Makin Suram: Ketika Penegak Hukum Jadi Pelaku Korupsi, Rakyat Indonesia yang Menanggung Derita

Oleh: Yuni R. Levesque
ASKARA - Di tengah impitan ekonomi dan krisis kepercayaan publik terhadap institusi negara, satu per satu borok hukum kembali terbuka. Terbaru, publik dikejutkan oleh penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, sebagai tersangka kasus suap. Ia diduga menerima imbalan terkait vonis onslag atau lepas terhadap terdakwa dalam kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO)—komoditas andalan bangsa yang justru menjadi ladang kejahatan kelas elite.
Yang membuat miris, Muhammad Arif Nuryanta bukan sosok baru di dunia peradilan. Ia telah lama malang melintang di tubuh Mahkamah Agung dan menduduki berbagai posisi strategis sebelum menjabat Ketua PN Jaksel. Penetapan tersangka terhadap dirinya oleh Kejaksaan Agung menjadi tamparan keras, bukan hanya bagi institusi peradilan, tetapi juga bagi harapan rakyat akan keadilan yang berpihak pada kebenaran.
Kasus ini menambah panjang daftar oknum penegak hukum yang justru menjadi pelaku kejahatan korupsi. Ironi yang terus berulang: mereka yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menegakkan hukum, justru menjadi pembajak hukum itu sendiri.
Korupsi: Musuh Lama yang Kian Mengakar
Sejak lama, korupsi telah menjadi kanker yang menggerogoti sendi-sendi bangsa. Bung Karno, proklamator kemerdekaan sekaligus Presiden pertama Republik Indonesia, pernah dengan tegas mengatakan:
"Korupsi adalah musuh besar revolusi. Korupsi adalah pengkhianatan terhadap amanat penderitaan rakyat!"
Bagi Bung Karno, korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan. Ketika pejabat negara—terutama penegak hukum—terlibat korupsi, yang mereka hancurkan bukan hanya anggaran negara, tetapi juga semangat keadilan sosial yang menjadi dasar negara.
Korupsi, dalam pandangan Bung Karno, harus diberantas bukan hanya dengan hukum, tetapi juga melalui revolusi mental: perubahan mendasar dalam cara berpikir, bertindak, dan menjalankan kekuasaan. Sayangnya, puluhan tahun pasca kemerdekaan, kita justru menyaksikan bagaimana korupsi semakin tersistem, merajalela bahkan di lembaga peradilan itu sendiri.
Rakyat Membayar Harga yang Mahal
Bagi rakyat kecil, setiap rupiah yang dikorupsi adalah potongan harapan: sekolah yang tak terbangun, jalan rusak yang tak diperbaiki, harga kebutuhan pokok yang tak terjangkau. Dalam kasus korupsi CPO, efek dominonya terasa nyata: harga minyak goreng melambung, daya beli masyarakat merosot, dan rakyat miskin harus mengencangkan ikat pinggang lebih erat lagi.
Ketika hakim menjual keputusannya, bukan hanya keadilan yang mati, tapi juga kepercayaan publik terhadap negara. Bagaimana rakyat bisa berharap pada hukum, jika palu keadilan telah dibeli dengan harga tertentu?
Menuju Masa Depan yang Tidak Suram
Sudah saatnya institusi hukum benar-benar dibersihkan. Tak bisa lagi hanya mengandalkan slogan, apalagi pencitraan. Harus ada mekanisme yang transparan, tegas, dan menyeluruh untuk menindak setiap bentuk korupsi—terutama di tubuh aparat penegak hukum.
Bangsa ini tak akan benar-benar merdeka selama hukum masih bisa dibeli, dan para pengkhianat amanat rakyat masih duduk nyaman di kursi kekuasaan.
Seperti kata Bung Karno:
Berikan aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Berikan aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia."
Namun dalam konteks hari ini, kita juga butuh sepuluh penegak hukum yang jujur—karena dengan itu saja, kita bisa mulai mengguncang sistem yang penuh kebusukan ini.
* Penulis adalah jurnalis, pegiat sosial, dan aktivis pendidikan antikorupsi.
Komentar