PPN 12 Persen dapat Kepastian! Bagaimana Nasib Pajak Karbon?
Penulis: Naufal Fauzan Ramadhan, Nugraha Wira
Mahasiswa S1 Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia
ASKARA - Sri Mulyani, Menteri Keuangan menegaskan kembali kepastian penerapan PPN 12% pada tahun 2025 dalam rapat kerja bersama Komisi X1 DPR RI. Beliau menyatakan bahwa penerapan PPN 12% telah direncanakan dengan matang dan sejalan dengan penerapan UU No 7 tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Lantas, mengapa pajak karbon tidak mendapatkan perlakuan yang sama? Padahal peraturan mengenai Pajak Karbon juga tertuang pada Undang-undang yang sama. Dalam UU Harmonisasi Peraturan Pajak, pajak karbon awalnya direncanakan berlaku mulai 2022 dengan mekanisme cap and tax yang berlaku pada industri Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara kemudian akan diimplementasikan kepada semua industri pada tahun 2025 . Kebijakan ini merupakan bagian dari amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Namun, hingga kini, pelaksanaannya terus mengalami penundaan.
Apa Itu Pajak Karbon?
Pajak karbon merupakan bentuk pungutan terhadap emisi karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan oleh pelaku industri tertentu, seperti industri PLTU di Indonesia. Tujuan utamanya adalah memberikan efek jera kepada industri yang tidak melakukan proses industri yang berbasis energi ramah lingkungan.
Mengapa Pajak Karbon Terus Ditunda?
Berikut adalah beberapa faktor utama penyebab tertundanya penerapan pajak karbon di Indonesia:
1. Kesiapan Industri dan Ekonomi
Pemerintah mengakui bahwa banyak sektor industri, terutama yang berbasis energi fosil dan beremisi tinggi, belum sepenuhnya siap menghadapi beban tambahan dari pajak karbon. Ketidakstabilan ekonomi pasca-pandemi juga menjadi alasan penundaan untuk menghindari dampak negatif terhadap bagi banyak industri di indonesia. Hal ini perlu dikritisi lebih lanjut karena sejauh ini belum ada tindakan yang signifikan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terkait bantuan kesiapan transisi industri tersebut.
2. Sistem regulasi dan Infrastruktur yang Belum Memadai
Meski kerangka hukum untuk pajak karbon telah disiapkan, implementasi teknisnya membutuhkan infrastruktur yang memadai, seperti mekanisme alat penghitung emisi dan mekanisme pelaporan emisi. Tanpa sistem yang jelas, kebijakan ini hanya akan menyebabkan inefisiensi pemungutan pajak. Terlebih lagi, sistem infrastruktur pajak karbon tentunya membutuhkan dana APBN yang tidak sedikit.
3. Kebutuhan Sinkronisasi Kebijakan
Pemerintah perlu menyelaraskan kebijakan pajak karbon dengan kebijakan energi lainnya, termasuk transisi energi ke sumber terbarukan, pemberian insentif kepada pelaku industri yang ramah lingkungan, peningkatan infrastruktur berbasis energi terbarukan, dan kebijakan lain yang berhubungan dengan energi terbarukan. Sehingga kebijakan mengenai energi terbarukan akan menjadi faktor yang dapat menarik berbagai industri dalam meningkatkan tingkat kepatuhannya dalam menjalankan komitmen ekonomi hijau.
4. Kekhawatiran Sosial dan Politik
Penerapan pajak karbon berpotensi meningkatkan biaya produksi dan harga barang, yang pada akhirnya dapat membebani masyarakat. Isu ini menjadi perhatian dalam dinamika sosial dan politik, kebijakan seperti penambahan jenis pajak atau peningkatan tarif pajak akan menimbulkan antipati dari masyarakat, terlebih melihat perekonomian setahun kebelakang yang sedikit lesu ditambah dengan adanya rencana kebijakan PPN 12%.
Dampak Penundaan Pajak Karbon
Kebijakan pajak karbon sejatinya dirancang untuk memberi sinyal kuat kepada pelaku industri serta masyarakat untuk lebih memperhatikan lingkungan dengan mengurangi kegiatan yang menimbulkan emisi dan beralih menuju praktik yang lebih berkelanjutan dengan menggunakan energi-energi terbarukan. Namun, penundaan implementasi pajak karbon dapat menimbulkan berbagai tantangan dan risiko yang menghambat kemajuan dari yang seharusnya dapat dicapai.
