Mengoptimalkan Eksploitasi Tuna Sirip Biru di Laut Lepas
Strategi Indonesia untuk Meningkatkan Daya Saing Global
![Mengoptimalkan Eksploitasi Tuna Sirip Biru di Laut Lepas Mengoptimalkan Eksploitasi Tuna Sirip Biru di Laut Lepas](https://www.askara.co/assets/images/news/2024/11/20241130112329_normal.jpg)
Oleh: I Bayu Trikuncoro
Mahasiswa Pasca Sarjana Prodi Doktor Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri, IPDN
Urgensi Eksploitasi Tuna Sirip Biru di Laut Lepas
ASKARA - Tuna sirip biru (Thunnus thynnus), dikenal sebagai "emas biru," merupakan komoditas bernilai ekonomi tinggi di sektor perikanan global. Potensinya terletak di perairan laut lepas Samudra Hindia dan Atlantik, di bawah pengelolaan Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT). Meski kuota tangkap global mencapai 17.000 ton (2023), kontribusi Indonesia stagnan di angka 1.336 ton, jauh di bawah Jepang (6.226 ton) dan Australia (5.887 ton) (CCSBT, 2023).
Keunggulan Jepang dan Australia terletak pada modernisasi armada dan pengelolaan berbasis data. Jepang memanfaatkan teknologi sonar dan sistem pendingin canggih untuk memastikan kualitas premium. Australia menerapkan pendekatan ekosistem dengan regulasi tangkap yang ketat. Indonesia, meskipun memiliki posisi geografis strategis, menghadapi keterbatasan teknologi, daya saing, dan regulasi yang kurang mendukung.
Permasalahan Eksploitasi Tuna Sirip Biru di Indonesia
1. Teknologi Penangkapan Tradisional
Mayoritas armada Indonesia masih menggunakan teknologi konvensional. Hanya 10% armada yang dilengkapi teknologi modern seperti sonar dan sistem pendingin (Kusdiantoro et al., 2019). Akibatnya, hasil tangkapan tidak memenuhi standar sashimi-grade, menghambat akses ke pasar premium seperti Jepang.
2. Rendahnya Daya Saing dan Infrastruktur Pasca-Tangkap
Tuna Indonesia sulit bersaing di pasar global karena rendahnya kualitas penanganan pasca-tangkap. Jepang dan Australia mengelola hasil tangkapan melalui fasilitas modern di dekat wilayah tangkap. Indonesia menghadapi tantangan logistik dan infrastruktur, sehingga kualitas produk menurun.
3. Regulasi yang Kurang Mendukung
Regulasi perikanan Indonesia lebih berfokus pada wilayah yurisdiksi nasional, tanpa strategi jelas untuk laut lepas. Keterbatasan diplomasi maritim juga mengurangi peluang Indonesia mendapatkan kuota lebih besar di CCSBT.
Strategi Optimalisasi Eksploitasi Tuna Sirip Biru
1. Modernisasi Teknologi dan Armada
Modernisasi armada perikanan diperlukan dengan teknologi sonar, sistem pendingin, dan pelacakan satelit. Pemerintah harus mendorong investasi pada kapal berskala industri melalui insentif.
2. Peningkatan Daya Saing dan Infrastruktur Pasca-Tangkap
Pembangunan fasilitas pengolahan modern di dekat wilayah tangkap, serta penerapan traceability system, penting untuk memastikan tuna Indonesia memenuhi standar keberlanjutan pasar premium.
3. Diplomasi Maritim dan Regulasi Progresif
Diplomasi maritim harus ditingkatkan untuk memperoleh kuota CCSBT yang lebih besar. Regulasi berbasis data stok ikan juga diperlukan untuk mendorong eksploitasi yang lebih efisien.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Indonesia memiliki potensi besar dalam eksploitasi tuna sirip biru di laut lepas. Untuk mencapai kontribusi 5.000 ton per tahun dan masuk tiga besar global, diperlukan:
1. Modernisasi Perikanan: Teknologi canggih dalam penangkapan dan pengolahan.
2. Peningkatan Daya Saing Global: Infrastruktur pasca-tangkap yang memenuhi standar internasional.
3. Diplomasi Progresif: Kuota lebih besar di CCSBT melalui pendekatan berbasis data.
Dengan langkah ini, Indonesia dapat mengukuhkan posisinya sebagai Poros Maritim Dunia, sekaligus menunjukkan komitmen terhadap pengelolaan laut global yang bertanggung jawab. Tuna sirip biru bukan hanya simbol ekonomi, tetapi juga cerminan kedaulatan dan keberlanjutan maritim Indonesia.
Komentar