Kamis, 17 Juli 2025 | 01:11
NEWS

Peradilan Indonesia Dinilai Hancur, Ratusan Hakim Terlibat Suap dan Jual Beli Putusan

Peradilan Indonesia Dinilai Hancur, Ratusan Hakim Terlibat Suap dan Jual Beli Putusan
Ilustrasi suap hakim (Dok Pixabay)

ASKARA - Advokat senior Dr. Azas Tigor Nainggolan menyampaikan kritik tajam terhadap kondisi sistem peradilan di Indonesia yang menurutnya telah “hancur dari dalam”. Dalam pernyataan terbuka, Tigor menyoroti maraknya praktik suap, gratifikasi, dan jual beli putusan perkara yang melibatkan para hakim, termasuk hakim agung serta pejabat di Mahkamah Agung (MA).

Menurutnya, kehancuran sistem peradilan tidak lagi bersifat kasuistik melainkan sudah sistemik. “Para hakim bukan hanya melanggar etika, tapi juga menjual keadilan. Bahkan dalam perkara pro bono sekalipun, permintaan suap tetap terjadi,” ungkap Tigor, yang mengaku mengalami langsung tekanan dari oknum-oknum hakim selama berpraktik sebagai advokat.

Ratusan Hakim Bermasalah, MA Dinilai Tidak Transparan

Mengutip data dari Mahkamah Agung, Tigor menyebut bahwa sepanjang tahun 2024, sebanyak 206 hakim dan aparatur peradilan telah dijatuhi sanksi. Rinciannya, 79 orang menerima sanksi berat, 31 orang sanksi sedang, dan 96 orang sanksi ringan. Namun, ia menilai Mahkamah Agung tidak transparan karena tidak mempublikasikan nama maupun rincian pelanggaran yang dilakukan para hakim tersebut.

“Ini menunjukkan Mahkamah Agung cenderung menutup-nutupi dan memberikan semacam kekebalan kepada para hakim bermasalah,” ujar Tigor, Rabu (30/4).

Selain itu, Badan Pengawasan MA menerima 4.313 pengaduan sepanjang 2024. Sebanyak 4.116 telah diproses, namun 197 masih dalam penanganan. Komisi Yudisial juga mencatat ada 35 laporan hasil pemeriksaan yang berisi usulan sanksi disiplin terhadap 63 hakim. Sayangnya, tindak lanjut dari usulan tersebut juga tidak pernah dijelaskan secara terbuka.

Kasus-Kasus Besar: Dari Ronald Tanur hingga Suap Rp60 Miliar

Tigor juga menyoroti sejumlah kasus besar yang mengindikasikan bobroknya peradilan Indonesia. Salah satunya adalah kasus suap dalam penanganan perkara pembunuhan Dini Sera oleh Ronald Tanur. Dalam kasus ini, eks pejabat Mahkamah Agung, Zarif Ricar, ditangkap Kejaksaan Agung karena menjadi perantara suap kepada hakim agung demi membebaskan Ronald.

Barang bukti berupa uang tunai dan logam mulia dengan nilai hampir Rp1 triliun ditemukan dalam kasus tersebut. Selain Zarif Ricar, Kejaksaan juga menetapkan tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya dan seorang advokat bernama Lisa Rahmat sebagai tersangka.

Lebih lanjut, Tigor juga menyoroti kasus dugaan suap senilai Rp60 miliar dalam perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO) yang menyeret sejumlah hakim PN Jakarta Pusat. Dalam perkara ini, delapan orang telah ditetapkan sebagai tersangka, termasuk Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanto, yang sebelumnya menjabat Wakil Ketua PN Jakarta Pusat.

“Bayangkan, hakim yang terlibat jual beli putusan justru dipromosikan menjadi Ketua Pengadilan. Ini sangat mencurigakan. Apakah promosi jabatan itu juga melalui jalur sogokan?” tanya Tigor.

Seruan Reformasi Total Peradilan

Melihat kondisi ini, Tigor menyerukan perlunya reformasi total dalam sistem peradilan Indonesia. Ia mengusulkan dua langkah utama. Pertama, mengganti seluruh hakim agung dan anggota Komisi Yudisial yang dianggap gagal menjaga integritas sistem peradilan.

Kedua, ia mendorong agar Mahkamah Agung membuka seluruh data hakim bermasalah berikut jenis pelanggaran yang mereka lakukan kepada publik. “Transparansi ini penting sebagai bentuk kontrol sosial dan untuk memberi efek jera kepada para pelaku,” tegasnya.

Menurut Tigor, peradilan adalah benteng terakhir keadilan dalam negara hukum. Jika benteng itu roboh, maka kepercayaan publik terhadap negara akan lenyap.

“Ini bukan lagi sekadar perbaikan sistem, tapi butuh revolusi moral di tubuh lembaga peradilan. Negara harus bertindak tegas,” pungkasnya.

 

Komentar