Prof. Ikrar Nusa Bhakti Pertanyakan Gelar Akademik Jokowi
Mengapa Saat Maju Wali Kota, Jokowi Tak Gunakan Gelar Insinyur?

ASKARA – Polemik mengenai keaslian ijazah Presiden Joko Widodo kembali menjadi perbincangan hangat di tengah publik. Kali ini, sorotan muncul dari Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI, Ikrar Nusa Bhakti, yang menyoroti dugaan inkonsistensi dalam penggunaan gelar akademik Presiden RI ke-7 tersebut.
Dalam pernyataannya melalui kanal YouTube yang dikutip pada Minggu (20/4/2025), Ikrar mengungkapkan bahwa Jokowi saat mendaftarkan diri sebagai calon Wali Kota Solo pada tahun 2004/2005, tidak mencantumkan gelar “Ir.” (Insinyur) di depan namanya, padahal selama ini publik mengenalnya sebagai lulusan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang lazimnya menyandang gelar tersebut.
“Saya sempat heran dan bertanya-tanya, mengapa waktu mencalonkan diri sebagai Wali Kota Solo, Pak Jokowi tidak menuliskan gelar ‘Ir’ di dokumen resminya? Padahal kalau betul dia lulusan kehutanan UGM, seharusnya gelar itu sudah melekat sejak saat itu,” kata Ikrar.
Menurutnya, gelar akademik bukan sekadar formalitas, tetapi bentuk legitimasi intelektual yang dapat ditelusuri dan dibuktikan secara administratif. Ikrar juga menjelaskan bahwa dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia, gelar “Doktorandus” (Drs) diberikan kepada lulusan ilmu sosial, seni, dan pendidikan, sedangkan “Ir.” dikhususkan untuk bidang teknik dan kehutanan.
Ia mempertanyakan mengapa gelar akademik Jokowi tampak berubah-ubah dalam berbagai dokumen atau publikasi. Jika benar ada ketidakkonsistenan dalam pencantuman gelar, maka menurutnya hal tersebut berpotensi memperkuat dugaan bahwa ijazah yang digunakan selama ini tidak sah.
“Kalau gelarnya berubah-ubah, lalu tidak sesuai dengan latar belakang keilmuannya, ini bukan masalah kecil. Ini bisa menjadi bukti awal yang memperkuat dugaan bahwa ijazah tersebut patut diuji keasliannya,” tegasnya.
Ikrar kemudian mendorong agar persoalan ini diselesaikan secara terbuka dan konstitusional melalui jalur hukum. Ia menyarankan agar proses pembuktian dilakukan lewat pengadilan yang netral, tanpa intervensi politik maupun tekanan massa.
“Kalau proses ini bisa dilakukan secara jujur dan terbuka di pengadilan, tanpa tekanan, maka ini akan menjadi ujian kejujuran kita sebagai bangsa. Jangan sampai masalah ini justru merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara,” pungkasnya.
Hingga kini, belum ada tanggapan resmi dari KPUD maupun institusi pendidikan terkait isu tersebut. Sementara itu, masyarakat menantikan kejelasan yang bisa memberikan kepastian dan menutup ruang spekulasi yang makin meluas.
Komentar