Senin, 16 Juni 2025 | 07:05
COMMUNITY

Di Balik Sepatu Hitam Usang Paus Fransiskus

Sebuah Renungan tentang Cinta dan Pengampunan

Di Balik Sepatu Hitam Usang Paus Fransiskus
Sepatu usang Paus Fransiskus (Dok Vaticannews)

ASKARA - Ia datang bukan dengan mahkota, bukan pula dengan jubah keagungan yang menyilaukan. Ia datang dengan langkah pelan, sepatu hitam sederhana yang tak mencolok, namun membawa perubahan besar bagi jutaan jiwa. Paus Fransiskus, sang gembala dari ujung dunia, memilih kesederhanaan di tengah simbol-simbol kemewahan yang selama ini melekat pada tahta kepausan.

Ia menolak sepatu merah, ikon lama yang menjadi bagian dari tradisi. Ia tidak ingin dilihat tinggi, ia ingin berjalan bersama. Keputusannya mungkin tampak sepele bagi dunia, tapi sesungguhnya ia sedang menyampaikan pesan: "Gereja ini harus kembali menjadi rumah bagi semua, bukan menara gading yang menjauh dari umat."

"Hagan lío, buatlah kekacauan," katanya suatu hari. Dan benar, ia mengguncang struktur lama, bukan untuk meruntuhkan, tapi untuk menyadarkan. Bahwa agama tanpa cinta adalah kekosongan. Bahwa hukum tanpa pengampunan hanyalah jeruji besi tanpa pintu keluar.

Ketika masih menjadi imam di Buenos Aires, ia pernah mencoba merangkul yang tersesat. Tapi dunia tidak selalu mengerti kebaikan. Ia ditolak, dibungkam, bahkan terasing dari tanah kelahirannya sendiri. Namun luka itu justru menempanya. Ia belajar bahwa dalam pelayanan, cinta tidak selalu diterima dengan tepuk tangan.

Ia makan bersama para pendosa. Ia membuka pintu gereja bagi mereka yang selama ini dianggap najis oleh sistem. Ia mengampuni tanpa syarat, seperti Kristus mengampuni di kayu salib. Dan karena itu, ia dihujat. Ia disebut bidat. Ia dianggap merusak kemurnian iman. Tapi ia tak goyah, karena ia tahu: kasih sejati selalu melewati jalan sunyi.

Seorang perempuan bersaksi dengan air mata: “Saya pernah dianggap hidup dalam dosa karena menikah kembali. Gereja menutup pintu bagi saya. Tapi melalui Paus Fransiskus, saya dipulihkan. Pernikahan saya dibatalkan dalam proses yang manusiawi. Setelah bertahun-tahun, saya bisa kembali menerima sakramen. Saya tidak lagi merasa asing di rumah Tuhan.”

Paus Fransiskus tak ingin gereja hanya menjadi tempat orang suci yang merasa benar. Ia ingin gereja menjadi pelabuhan bagi mereka yang karam, tempat hangat bagi yang terluka, dan pelukan bagi yang tertolak.

Sepatunya mungkin usang, kulitnya mulai pudar, tapaknya aus. Tapi dari sepatu itulah, lahir jejak kasih yang menyentuh dunia. Ia mengajarkan bahwa menjadi gembala bukan soal posisi, tapi keberanian untuk berjalan di tengah kawanan, merangkul yang jatuh, dan memanggil pulang yang tersesat.

Ia tidak sempurna. Tapi ia hadir. Dan kadang, kehadiran dalam kasih jauh lebih berarti daripada seribu doktrin.

 

 

Komentar