Saat Perbedaan Menjadi Jurang: Menemukan Jalan Pulang Menuju Persaudaraan

Oleh: Munawir Kamaluddin, Dosen UIN Alauddin Makassar
ASKARA - Di tengah gegap gempita kehidupan modern, ketika suara-suara nyaring saling bersahutan, ketika pendapat bertarung di atas layar-layar dingin dan jemari-jemari saling menggugurkan kata, kita mulai merindukan keheningan yang damai.
Kita rindu pada peluk yang tak menghakimi, pada tatap yang tak mencurigai, pada ruang yang memberi kita hak untuk berbeda tanpa harus merasa terasing.
Hari-hari ini, perbedaan yang dulu adalah anugerah kini berubah rupa menjadi jurang yang menakutkan. Saudara jadi jauh karena beda warna pilihan.
Sahabat jadi asing karena beda pendapat dalam perkara furu’. Keluarga jadi kaku karena percakapan-percakapan kecil berubah jadi perdebatan panjang yang tak perlu.
Kita pun mulai bertanya dalam diam: di manakah letak indahnya ukhuwah yang dulu begitu kita banggakan?
Padahal Islam, sejak embun pertama wahyu turun di Gua Hira, telah mengajarkan cinta dalam keberagaman, kasih dalam perbedaan, dan damai dalam setiap simpang jalan kehidupan.
Islam tak pernah meminta kita menjadi seragam, tapi menyerukan agar kita saling menyayangi di tengah ketidaksamaan.
Lihatlah pelangi yang mempesona justru karena warnanya tak serupa. Lihatlah bait-bait puisi yang hidup karena tak semua katanya berulang.
Maka marilah kita sejenak menarik napas panjang, melepas segala prasangka, dan membuka kembali lembaran hati yang mungkin mulai berdebu.
Mari kita berjalan bersama dalam tulisan ini, menyelami hikmah dari kedalaman kalbu dan beningnya nurani, tentang bagaimana menyikapi perbedaan dengan cinta, dengan adab, dengan bijak.
Sebab di balik setiap perbedaan, tersimpan peluang untuk saling mengenal, saling belajar, dan saling memanusiakan.
Tulisan ini bukan sekadar ajakan, tapi pelukan bagi siapa saja yang lelah bertikai, yang letih menjadi hakim atas sesama, dan yang rindu damai dalam pelukan ukhuwah.
Ini adalah bisikan lembut dari iman yang mengajak kita kembali pada fitrah: bahwa perbedaan bukan musuh, tapi taman yang akan mekar indah jika kita rawat dengan kasih.
Mari, izinkan hati Anda menyimak dengan rasa, dan biarkan akal Anda mencerna dengan damai.
Karena sesungguhnya, kebenaran yang indah adalah kebenaran yang membawa tenang,
bukan kegaduhan ataupun ketegangan.
*Menyikapi Perbedaan dengan Bijak: Menjaga Persaudaraan Umat di Tengah Riuhnya Perbedaan*
Dalam suasana kehidupan berbangsa dan beragama yang semakin dinamis, kita tidak bisa menutup mata bahwa perbedaan pandangan, baik dalam agama, pilihan politik, maupun cara hidup, semakin mencolok di tengah masyarakat. Media sosial, grup WhatsApp keluarga, bahkan obrolan warung kopi tak jarang menjadi arena debat panas yang kadang berujung saling menjatuhkan.
Sayangnya, perbedaan yang seharusnya menjadi kekayaan justru berubah menjadi jurang pemisah yang menimbulkan rasa curiga, saling menyalahkan, hingga permusuhan.
Umat Islam pun kadang terjebak dalam konflik internal yang sebenarnya bisa disikapi dengan lebih arif.
*Perbedaan Itu Bukan Masalah, Cara Menyikapinya yang Jadi Soal*
Perbedaan adalah bagian dari sunatullah. Tidak semua orang harus sepemikiran. Bahkan para sahabat Nabi sendiri pernah berbeda pendapat, tetapi mereka tetap bersatu karena memahami bahwa tujuan mereka sama: mencari kebenaran dan ridha Allah.
Masalahnya sekarang, kita hidup di zaman di mana ego lebih sering dijunjung ketimbang adab. Orang lebih suka membela pendapatnya tanpa memberi ruang bagi orang lain untuk didengar. Apalagi saat menyangkut soal pilihan politik, kita sering melihat saudara sendiri bisa saling serang, hanya karena berbeda warna atau pasangan calon.
Padahal, bisa jadi setelah pemilu, para elit politiknya kembali akrab, sementara kita di bawah masih saling sindir.
*Saatnya Umat Islam Tampil sebagai Penyejuk*
Sebagai umat Islam, kita diajarkan untuk menjadi pribadi yang membawa keteduhan, bukan keributan. Allah SWT berfirman:
وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا
“Ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah: 83)
Di zaman sekarang, ayat ini sangat relevan, terutama dalam bersosial media. Komentar negatif, hoaks, bahkan fitnah tersebar dengan cepat tanpa dipikir panjang. Padahal Rasulullah SAW mengingatkan:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka, daripada kita ikut memperkeruh suasana, lebih baik kita hadir sebagai penyejuk—mengajak dialog, saling menghargai, dan mencari titik temu, bukan memperlebar jurang perbedaan.
