Memulihkan Masa Lalu: Diskursus Keadilan untuk Anak-Anak Korban Eksploitasi

Oleh: Imam Rozikin
(Mahasiswa Ilmu Hukum STIH IBLAM)
ASKARA - Puluhan tahun telah berlalu sejak Oriental Circus Indonesia (OCI) memukau jutaan penonton dengan atraksi-atraksi spektakulernya. Namun kini, sejarah gemilang itu dipertanyakan kembali seiring munculnya kesaksian para mantan pemain sirkus anak-anak yang menyimpan luka mendalam.
Berbekal semangat keadilan sebagaimana dikemukakan oleh John Rawls—bahwa institusi sosial harus diatur sedemikian rupa agar memberikan keuntungan terbesar bagi mereka yang paling tidak diuntungkan—kesaksian ini tidak bisa disikapi sekadar sebagai nostalgia pahit, tetapi sebagai indikasi bahwa keadilan belum sepenuhnya ditegakkan. Amartya Sen turut mengingatkan bahwa keadilan sejati bukan sekadar ketiadaan ketidakadilan formal, melainkan pemulihan kapabilitas nyata seseorang untuk menjalani hidup yang ia nilai berharga.
Oriental Circus Indonesia, yang didirikan oleh Hadi Manansang pada tahun 1972, pernah menjadi ikon hiburan nasional yang menggelar ribuan pertunjukan hingga tampil di kancah internasional. Namun, pada 15 April 2025, sejumlah mantan pemain sirkus mengadukan pengalaman traumatis mereka kepada Wakil Menteri Hukum dan HAM. Kesaksian tersebut mencakup pengalaman direkrut sejak usia dini, dipisahkan dari keluarga, kehilangan identitas, penindasan, hingga mengalami kerja paksa dan kekerasan psikologis. Modus yang disebut sebagai “pembelian anak” dengan janji pendidikan dan pekerjaan layak telah membuka kembali ruang perenungan publik atas retorika masa kecil yang bahagia.
Wamenkumham menegaskan bahwa penghilangan identitas adalah pelanggaran HAM yang sistemik. Komnas HAM menambahkan bahwa praktik semacam itu telah tercatat sejak tahun 1997, dan menemukan empat bentuk pelanggaran: penghilangan identitas, eksploitasi ekonomi, ketiadaan pendidikan, dan pengabaian terhadap perlindungan sosial. Meskipun penyidikan pernah dihentikan, diskursus publik yang kini mengemuka menunjukkan bahwa luka sosial tidak dapat direduksi hanya pada prosedur hukum masa lalu. Luka ini menuntut ruang pengakuan yang lebih dalam: pengakuan atas kehilangan, pemiskinan identitas, dan ketidakhadiran institusi-institusi pelindung pada masa itu.
Munculnya narasi bantahan dari pihak yang terasosiasi dengan sejarah OCI—seperti dari Komisaris PT Taman Safari Indonesia, Tony Sumampau, yang menyatakan bahwa pelatihan keras adalah bagian dari disiplin sirkus—perlu dilihat secara proporsional. Dalam konteks ini, tulisan ini tidak bertujuan menyudutkan siapa pun, melainkan mendorong agar seluruh pihak membuka ruang dialog yang jujur dan reflektif tentang tanggung jawab sosial, baik dari individu, institusi, maupun negara. Terlepas dari struktur hukum yang terpisah, publik layak mengetahui bagaimana relasi historis antara lembaga dan praktik-praktik kerja anak pernah berlangsung. Ini bukan soal legalitas semata, melainkan soal keberanian moral untuk melihat masa lalu secara utuh.
DPR RI melalui Komisi XIII dan Komisi III telah menyatakan bahwa unsur Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) mungkin terkandung dalam pola perekrutan dan eksploitasi tersebut. Namun hingga pertengahan April 2025, belum ada laporan resmi dari korban ke kepolisian. Situasi ini menegaskan pentingnya pendekatan yang lebih empatik dan proaktif dari negara agar para korban merasa aman dan didengar. Kementerian PPPA dan Kementerian Hukum dan HAM telah memulai langkah koordinasi, namun kerja pemulihan ini perlu dilanjutkan dengan sensitivitas kemanusiaan, bukan sekadar prosedur.
Dalam beberapa waktu terakhir, upaya kehadiran negara mulai tampak—meskipun masih perlu pengawalan dan dukungan berbagai pihak. Kementerian Hukum dan HAM membuka ruang pelaporan serta identifikasi ulang identitas bagi para korban. Komnas HAM memberikan respons cepat terhadap pengaduan dari kuasa hukum para mantan pemain, serta memperbarui rekomendasi agar kasus ini ditangani secara hukum dan restitusi korban segera dibicarakan. Di sisi lain, Kementerian PPPA menyiapkan skema perlindungan psikososial dan pendampingan hukum.
Secara formal, langkah ini menunjukkan bahwa negara tidak abai. Namun secara substantif, tantangannya adalah memastikan bahwa respons kelembagaan tersebut tidak bersifat sesaat, melainkan konsisten dan berpihak pada pemulihan menyeluruh—bukan hanya administrasi. Sebagaimana ditekankan oleh Amartya Sen, keadilan tidak cukup hanya hadir dalam tatanan normatif; ia harus menyentuh substansi relasi manusia.
Korban eksploitasi masa kecil tidak hanya kehilangan haknya di masa lalu. Mereka juga kehilangan jejak identitas, akses ke pendidikan, dan kemungkinan masa depan yang lebih baik. Maka keadilan yang mereka cari bukanlah pembalasan, melainkan rekonstruksi martabat. Pengakuan resmi atas pengalaman mereka, jaminan hukum, dan pemulihan sosial harus menjadi agenda bersama negara dan masyarakat.
Kasus OCI bukan hanya perkara masa lalu. Ia adalah cermin bahwa dalam sejarah kita, ada luka-luka yang belum selesai. Menutup mata atasnya bukanlah jalan penyelesaian. Sebaliknya, dengan mendudukkan masalah ini ke dalam ruang publik yang adil, reflektif, dan empatik, kita semua—negara, institusi, dan warga—memenuhi kewajiban etis untuk memastikan bahwa keadilan bukan sekadar prinsip, tetapi juga pengalaman nyata bagi mereka yang paling lama dikecualikan darinya.
Komentar