Negara Minta Ijazah Asli, Mulyono Minta Dimengerti

ASKARA - Suatu pagi di sebuah kampus yang katanya "unggul, terpercaya, dan humanis", datanglah seorang mahasiswa bernama Mulyono dengan penuh semangat ke ruang tata usaha.
Mulyono: “Pak, saya mau legalisir ijazah lima rangkap ya.”
Husni (Petugas TU): “Baik, silakan tunjukkan ijazah aslinya dulu.”
Mulyono: (menarik nafas dalam-dalam) “Saya tidak bisa, Pak. Itu kan hak azazi saya.”
Husni: (bingung) “Maksudnya?”
Mulyono: “Ya, saya punya hak untuk tidak menunjukkan ijazah asli. Itu privasi saya. Undang-undang menjamin kebebasan berekspresi dan menyimpan ijazah!”
Husni: “Tapi ini prosedur, Mas. Kami butuh aslinya untuk mencocokkan. Nanti yang dilegalisir ijazah teman kamu lagi.”
Mulyono: “Nah itu dia, Pak. Justru sistem ini terlalu represif! Kenapa harus mencocokkan? Harusnya negara percaya pada rakyatnya! Masa saya dianggap berpotensi memalsukan?”
Husni: (geleng-geleng) “Mas, ini legalisir, bukan debat konstitusi.”
Mulyono: “Saya tahu, Pak. Tapi saya sedang membangun perlawanan terhadap sistem yang membelenggu. Legalisir itu hanya simbol penindasan birokrasi!”
Akhirnya Husni mengalah. Ia ambil stempel, tempel di kertas kosong, lalu serahkan ke Mulyono.
Husni: “Nih, Mas. Legalitas versi bebas. Tanpa ijazah, tanpa dokumen, tanpa batas. Hidup kebebasan!”
Mulyono: (terharu) “Ini baru namanya reformasi birokrasi!”
Dan sejak hari itu, kata “legalisir” di kampus itu berubah makna: bukan lagi soal dokumen resmi, tapi perjuangan batin antara nalar dan ngeles tingkat dewa.
Moral cerita: Di negeri yang semua bisa diserahkan ke “hak azazi”, jangan heran kalau nanti SIM bisa diterbitkan pakai surat pernyataan pribadi.
Komentar