihormati sebagai manusia. Tapi tidak seharusnya dengan cara seperti ini. (Dwi Taufan Hidayat)

Komentar