*Jangan Korbankan Ukhuwah karena Fanatisme Politik atau Mazhab*
Salah satu keprihatinan kita saat ini adalah rusaknya hubungan silaturahim akibat beda pilihan politik atau perbedaan aliran dalam Islam. Ada yang memutus hubungan dengan saudara hanya karena berbeda pilihan saat pilkada atau pemilu. Ada pula yang merasa lebih suci karena merasa kelompoknya paling benar dan menyesatkan yang lain.
Padahal, Islam sangat menekankan pentingnya persaudaraan. Nabi Muhammad SAW bersabda:
لَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا
“Janganlah kalian saling membenci, saling dengki, dan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam kehidupan sekarang, menjaga ukhuwah berarti tetap saling menyapa meskipun beda pilihan, tidak mengadu domba, dan tidak menyebar narasi permusuhan.
*Apa yang Bisa Kita Lakukan?*
1. Kontrol Jempol dan Emosi di Medsos
Jangan mudah terbakar emosi saat melihat konten yang berbeda dengan keyakinan atau pendapat kita. Saring dulu sebelum sharing. Ingat, jempol kita bisa jadi sumber pahala atau dosa.
2. Utamakan Dialog, Bukan Debat Kusir
Ajak bicara dengan kepala dingin, bukan saling meninggikan suara. Dengarkan dulu sebelum menyanggah. Perbedaan akan terasa ringan kalau kita saling memahami.
3. Jaga Silaturahim Lebih dari Segalanya
Jangan biarkan perbedaan pandangan memutus hubungan keluarga, teman, tetangga, atau rekan kerja. Silaturahim adalah pintu keberkahan yang tidak boleh ditutup hanya karena pilihan politik atau organisasi.
4. Jadilah Teladan di Lingkungan Kita
Tidak semua orang bisa jadi tokoh besar, tapi semua orang bisa menjadi contoh kecil yang menginspirasi. Mulailah dari diri sendiri—bersikap santun, menghargai, dan menyejukkan dalam perbedaan.
Dalam konteks kehidupan saat ini, persatuan umat jauh lebih penting dibandingkan sekadar menang dalam perdebatan atau kontestasi politik. Umat yang tercerai-berai akan sulit membangun kekuatan. Sebaliknya, jika kita bisa merangkul perbedaan dalam semangat kebersamaan, maka kita akan menjadi umat yang kuat dan disegani.
Mari kita rawat ukhuwah, kendalikan ego, dan hadirkan Islam sebagai rahmat yang menyejukkan, bukan sebagai alat pembenaran untuk menyerang yang berbeda.
*PENUTUP DAN KESIMPULAN*
Pada akhirnya, kehidupan ini tak lain adalah panggung luas tempat segala ragam watak dan warna memainkan perannya.
Kita semua sedang memerankan naskah-naskah yang berbeda, namun menuju akhir yang sama: sebuah perjumpaan agung di hadapan-Nya.
Maka apakah arti sebuah perbedaan, jika pada akhirnya kita tetap akan bersimpuh dalam satu sujud dan merendah dalam satu kerinduan?
Kita telah menyusuri jejak-jejak makna, menyingkap tabir hikmah di balik keberagaman. Kita belajar, bahwa menyikapi perbedaan bukanlah tentang siapa yang paling keras bersuara, atau siapa yang paling banyak pengikutnya, melainkan tentang siapa yang paling luas hatinya, paling lembut lisannya, dan paling dalam kasihnya.
Perbedaan adalah jendela, bukan dinding. Ia menawarkan pandangan baru, bukan memenjarakan.
Ia mengajak kita berdialog dengan empati, bukan saling menutup telinga. Maka marilah kita rawat perbedaan sebagaimana kita merawat taman: disirami dengan kasih, dipangkas dari prasangka, dan dijaga dari gulma kebencian. Karena dari situlah bunga-bunga persaudaraan tumbuh dan semerbaknya menyentuh langit.
Dalam arus deras peradaban yang kian deras, kita membutuhkan jangkar: nilai-nilai luhur yang membuat kita tak hanyut dan tak saling menenggelamkan.
Islam memberi kita jangkar itu: rahmah, tawazun, hikmah, dan ukhuwwah. Nilai-nilai yang tak hanya hidup dalam kitab, tapi harus bernyawa dalam perilaku kita sehari-hari.
Tulisan ini bukan akhir dari perjalanan, melainkan undangan untuk terus menyelami diri. Mungkin belum sempurna, tapi cukup untuk menjadi lentera di jalan yang mulai remang. Dan jika engkau, wahai pembaca, merasa ada sejuk mengalir di hati setelah menyimak seluruhnya, maka itulah tujuan tulisan ini bukan untuk menggurui, tapi menemani. Bukan untuk menghakimi, tapi memahami.
Semoga kita semua, dalam tiap langkah dan laku, mampu menjelma menjadi pelipur bagi luka zaman. Menjadi pelita dalam gelapnya prasangka, dan menjadi jembatan bagi yang terbelah. Karena sungguh, dunia ini terlalu singkat untuk diisi dengan kebencian,dan terlalu indah untuk tidak saling mencintai.# Wallahu A’lam Bishawab.
Komentar