Kamis, 17 Juli 2025 | 04:17
COMMUNITY

Aceh Bergolak, Jakarta Jangan Menyepelekan Amarah

Aceh Bergolak, Jakarta Jangan Menyepelekan Amarah
Muzakir Manaf (ist)

ASKARA - Aceh kembali panas, bukan karena cuaca tapi karena luka yang terus dikoyak narasi dan kebijakan pusat. Jika Presiden Prabowo tidak segera turun tangan dengan langkah nyata, bukan tidak mungkin bara kecil ini akan menjelma kobaran api besar. Aceh bukan provinsi biasa; ia tanah yang pernah berdarah mempertahankan kehormatan dan harga diri.

Pernyataan singkat namun sarat makna dari masyarakat Aceh, “Sejengkal tanah kami kalian ambil, sampai mati kami beri perang yang tak pernah bisa kalian padamkan,” bukan sekadar ancaman. Itu alarm keras yang menggetarkan relung-relung sejarah republik ini. Tapi sayangnya, Jakarta seringkali tuli terhadap suara yang tidak bersumber dari mikrofon istana.

Kegeraman yang membara di tengah masyarakat Aceh bukan muncul dari ruang hampa. Ia tumbuh subur dari kesumat yang tak pernah sembuh, dari luka lama yang dibuka kembali oleh sikap dingin kekuasaan pusat, dari perlakuan yang seolah menempatkan Aceh hanya sebagai angka statistik, bukan wilayah berdaulat yang punya sejarah panjang perjuangan dan kehormatan. Aceh bukan tanah yang bisa diperlakukan seperti halaman belakang republik ditambang seenaknya, diatur semena-mena, dan diajak bicara hanya ketika pusat sedang butuh.

Narasi dari seorang elite yang menyatakan, “Kami di sini tenang-tenang saja, tapi suasana di Aceh panas,” adalah bentuk ketidakpekaan sekaligus arogansi politik. Itu seperti mengatakan kepada korban luka, “Kami sehat-sehat saja, jadi kamu jangan mengeluh.” Ini bukan saatnya bersikap masa bodoh, apalagi menyiram api dengan bensin. Yang dibutuhkan saat ini adalah keberanian untuk mengakui ada masalah dan ketulusan untuk mendekap Aceh bukan hanya saat kampanye.

Presiden Prabowo, yang selama ini dikenal tegas dalam banyak hal, justru diuji ketegasannya saat ini. Bukan dengan retorika heroik, tapi dengan tindakan konkret yang menunjukkan bahwa Aceh bukan hanya bagian dari NKRI di atas kertas, melainkan bagian dari tubuh yang jika disayat, seluruh negeri ikut berdarah.

Aceh menyimpan potensi konflik yang tak bisa diremehkan. Bukan karena mereka haus kekuasaan, tapi karena terlalu sering dilecehkan dalam wujud kebijakan yang sentralistik dan pendekatan keamanan. Jika pernyataan tegas masyarakat Aceh diabaikan, maka jangan salahkan siapa pun ketika tanah rencong itu kembali memanggil para pejuangnya. Bukan untuk berdialog, tapi untuk bertempur mempertahankan martabat.

Dalam sejarah republik ini, Aceh telah membuktikan bahwa ia bukan tanah yang mudah tunduk. Bahkan Belanda pun harus bersimbah darah selama puluhan tahun dalam perang Aceh yang paling berdarah dalam sejarah kolonial. Kini, setelah reformasi dan otonomi khusus, haruskah kita kembali menguji kesabaran dan semangat perlawanan yang telah lama tertidur itu?

Jika Presiden Prabowo ingin dicatat sebagai pemimpin yang berhasil menjaga persatuan dalam kebhinekaan, maka jangan abaikan bara di tanah Serambi Mekkah. Datanglah ke Aceh, bukan untuk meredam amarah dengan janji, tapi dengan langkah nyata: evaluasi kebijakan yang menyulut api, buka dialog yang setara, dan hentikan kesewenang-wenangan atas tanah dan hak hidup rakyat Aceh.

Persatuan bangsa ini tidak dibangun di atas pengabaian. Ia tumbuh dari pengakuan dan penghargaan. Ketika Jakarta bersikap acuh, Aceh merasa makin jauh. Ketika elite negeri merasa tenang-tenang saja, rakyat di ujung barat Nusantara justru merasakan getir dan diperlakukan seperti warga kelas dua. Ini bukan sekadar isu lokal, ini tentang luka bangsa yang bisa menjalar ke seluruh tubuh jika tak segera ditangani.

Narasi yang muncul dari masyarakat Aceh bukan delusi separatis, melainkan ekspresi kemarahan yang sangat masuk akal dalam konteks ketidakadilan. Mereka merasa tanahnya dirampas, suaranya diabaikan, dan hak-haknya dikerdilkan. Jika ungkapan seperti itu muncul dan terus bergema, jangan salahkan rakyat jika mereka memilih jalan yang lebih radikal. Karena saat diplomasi dibungkam, sejarah menunjukkan bahwa perlawanan akan menemukan jalannya sendiri.

Jakarta harus sadar, Indonesia bukan hanya Pulau Jawa. Dan Aceh bukan provinsi yang bisa diperlakukan sebagai penonton dari panggung kekuasaan yang didesain dari ibu kota. Jangan uji kesabaran rakyat yang pernah mengukir sejarah dengan darah dan air mata. Karena ketika sabar berubah menjadi bara, ia akan melahap siapa pun yang meremehkannya.

Presiden Prabowo punya peluang membuktikan bahwa kepemimpinannya bukan hanya soal pidato lantang dan jargon nasionalisme, tetapi tentang keberanian menurunkan ego kekuasaan demi merawat tenun kebangsaan. Jangan menunggu Aceh kembali bergejolak, jangan tunggu rakyatnya menyambut Jakarta dengan bendera setengah tiang.

Aceh sedang bicara. Tapi apakah Jakarta sedang mendengar? (Dwi Taufan Hidayat)

Komentar