Selasa, 13 Mei 2025 | 17:45
OPINI

Paris Agreement Bukan "Jurang"

Paris Agreement Bukan
Paris agreement (Dok Pixabay)

Oleh: Rheza Maulana, S.T., M.Si.

ASKARA – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, baru-baru ini memberikan pernyataan terkait mundurnya Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dari Paris Agreement atau Kesepakatan Paris, khususnya terkait transisi energi. Dalam pernyataannya, beliau terkesan mempertanyakan apabila Amerika Serikat mundur dari kesepakatan tersebut, lantas mengapa Indonesia harus masuk pada “jurang” itu?

Selanjutnya, beliau juga mempersoalkan urgensi transisi energi dengan cara pemensiunan dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang memanfaatkan batu bara, yang mana beliau anggap sebagai suatu paksaan. Beliau menegaskan bahwa seharusnya yang dilakukan adalah mencapai ketahanan energi, bukan mengganti sumber energi menjadi energi terbarukan. Tak hanya itu, beliau pun menyinggung persoalan dana untuk mewujudkan transisi energi yang hingga kini dikatakan belum ada.

Pernyataan Menteri ESDM tersebut menimbulkan kekhawatiran dari berbagai pihak, khususnya bagi pihak-pihak yang peduli terhadap isu lingkungan dan perubahan iklim. Hal ini dikarenakan, Paris Agreement adalah kesepakatan internasional yang diciptakan sebagai sarana untuk menekan dampak buruk dari perubahan iklim. Diantara upaya yang diusulkan, salah satunya adalah transisi energi yaitu beralih dari energi tidak terbarukan menjadi energi terbarukan.

Jika kita telah memahami konteksnya, tentunya dapat dikatakan bahwa Paris Agreement bukanlah suatu “jurang” yang membuat kita terperangkap di dalamnya. Sebaliknya, kesepakatan tersebut adalah cara-cara yang seharusnya mulai dilakukan sejak saat ini untuk mencegah dampak buruk perubahan iklim di masa yang akan datang. Keluar dari Paris Agreement dan memilih untuk tidak melakukan transisi energi, artinya memilih untuk tidak mencegah terjadinya dampak negatif perubahan iklim.

Pernyataan Menteri ESDM yang menyiratkan bila Amerika Serikat keluar dari Paris Agreement maka Indonesia juga ikut, adalah pemikiran yang berpotensi menimbulkan kerancuan. Analoginya seperti ini, hanya karena Amerika Serikat mengirim bantuan kepada Israel untuk menggencarkan genosida Palestina, apakah kita harus ikut-ikutan? Oleh karena itu, diperlukan pemikiran yang menyeluruh untuk memahami pentingnya keikutsertaan dalam Paris Agreement dan melakukan transisi energi—bukan sekedar ikut-ikutan.

Apa itu Paris Agreement?

Paris Agreement adalah kesepakatan yang diusung oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) atau Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kesepakatan ini diciptakan sebagai respon terhadap dampak bahaya perubahan iklim, diantaranya dengan menurunkan emisi karbon di atmosfer dan mencegah kenaikan suhu permukaan bumi. Sebanyak 196 negara mengadopsi kesepakatan ini pada Conference of the Parties (COP21) di Paris, Perancis, di tahun 2015.

Indonesia adalah salah satu negara yang menandatangi kesepakatan tersebut. Di Indonesia, perwujudan Paris Agreement disusun dalam dokumen Nationally Determined Contributions (NDC) 2030 dan Long-Term Low-Emission and Climate Resilient Development Strategy (LTS-LTCCR) 2050. Secara sederhana, dokumen ini menjelaskan langkah-langkah apa saja yang diperlukan untuk mewujudkan tujuan Paris Agreement. Dari sekian banyak langkah yang disusun, ada dua hal penting yang patut kita semua ketahui.

Langkah pertama adalah tentang upaya menurunkan emisi karbon dari atmosfer. Hal ini dapat dicapai melalui mengurangi laju deforestasi dan meningkatkan restorasi serta perlindungan hutan. Pada dasarnya, semakin banyak jumlah hutan, maka semakin banyak emisi karbon yang terserap dari atmosfer. Langkah bereikutnya adalah menjaga kenaikan suhu bumi akibat emisi karbon, yang dapat dicapai dengan beralih dari sumber energi fosil seperti batu bara dan minyak bumi, ke sumber energi terbarukan seperti tenaga surya, hidro, panas bumi. Hal ini yang disebut sebagai transisi energi.

Konsekuensi Tidak Menerapkan Transisi Energi

Sejauh ini memang belum ada sanksi hukum yang dibebankan kepada negara-negara yang gagal menerapkan transisi energi sebagaimana yang direkomendasikan oleh Paris Agreement. Namun, dampak yang dirasakan dari tidak ikut sertanya suatu negara menerapkan transisi energi dapat dikatakan lebih berat dari sanksi hukum. Mengapa demikian? Karena apabila suatu negara tidak menerapkan transisi energi, maka negara tersebut semakin mundur dari kemampuan adaptasi terhadap kelangkaan sumber daya alam dan perubahan iklim. 

