Senin, 16 Juni 2025 | 07:08
OPINI

Menguji Kedaulatan Berpikir dalam Diskursus Vaksin Bill Gates

Menguji Kedaulatan Berpikir dalam Diskursus Vaksin Bill Gates
M Gufron Rom dan Bill Gates (Dok Askara)

Oleh: M. Gufron Rum
Head of R&D Nusantara Foundation dan Mahasiswa Pascasarjana Departemen Politik dan Pemerintahan UGM

ASKARA - Wacana keterlibatan Bill & Melinda Gates Foundation dalam pengembangan dan uji coba vaksin tuberkulosis (TBC) di Indonesia kembali mencuat. Sebagai lembaga filantropi yang dikenal luas atas komitmennya dalam penanggulangan penyakit global, kehadiran Gates Foundation sering kali dipandang sebagai bentuk bantuan strategis, terutama bagi negara berkembang yang menghadapi tantangan kesehatan publik yang kompleks. Namun di balik semangat kolaboratif tersebut, muncul pertanyaan reflektif: bagaimana posisi Indonesia dalam lanskap pengetahuan medis global? Dan sejauh mana kita memiliki ruang kedaulatan untuk menentukan arah inovasi kesehatan berdasarkan kebutuhan dan konteks lokal?

Sejarah relasi antara proyek kesehatan global dan negara berkembang tidak pernah sepenuhnya bebas dari ketegangan. Pengalaman dari sejumlah negara, termasuk kontroversi vaksinasi di India, menunjukkan bahwa program kesehatan kerap bersinggungan dengan dinamika politik pengetahuan, persepsi risiko, serta sensitivitas sosial dan budaya. Dalam konteks inilah, penting bagi Indonesia untuk menjaga kedaulatan berpikir, yakni kemampuan untuk secara otonom menilai, mengembangkan, dan memilih pendekatan ilmiah yang sesuai dengan karakteristik sosial-biologis masyarakat kita, tanpa menutup diri dari kerja sama internasional.

Indonesia sejatinya memiliki modal intelektual yang tidak dapat diremehkan. Salah satu contohnya adalah pengembangan Vaksin Nusantara oleh Prof. Dr. dr. Terawan Agus Putranto, yang berbasis imunoterapi dan telah diperkenalkan dalam berbagai forum akademik internasional. Meski menghadapi sejumlah kontroversi administratif dan hambatan regulatif, inisiatif ini menunjukkan bahwa kapasitas inovasi dalam negeri bukan hanya potensial, tetapi juga layak menjadi bagian dari wacana kebijakan kesehatan nasional. Sayangnya, sering kali yang menjadi penghambat bukanlah kualitas ilmiah, melainkan tarik-menarik di ruang regulasi dan birokrasi.

Inilah paradoks yang patut kita cermati. Kolaborasi internasional dan dukungan filantropi tentu penting dalam membangun sistem kesehatan yang inklusif. Namun pada saat yang sama, negara harus memastikan bahwa kerja sama tersebut tidak mematikan ruang tumbuh bagi inovasi lokal. Tantangan yang dihadapi inovasi dalam negeri bukan terletak pada lemahnya kapasitas saintifik, melainkan pada sistem administratif dan norma kebijakan yang kadang justru meminggirkan alternatif yang lahir dari lokalitas.

Karena itu, membangun sistem kesehatan yang tangguh tidak cukup hanya dengan menerima transfer teknologi dari luar. Yang lebih penting adalah membangun ekosistem pengetahuan yang memfasilitasi keberanian berpikir, menyediakan ruang eksperimen ilmiah yang sehat, dan menjamin adanya mekanisme evaluasi yang adil serta kontekstual. Pendekatan imunoterapi yang dikembangkan secara lokal, misalnya, bisa menjadi pelengkap bagi pendekatan konvensional dalam kesehatan publik, bukan sebagai tandingan yang harus disingkirkan, tetapi sebagai alternatif ilmiah yang patut diuji dan dihargai.

Menjadi bagian dari komunitas kesehatan global tentu penting. Namun menjadi pemikir dan pengembang aktif di dalamnya jauh lebih bermakna. Dalam diskursus vaksin, yang dibutuhkan bukan semata akses terhadap produk, melainkan pengakuan atas kemampuan berpikir, keberanian bereksperimen, dan keberpihakan terhadap realitas lokal. Sebab, kedaulatan berpikir bukan berarti menolak kerja sama, melainkan memastikan kerja sama itu berlangsung secara setara, terbuka, dan saling menghargai kapasitas masing-masing.

 

 

Komentar