Viral! Komjen Rudy Heriyanto Diisukan Gantikan Listyo Sigit sebagai Kapolri
Menimbang Arah Baru Kepemimpinan Polri

ASKARA - Pergantian Kapolri bukan sekadar urusan administratif. Ia menyentuh jantung demokrasi, menyentuh arah institusi penegak hukum yang seharusnya berpihak kepada keadilan, bukan kekuasaan. Dalam isu Komjen Rudy Heriyanto yang diisukan menggantikan Jenderal Listyo Sigit, terselip pertanyaan besar tentang masa depan Polri.
Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjadi salah satu Kapolri dengan masa jabatan terlama dalam sejarah kontemporer Indonesia. Jika ia menyelesaikan tugas hingga akhir, maka rekornya akan menjadi preseden penting dalam perjalanan Polri. Di tengah transisi kekuasaan pasca pemilu, munculnya isu penggantian yang melibatkan nama Komjen Rudy Heriyanto memunculkan spekulasi: apakah ini soal pembaruan atau hanya akomodasi politik?
Listyo telah membawa sejumlah program modernisasi dengan tagline Presisi sebagai wajah Polri baru. Namun kritik tetap muncul, dari tragedi Kanjuruhan hingga penanganan demonstrasi yang sering represif. Publik menyimpan catatan panjang atas sikap dan perilaku aparat di lapangan. Jika pergantian benar terjadi, hal utama yang perlu dikawal adalah: apakah calon Kapolri berikutnya memiliki keberanian memperbaiki dari akar, atau justru menjadi simbol status quo?
Pergantian pimpinan Polri bukanlah domain elit semata. Ia menyangkut wajah negara di mata rakyat. Kepolisian adalah lembaga paling dekat dengan warga sehari-hari. Mereka yang terlibat dalam perkara hukum, kecelakaan lalu lintas, konflik sosial, semua bersentuhan langsung dengan aparat. Maka, siapa yang memimpin akan sangat menentukan rasa keadilan dan rasa aman warga.
Sayangnya, sejarah Polri sering dibayangi penyalahgunaan wewenang. Impunitas masih menjadi masalah serius. Oleh karena itu, publik layak meminta evaluasi menyeluruh, bukan hanya serah terima jabatan. Bila calon Kapolri baru dipilih karena kedekatan politik atau pertimbangan elite, bukan karena rekam jejak dan visi reformasi, maka kekuatan hukum kembali kehilangan independensinya.
Lebih dari itu, sistem promosi dan kepangkatan dalam tubuh Polri pun mesti direvisi. Jangan ada lagi dominasi senioritas atau patronase yang menjegal regenerasi alami. Penempatan pejabat tinggi harus didasarkan pada meritokrasi, bukan sekadar loyalitas pada penguasa.
Pemerintah baru harus memberi sinyal kuat bahwa reformasi sektor keamanan adalah prioritas. Penunjukan Kapolri harus melibatkan mekanisme terbuka, dengan pengawasan dari lembaga independen serta masyarakat sipil. Transparansi adalah kunci agar publik percaya bahwa aparat bukan alat kekuasaan, melainkan penjaga keadilan.
Sebagai warga, kita tak bisa diam. Kita perlu menuntut agar institusi Polri dipimpin oleh sosok berintegritas yang berpihak pada rakyat, bukan pada elit. Kesadaran publik sangat dibutuhkan untuk terus mengawasi proses ini. Demokrasi tidak akan sehat jika lembaga keamanannya rapuh dan dikendalikan dalam ruang gelap kompromi.
Kapolri bukan sekadar jabatan administratif. Ia adalah simbol wajah negara dalam penegakan hukum. Maka, pergantiannya tidak boleh semata-mata didasarkan pada kepentingan elite, tetapi harus menjadi momentum perbaikan institusi secara mendalam dan menyeluruh. (Dwi Taufan Hidayat)
Komentar