Penundaan pajak karbon tidak hanya menghambat pengurangan emisi, tetapi juga memperburuk kerusakan lingkungan. Pajak karbon merupakan langkah yang diambil pemerintah sebagai disinsentif ekonomi, sehingga tanpa adanya disinsentif tersebut industri cenderung memilih opsi termurah yang biasanya memiliki dampak yang lebih besar terhadap lingkungan. Penundaan ini dapat membuat dominasi penggunaan bahan bakar fosil yang tentunya akan memperburuk kualitas udara dan kesehatan masyarakat.
Penundaan pajak karbon yang menghambat pengurangan emisi juga memberikan kesan negatif bagi komunitas internasional bahwa Indonesia tidak serius dalam mengurangi emisi. Hal tersebut dapat terjadi karena Indonesia telah menandatangani Paris Agreement, dimana pada tahun 2015 Indonesia menargetkan pengurangan emisi selama 2020 hingga 2030 sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional (Enhanced Nationally Determined Contribution Indonesia, 2022). Dalam ENDC 2022 juga disampaikan bahwa Indonesia menaikkan target pengurangan emisi selama 2020 hingga 2030 menjadi 31,89% dengan upaya sendiri dan 43,20% dengan dukungan Internasional. Pajak karbon menjadi instrumen yang dipilih pemerintah untuk mencapai target tersebut, dimana kejelasan mengenai kapan pengimplementasiannya belum dapat dipastikan. Ketidakseriusan Indonesia dalam mengimplementasikan pajak karbon dapat membuat negara-negara lain meragukan kredibilitas Indonesia dalam kerja sama jangka panjang untuk agenda iklim yang progresif. Hal ini tentunya akan melemahkan Indonesia dalam negosiasi internasional dan mengurangi dukungan finansial serta teknologi dalam memitigasi perubahan iklim.
Ketidakpastian implementasi pajak karbon menciptakan keraguan bagi para investor untuk berinvestasi ke proyek-proyek energi terbarukan. Tentunya hal ini sangat disayangkan mengingat investasi terhadap proyek energi terbarukan tidak hanya berpotensi untuk membantu mengurangi emisi sesuai target, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi melalui lapangan kerja baru yang tercipta akibat dari adanya proyek ini. Tanpa adanya pajak karbon, energi berbasis fosil akan terus mendominasi karena harganya yang lebih murah sehingga energi terbarukan akan semakin sulit bersaing secara ekonomi. Hal tersebut membuat potensi pertumbuhan sektor energi bersih di Indonesia tidak dimanfaatkan secara maksimal sehingga menghambat transformasi menuju ekonomi rendah karbon yang lebih berkelanjutan dan semakin memperkecil peluang Indonesia dalam mencapai target pengurangan emisi yang disampaikan pada ENDC 2022.
Apabila penundaan implementasi pajak karbon terus dilakukan, industri lokal yang belum beradaptasi dengan standar rendah emisi akan menghadapi masalah yang cukup serius dalam mengakses pasar global, terutama negara maju seperti negara-negara Uni Eropa. Hal tersebut disebabkan karena Uni Eropa mulai memperkenalkan kebijakan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM), yang memajaki barang impor berdasarkan jejak karbonnya. Kebijakan tersebut bertujuan untuk melindungi industri domestik mereka yang telah berkomitmen pada standar rendah karbon sekaligus juga mendorong produsen asing menerapkan komitmen yang sama. Produk ekspor Indonesia terancam mengalami kenaikan biaya dengan adanya kebijakan tersebut yang akan berdampak pada menurunnya daya saing produk Indonesia di pasar internasional dibanding dengan negara yang telah menerapkan standar rendah karbon. Dengan semakin banyak negara yang mengadopsi kebijakan rendah karbon, momentum global untuk beralih ke ekonomi hijau tidak lagi bisa dihindari. Kegagalan Indonesia untuk mengikuti tren ini tidak hanya akan membuat negara tertinggal, tetapi juga melewatkan peluang untuk memimpin di kawasan Asia Tenggara sebagai pelopor dalam transisi energi dan mitigasi iklim.
Kesimpulan
Pajak karbon merupakan kebijakan yang penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim, terlebih lagi kebijakan pajak karbon merupakan komitmen dunia internasional. Tidak diberlakukannya kebijakan pajak karbon cenderung akan memperburuk keadaan geopolitik Negara Indonesia. Keadaan yang sama dengan perspektif yang cenderung berbeda, terjadi di dalam negeri. Pasalnya, keadaan perekonomian yang tidak pasti menyebabkan timbulnya antipati dari masyarakat mengenai perencanaan kebijakan moneter, khususnya pajak. Melihat fenomena ini, pemerintah Indonesia harus mengambil kebijakan komprehensif dengan cepat dan dengan kalkulasi yang matang, sehingga semua konsekuensi buruk dari pemberlakuan kebijakan ini dapat diminimalisir.
Komentar