Inilah Pelajaran Penting dari Kasus Pendakian Gunung Slamet

ASKARA - Insiden yang menimpa seorang pendaki yang ditinggalkan oleh rekan-rekannya di Gunung Slamet, sebagaimana terlihat dalam video di akun TikTok @davin.aswngga pada Minggu, 29 Desember 2024, menjadi sorotan emosional bagi para pecinta alam. Dalam video tersebut, seorang pendaki yang mengalami hipotermia terlihat tidak berdaya dan hanya ditemani oleh seseorang yang bukan bagian dari timnya. Sementara itu, rekan-rekan pendakiannya memilih melanjutkan perjalanan menuju puncak.
Dar Edi Yoga, salah satu pendiri Elpala SMA 68 Jakarta, anggota Top Ranger and Mountain Pathfinder (TRAMP), serta pendaki senior yang pernah memimpin ekspedisi ke empat puncak tertinggi dunia bersama pendaki tunadaksa Sabar Gorky, menyampaikan keprihatinan mendalam atas kejadian tersebut. Menurutnya, insiden ini bukan hanya kecelakaan biasa, tetapi juga cerminan lemahnya pemahaman terhadap nilai dasar pendakian: kekompakan tim dan keselamatan bersama.
“Dalam pendakian, tujuan utama bukanlah puncak, melainkan memastikan semua anggota tim kembali dengan selamat,” ujar Dar Edi Yoga, Kamis (2/1).
Ia menegaskan bahwa puncak gunung tidak akan pernah berpindah, tetapi nyawa dan keselamatan pendaki adalah sesuatu yang tidak tergantikan. Keputusan meninggalkan rekan dalam kondisi kritis mencerminkan kegagalan menjaga semangat kebersamaan dan tanggung jawab terhadap sesama.
Pendakian, menurut Dar Edi Yoga, adalah aktivitas tim yang membutuhkan kerja sama, solidaritas, dan komunikasi yang baik. Setiap anggota tim memiliki peran, baik secara fisik maupun emosional, yang menjadi kunci keberhasilan perjalanan. “Ketika salah satu anggota tim mengalami kesulitan, saat itulah kekompakan dan kepedulian diuji,” tambahnya.
Sebagai manajer pendakian Sabar Gorky, seorang pendaki tunadaksa yang berhasil menaklukkan empat puncak tertinggi dunia, Dar Edi Yoga telah menghadapi berbagai tantangan luar biasa. Dalam timnya, keselamatan dan kekuatan kolektif selalu menjadi prioritas. “Kami selalu mengutamakan keselamatan, meskipun itu berarti harus mengorbankan ambisi mencapai puncak,” kenangnya.
Ia menegaskan bahwa keberhasilan pendakian tidak hanya diukur dari pencapaian puncak, tetapi juga dari proses yang dilalui. “Proses pendakian adalah cerminan hidup: ada tantangan, kerja sama, dan pelajaran tentang pentingnya menghargai sesama,” ungkapnya.
Dar Edi Yoga menyoroti tanggung jawab moral setiap pendaki untuk memastikan keselamatan satu sama lain. Meninggalkan rekan dalam kondisi darurat, seperti mengalami hipotermia, menurutnya adalah pelanggaran terhadap esensi pendakian yang mengedepankan kemanusiaan. Kondisi hipotermia seharusnya menjadi alarm untuk segera menghentikan pendakian dan memberikan bantuan.
“Pendakian bukan hanya olahraga, tetapi juga pelajaran tentang nilai-nilai hidup. Solidaritas dan empati adalah fondasi dari setiap perjalanan, terutama di alam bebas,” tegasnya.
Ia berharap insiden di Gunung Slamet menjadi pelajaran berharga bagi komunitas pendaki. Persiapan matang, pembagian peran dalam tim, pengetahuan penanganan darurat, serta komitmen untuk mengutamakan keselamatan adalah hal yang tidak bisa diabaikan.
“Puncak gunung memang menggoda, tetapi tidak ada artinya jika dicapai dengan mengorbankan keselamatan diri. Ada hari esok untuk mencoba lagi, tetapi kehilangan seseorang tidak pernah bisa diulang,” tandasnya.
Dar Edi Yoga menegaskan bahwa pendaki tidak hanya berhadapan dengan tantangan alam, tetapi juga dengan nilai-nilai kemanusiaan. Kejadian di Gunung Slamet menjadi pengingat penting bahwa pendakian adalah perjalanan bersama, di mana keselamatan setiap anggota tim adalah kemenangan sejati.
Komentar