Selasa, 13 Mei 2025 | 16:27
OPINI

Karunia Kegelisahan dari Paus Fransiskus

Karunia Kegelisahan dari Paus Fransiskus

ASKARA - Kenangan buah rohani dari mendiang Paus Fransiskus adalah karunia kegelisahan.

Paus Fransiskus membawa semacam kegelisahan yang jarang dimiliki pemimpin agama: kesediaan untuk tidak tahu lebih dulu. Ia bukanlah Paus yang tergesa-gesa dalam menjawab. Ia tidak menjual kejelasan, melainkan menawarkan keberanian untuk hidup dalam pertanyaan.

Saat ditanya tentang para homoseksual yang mencari Tuhan dan memiliki niat baik, Paus menjawab lirih:
"Jika seseorang adalah gay dan ia mencari Tuhan serta memiliki niat baik, siapakah saya untuk menghakimi?"
Ia mendorong para pastor untuk mendampingi, bukan menghakimi, serta menyambut semua umat Tuhan dengan kasih. Dalam dokumen Amoris Laetitia (2016), ia menegaskan bahwa tidak boleh ada diskriminasi yang tidak adil terhadap siapa pun, termasuk orang LGBT.

Paus Fransiskus tidak datang dari pusat peradaban Eropa, melainkan dari ujung dunia: Amerika Latin. Ia bukan berasal dari jalanan marmer Roma, melainkan dari trotoar retak Buenos Aires.
Aksen bicaranya mengganggu ritme Latin klasik Vatikan; postur tubuhnya yang gemoy mengusik protokol — justru karena itulah ia diperlukan, sebab tiada perubahan yang lahir dari ruang yang nyaman.

Ia membawa tubuh yang berbau kerja keras, luka, dan ketakutan kembali ke dalam agama — bukan tubuh ideal yang suci. Agama terlalu lama mengagungkan kesucian yang identik dengan kebersihan, padahal sejarah iman justru mengajarkan bahwa kesucian lahir lewat keberanian untuk menyentuh sesuatu yang dianggap najis.

Karunia kegelisahan itu tidak membuatnya marah, juga tidak membuatnya terburu-buru dalam menjawab berbagai pertanyaan sulit dan kompleks. Ia memilih terus hadir — dalam doa, dalam keheningan.
Kegelisahan hatinya terus terlibat pada perbedaan, menyapa kaum Muslim, lintas iman, mengingatkan bahwa iman bukanlah monopoli kelompok tertentu.

Banyak yang tidak suka:
Kuria menyebutnya “tidak jelas”, politikus menyebutnya “berbahaya”, pengusaha menganggapnya “tidak ekonomis.”
Namun, karunia kegelisahan itulah yang menggerakkan kehadirannya — keheningan yang membuat dirinya menjadi "what you are, not what you have."

Kaum beriman jarang berbicara tentang keraguan dalam konteks iman. Padahal iman yang dewasa justru dibentuk oleh apa yang tak selesai, dan Paus Fransiskus memberi ruang bagi ketaksempurnaan itu.

Dalam kegelisahan itulah, Paus Fransiskus akan dikenang:
Bukan sebagai pembangun menara-menara tinggi, tetapi sebagai penanam akar yang kokoh.

Selamat jalan, Paus Fransiskus.
Sejarah peradaban akan mengenangmu sebagai orang yang mengembalikan tubuh ke tanah — tubuh Gereja, tubuh kekuasaan, tubuh umat, dan tubuh Tuhan sendiri, sebagaimana para sahabat Yesus melakukannya dalam kesaksian dan kemartiran hidup.

 

Salam sehat, berlimpah berkat,
+ Rm. Yos. Bintoro, Pr

 

Komentar