Minggu, 15 Juni 2025 | 15:08
OPINI

Banyak Kasus Satwa Mati Ketika Melintas Jalan Raya, Apa yang Dapat Kita Lakukan?

Banyak Kasus Satwa Mati Ketika Melintas Jalan Raya, Apa yang Dapat Kita Lakukan?
Ilustrasi Jembatan Satwa oleh Mandai Park Holdings (Dok Penulis)

Oleh: Rheza Maulana, S.T., M.Si.

ASKARA - Akhir-akhir ini, marak terjadi kasus kematian satwa liar di kawasan hutan akibat tertabrak kendaraan saat menyeberang jalan. Tak jarang pula satwa masuk ke permukiman warga, menimbulkan konflik dengan manusia. Sebagian dari kita mungkin merasa resah. Bayangkan Anda sedang berkendara dengan kecepatan tinggi, lalu tiba-tiba seekor rusa atau babi hutan melintas. Atau, bayangkan rumah Anda berdiri di pinggir hutan, lalu suatu hari seekor harimau atau gajah muncul di halaman. Mengerikan, bukan? Tapi, benarkah kita melihat persoalan ini dari sudut pandang yang tepat?

Dari sisi manusia, tentu mudah menyalahkan satwa liar: mereka dianggap sebagai penyebab kecelakaan, ancaman, dan pengganggu. Tapi mari kita balik perspektif ini: bagaimana bila kita memandang persoalan ini dari sudut pandang satwa liar itu sendiri?

Bayangkan Anda adalah seekor rusa, harimau, atau gajah. Rumah Anda adalah hutan yang lebat dan asri. Namun, hari demi hari, pepohonan tempat Anda hidup, bermain, dan mencari makan hilang satu demi satu. Hamparan hutan berubah menjadi jalan raya yang dipenuhi kendaraan melaju kencang. Tempat Anda biasa berkelana kini dipenuhi bangunan dan rumah-rumah. Habitat Anda terpetak-petak, berpindah tempat pun jadi sangat berisiko, bahkan bisa mengancam nyawa.

Itulah yang dirasakan satwa liar. Mereka bukan ingin mengganggu manusia, melainkan bingung dan terdesak karena habitat mereka diganggu manusia. Padahal, berpindah tempat adalah bagian dari naluri alami mereka. Tapi bagaimana mereka bisa berpindah dengan aman jika hutan telah menjadi jalan dan permukiman? Sedikit saja salah langkah, mereka bisa mati tertabrak atau dibunuh karena dianggap berbahaya. Jadi, siapa sebenarnya yang mengganggu siapa?

Lantas, apakah artinya manusia tidak boleh membangun infrastruktur? Apakah kita harus lebih membela binatang daripada manusia? Ini pertanyaan yang sering muncul. Pecinta satwa akan bilang hidup mereka penting. Sebaliknya, banyak yang merasa hidup manusia harus menjadi prioritas. Namun, mungkin ini bukan soal siapa yang lebih penting. Mungkin pertanyaannya sendiri yang keliru.

Bagaimana jika kita mengubah cara bertanya? Bukan soal siapa yang lebih penting, tetapi: "Manusia dan satwa sama-sama punya hak hidup. Jadi, bagaimana caranya membangun infrastruktur manusia tanpa mengorbankan hak hidup satwa?" Pertanyaan ini membuka peluang untuk solusi.

Manusia tentu boleh membangun. Namun, pembangunan tidak boleh menciptakan masalah baru. Bila hutan yang menjadi rumah beragam satwa dibelah oleh jalan raya atau dibabat untuk perumahan, wajar bila satwa suatu saat muncul di tengah permukiman. Oleh karena itu, setiap pembangunan, khususnya di kawasan alami, harus mempertimbangkan keberadaan makhluk hidup lain yang tinggal di sana.

Pembangunan harus dilakukan dengan dampak seminimal mungkin. Satwa liar harus tetap bisa bermigrasi dan hidup di jalurnya sendiri tanpa perlu bertemu manusia. Inilah bentuk nyata kecerdasan manusia—mampu menyelesaikan masalah tanpa menciptakan masalah baru. Salah satu solusi nyata adalah pembangunan koridor satwa.

Koridor satwa adalah jalur khusus yang memungkinkan satwa menyeberang atau berpindah dari satu kawasan ke kawasan lain yang terpotong oleh jalan atau bangunan. Bentuk koridor satwa disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan jenis satwa.

Jenis pertama adalah jembatan satwa, yang dibangun di atas jalan raya dan ditanami vegetasi agar menyatu dengan hutan. Jembatan ini cocok bagi satwa darat seperti rusa, babi hutan, dan harimau. Mereka dapat menyeberang tanpa harus turun ke jalan.

Jika jembatan terlalu mahal atau tidak memungkinkan, ada solusi lain: lorong bawah tanah. Terowongan ini dibangun di bawah jalan raya, memungkinkan satwa menyeberang tanpa gangguan lalu lintas.

Lalu, bagaimana dengan satwa yang hidup di pepohonan seperti monyet, kera, atau tupai? Untuk mereka, ada kanopi satwa—jalur yang menghubungkan antar pohon di atas jalan raya. Dengan begitu, mereka bisa tetap bergelantungan dan menyeberang tanpa turun ke tanah.

Tentu, membangun koridor satwa membutuhkan biaya tambahan. Namun, bila kita menghindarinya, konsekuensinya bisa jauh lebih mahal: konflik manusia-satwa, kematian satwa, bahkan kerusakan ekosistem yang dapat mengganggu kehidupan manusia sendiri. Seperti pepatah: “Niat untung, malah buntung.”

Maka, membangun koridor satwa bukan hanya soal mencegah konflik atau menyelamatkan binatang. Ini adalah bentuk tanggung jawab dan komitmen manusia untuk hidup selaras dengan alam. Kita perlu ingat, satwa liar adalah bagian penting dari ekosistem. Jika mereka punah, kita yang akan menanggung akibatnya. Hidup berdampingan dengan alam dan penghuninya bukan sekadar pilihan—tetapi kewajiban. Menjaga satwa liar berarti menjaga masa depan generasi manusia itu sendiri.

*Tentang Penulis
Rheza Maulana, S.T., M.Si. adalah peneliti dan aktivis lingkungan. Ia menyelesaikan Magister Ilmu Lingkungan di Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia. Aktif mengedukasi publik terkait pelestarian habitat, konservasi satwa, perubahan iklim, serta gaya hidup ramah lingkungan, ia mendorong kesadaran masyarakat untuk menciptakan masa depan yang lebih lestari.

Komentar