Sebagaimana yang kita ketahui, sumber daya energi berbahan dasar fosil seperti batu bara dan minyak bumi, adalah jenis yang tidak dapat diperbarui. Artinya, apabila sumber daya tersebut habis, maka kita tidak dapat lagi menggunakannya. Apabila hal ini terjadi, tentunya ketahanan energi tidak akan tercapai. Bukan hanya itu, sumber energi yang tak dapat diperbarui tersebut diketahui meningkatkan produksi gas rumah kaca (GRK), seperti karbon dioksida dan metana. Meningkatnya GRK di atmosfer bumi berakibat pada semakin tingginya suhu permukaan bumi, atau yang disebut dengan pemanasan global.

Pemanasan global adalah proses meningkatnya suhu permukaan bumi akibat menumpuknya GRK di atmosfer. Apabila suhu permukaan bumi meningkat, es di kutub utara dapat meleleh sehingga menaikkan permukaan laut. Hal ini dapat mengakibatkan banjir yang tentunya mengancam keamanan masyarakat yang hidup di pesisir, contohnya kota Jakarta. Selain itu, suhu permukaan yang terus meningkat juga berdampak pada kekeringan yang memudahkan terjadinya gagal panen, kelangkaan air bersih, hingga kebakaran hutan. Semua dampak ini secara langsung mengancam keselamatan dan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, harga yang harus dibayarkan dari tidak menerapkan transisi energi bukanlah sanksi hukum, melainkan penderitaan dalam skala besar yang dirasakan secara langsung oleh masyarakat. 

Transisi Energi Indonesia Telah Direncanakan Secara Bertahap dan Menyeluruh

Upaya menerapkan transisi energi sebagai salah satu wujud aksi mitigasi perubahan iklim Indonesia, telah dipertimbangkan oleh berbagai Kementerian, melibatkan pakar, serta ahli di bidangnya. Pada tahun 2021, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, menyatakan bahwa terkait penurunan emisi karbon, Indonesia telah menetapkan target mencapai net zero emission atau emisi nol di tahun 2060. Poin penting yang perlu dicatat dari hal tersebut adalah bahwa upaya ini tidak dilakukan dalam sekejap, namun berproses hingga tahun 2060 sesuai kemampuan negara kita. Target penurunan emisi karbon pun telah dimasukkan ke dalam Peraturan Presiden No. 98 tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon.

Indonesia telah menetapkan komitmen ambisius untuk mewujudkan transisi energi dengan kemampuannya sendiri; walau demikian, transisi energi di Indonesia dapat dipercepat melalui bantuan internasional. Oleh karena itu, pada tahun 2022, Indonesia telah meluncurkan Just Energy Transision Partnership (JETP) atau Kemitraan Transisi Energi yang Adil Indonesia, untuk mengkoordinasikan dana untuk mempercepat transisi energi di Indonesia. JETP sendiri adalah skema pendanaan mitra internasional yang meliputi pinjaman, hibah, investasi, dan dukungan teknis. Pada KTT G20 Bali, dinyatakan bahwa sekitar IDR 310 triliun atau USD 20 miliar dana akan dialokasikan untuk mewujudkan transisi energi Indonesia.

Selanjutnya pada tahun 2023, pemerintah Indonesia bersama dengan Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengeluarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). RUPTL ditujukan sebagai tolak ukur pengembangan sistem energi di Indonesia untuk jangka waktu kedepan, yang lebih “hijau” dengan penekanan pada pengurangan ketergantungan pada PLTU. Hal ini dicapai dengan mengurangi pembangunan PLTU baru, pemensiunan secara bertahap PLTU yang ada, menerapkan teknologi hibrida dan co-firing pada PLTU yang ada untuk mengurangi emisi, serta pembangunan pembangkit listrik baru terbarukan seperti tenaga surya, angin, hidro, dan panas bumi.

Dengan demikian, transisi energi di Indonesia, khususnya perihal pemensiunan dini PLTU, bukanlah suatu hal yang dipaksakan sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. Transisi energi adalah upaya pencegahan terhadap perubahan iklim yang mau tidak mau harus kita lakukan, dan pemensiunan dini PLTU pun dilakukan secara bertahap, berproses, dan secara jangka panjang. Justru melalui transisi energi ke sumber daya yang berkelanjutan, adalah upaya untuk mencapai ketahanan energi. Yang seharusnya dilakukan saat ini adalah memastikan perencanaan transisi energi secara jangka panjang berjalan sebagaimana mestinya, alih-alih mempertanyakan urgensinya.


Tentang Penulis:
Rheza Maulana, S.T., M.Si. adalah seorang peneliti dan aktivis lingkungan dengan latar belakang Magister Ilmu Lingkungan dari Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia. Ia aktif mengedukasi berbagai isu lingkungan, termasuk perlindungan habitat alami, konservasi satwa liar, perubahan iklim, serta upaya-upaya ramah lingkungan. Ia berupaya mendorong kesadaran masyarakat untuk lebih peduli terhadap lingkungan dan menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan.

 

 

Komentar