Senin, 21 April 2025 | 12:53
NEWS

Dulu Teriak Reformasi, Kini Terjerat Korupsi

Dulu Teriak Reformasi, Kini Terjerat Korupsi
Kantor Pertamina di Jakarta (Dok Wikipedia)

ASKARA – Korupsi di Indonesia semakin menjadi-jadi, bahkan mencapai angka fantastis. Salah satu kasus terbaru yang mencuat adalah dugaan korupsi BBM oplosan di Pertamina yang merugikan negara hingga Rp 193 triliun per tahun. Kasus ini mengundang sorotan tajam dari berbagai pihak, termasuk pengamat kebijakan publik, Azas Tigor Nainggolan.

Tigor menyebut bahwa kasus ini menunjukkan betapa sistem pengawasan dan integritas pejabat publik masih sangat lemah. “Korupsi seperti ini tidak mungkin dilakukan seorang diri. Ada jaringan yang terorganisir, mulai dari yang merancang, mengawasi, menjalankan, hingga mendistribusikan BBM oplosan ke SPBU,” ujarnya, Senin (3/2).

Lebih mengejutkan lagi, beberapa nama yang ditangkap dalam kasus ini ternyata adalah mantan aktivis reformasi 1998. Mereka yang dulu berteriak “ganyang koruptor” kini justru terlibat dalam praktik yang mereka lawan.

“Ada ironi besar di sini. Dulu mereka berjuang untuk keadilan, tapi setelah masuk ke dalam sistem kekuasaan, justru ikut menikmati hasil korupsi. Ini menunjukkan bahwa reformasi yang diperjuangkan dulu tidak membentuk sistem yang lebih bersih, melainkan justru melahirkan generasi baru koruptor dari kalangan mantan aktivis,” kata Tigor.

Kasus ini juga mengungkap potensi kerugian negara yang jauh lebih besar. “Jika dihitung sejak 2018 hingga 2023, potensi korupsi dari BBM oplosan ini bisa mencapai Rp 1 kuadriliun. Angka ini setara dengan Rp 1.000 triliun, jumlah yang bisa digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,” tambahnya.

Menurut Tigor, Kejaksaan Agung harus bertindak tegas dengan menyeret semua pihak yang terlibat. “Tidak boleh ada yang kebal hukum, baik itu mantan aktivis, pejabat, atau pengusaha yang ikut bermain dalam mafia BBM ini. Jika korupsi dibiarkan, maka rakyat yang akan terus menjadi korban,” tegasnya.

Ia juga mempertanyakan mengapa suara kritis dari para aktivis reformasi kini semakin redup. “Dulu banyak yang berteriak keras menuntut keadilan, tapi sekarang banyak yang justru diam. Mungkin karena mereka sudah menjadi bagian dari sistem dan menikmati fasilitas kekuasaan,” ujarnya.

Tigor menegaskan bahwa korupsi adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia karena merampas hak hidup rakyat. “Koruptor itu tidak hanya mencuri uang negara, tetapi juga merampas kesempatan rakyat untuk hidup lebih sejahtera,” pungkasnya.

Kini, publik menanti apakah para tersangka benar-benar akan dihukum berat atau justru mendapat perlakuan istimewa karena kedekatan mereka dengan kekuasaan.

 

Komentar