Negara Tidak Boleh Kalah oleh Premanisme Berkedok Ormas

ASKARA - Di balik geliat ekonomi rakyat yang tampak hidup, tersembunyi luka dalam yang selama ini jarang diungkap secara terbuka. Luka itu bernama premanisme—bukan hanya preman jalanan dengan tampang garang dan otot bertato, tapi juga mereka yang mengenakan atribut organisasi massa, membawa nama agama, kebudayaan, atau bela negara, namun perilakunya jauh dari semangat membangun peradaban.
Mereka meminta upeti, mengancam pengusaha, mematok “biaya keamanan”, bahkan tak ragu membakar tempat usaha jika tuntutannya tak dipenuhi. Dan yang lebih menyedihkan lagi, semua itu kerap dilakukan di bawah pandangan mata aparat yang justru ragu, takut, atau enggan menindak karena berbagai pertimbangan non-hukum.
Para pengusaha, terutama pelaku UMKM, sudah terlalu lama memendam keresahan. Dalam banyak testimoni, mereka mengaku harus menyerahkan minimal 20% dari pendapatan hanya untuk “setoran keamanan.”
Dalam beberapa kasus ekstrem, hingga 50% dari hasil jerih payah mereka harus diberikan ke kelompok-kelompok yang seolah “menguasai” wilayah. Mereka tidak hanya merugi secara ekonomi, tapi juga mengalami tekanan mental karena tidak pernah benar-benar merasa aman, meski sudah menjalankan usaha sesuai aturan hukum.
Premanisme yang ditopang oleh ormas menjadi momok menakutkan. Ia bukan lagi ancaman personal, tapi sudah menjadi sistem pemerasan yang nyaris terorganisir.
Di banyak daerah, ormas ini berperan sebagai “penentu” siapa yang boleh membuka usaha, siapa yang boleh merekrut pekerja lokal, bahkan siapa yang boleh mengadakan acara. Jika tidak tunduk, maka intimidasi fisik, sabotase, atau perusakan adalah konsekuensi yang harus diterima. Negara seperti kehilangan kedaulatannya di lapis akar rumput.
Masyarakat dan para pengusaha menyambut baik ketika aparat keamanan mulai melakukan operasi penertiban terhadap preman dan kelompok ormas yang anarkis.
Namun antusiasme itu selalu dibayangi kekhawatiran yang sama: apakah ini hanya langkah sesaat? Hanya ad hoc? Apakah akan surut ketika kamera media tak lagi meliput? Mereka ingin lebih dari sekadar operasi rutin.
Mereka menginginkan kehadiran negara yang permanen—dalam bentuk satgas anti-preman dan ormas liar yang terstruktur, berkekuatan hukum tetap, dengan mandat yang kuat serta pengawasan berkelanjutan.
Masalahnya bukan hanya soal keamanan fisik, tapi juga iklim usaha dan masa depan ekonomi bangsa. Bagaimana mungkin negara ingin mendorong investasi jika di lapangan, izin resmi saja belum cukup untuk melindungi usaha?
Bagaimana mungkin UMKM bisa naik kelas jika harus terus-menerus menyuapi kelompok informal yang bertindak seperti penguasa wilayah?
Pemerintah bicara besar soal Ease of Doing Business, digitalisasi ekonomi, pemberdayaan UMKM, dan reformasi struktural. Tapi selama premanisme masih jadi “penguasa tak resmi” di banyak kawasan perdagangan, wacana itu akan selalu terdengar seperti retorika kosong di telinga pelaku usaha kecil.
Premanisme adalah bentuk pembajakan atas hak rakyat untuk mencari nafkah secara jujur dan aman. Dan saat kelompok tertentu bisa mengklaim wilayah, menentukan pungutan, bahkan memutus mata pencaharian warga hanya karena beda afiliasi, maka itu bukan sekadar pelanggaran hukum—itu bentuk nyata perongrongan terhadap kedaulatan negara.
Aparat penegak hukum harus tegas dan transparan. Tidak boleh lagi ada tebang pilih. Jika suatu ormas atau tokoh lokal melakukan tindakan anarkis, maka proses hukum harus berjalan tanpa pandang bulu.
Negara juga perlu menyiapkan sistem pelaporan yang aman bagi para pengusaha agar mereka bisa menyampaikan keluhan dan ancaman tanpa takut dibalas. Perlindungan saksi dan korban dalam kasus premanisme harus diperkuat.
Tak kalah penting, pembinaan terhadap ormas harus diperjelas. Ormas yang benar-benar menjalankan fungsi sosial, edukatif, dan kebudayaan harus diberi ruang, bahkan didukung.
Tapi ormas yang menjadi topeng dari kepentingan kekuasaan informal atau ekonomi kriminal harus dibubarkan. Kita tidak bisa membiarkan kekerasan dan pemerasan berlindung di balik label organisasi masyarakat.
Logika sehatnya sederhana: jika negara ingin rakyat produktif, maka negara harus menjamin rasa aman. Jika negara ingin ekonomi tumbuh dari bawah, maka negara harus melindungi mereka dari kekuatan liar yang justru merampas hasil kerja kerasnya.
Jika negara ingin investasi masuk, maka hukum harus menjadi satu-satunya kekuatan yang dihormati—bukan kekuasaan preman, bukan tekanan ormas yang merasa paling punya legitimasi.
Ini bukan sekadar soal keamanan, ini soal keadilan. Dan keadilan, seperti kata para bijak, adalah fondasi dari sebuah peradaban. Ketika para pelaku usaha kecil tak lagi merasa takut pada ancaman, ketika tidak ada lagi "pajak liar" dari pihak tak berwenang, ketika aparat hadir bukan hanya dalam seremoni tapi dalam keseharian warga, maka saat itulah kita benar-benar bisa berkata: negara hadir.
Tapi selama premanisme masih berjaya, selama aparat masih takut bertindak, dan selama pengusaha masih harus menyisihkan 20—50% pendapatannya untuk menyelamatkan diri dari ancaman, maka sejatinya negara sedang kalah. Dan kekalahan itu harus dihentikan. Sekarang juga. (Dwi Taufan Hidayat)
Komentar