Sabtu, 07 Desember 2024 | 13:14
OPINI

KPK, Jet Pribadi, dan Interpretasi Gratifikasi

KPK, Jet Pribadi, dan Interpretasi Gratifikasi
KPK (Dok Askara)

Oleh: M. Gufron Rum  

Head of Research and Development Nusantara Foundation & Mahasiswa Magister Departemen Politik dan Pemerintahan UGM

 

ASKARA - Pernyataan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai penggunaan jet pribadi oleh Kaesang Pangarep yang dikategorikan bukan sebagai gratifikasi telah memicu respons publik yang beragam. Dengan menyatakan bahwa pemberian fasilitas tersebut tidak melibatkan pejabat negara secara langsung, KPK memberikan ruang interpretasi yang berpotensi dimanfaatkan oleh oknum tertentu. Kebijakan ini mengindikasikan bahwa hadiah atau gratifikasi bisa disalurkan melalui anggota keluarga, khususnya mereka yang tidak terkait langsung dalam jabatan publik, sehingga terkesan legal dan tidak menimbulkan konsekuensi hukum apa pun.

Fenomena ini dapat dibaca melalui lensa *State in Society* karya Joel S. Migdal (2001), yang mengungkapkan bagaimana negara dan masyarakat saling mempengaruhi dalam membentuk struktur kehidupan sehari-hari, termasuk dalam penentuan aturan, pihak yang diuntungkan atau dirugikan, serta makna bersama dalam interaksi sosial. Dalam konteks politik kebijakan dan hukum di Indonesia, respons KPK terhadap kasus penggunaan jet pribadi oleh Kaesang Pangarep menunjukkan bagaimana negara secara praktik membuka ruang bagi interpretasi bahwa hadiah atau imbalan untuk kepentingan pejabat dapat disalurkan melalui kerabat tanpa dianggap melanggar hukum.

Kebijakan semacam ini menunjukkan bagaimana negara turut menentukan batas-batas aturan dalam masyarakat terkait penerimaan hadiah atau gratifikasi. Namun, dalam perspektif Migdal, negara bukanlah satu-satunya aktor yang menentukan aturan; negara berinteraksi dinamis dengan masyarakat yang memiliki ekspektasi terhadap norma anti-korupsi. Dengan memberikan kelonggaran terhadap penerimaan fasilitas yang dialihkan kepada pihak ketiga, seperti anggota keluarga pejabat, KPK—sebagai representasi negara—secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa ada cara untuk menerima gratifikasi tanpa perlu melanggar aturan formal. Bahkan, KPK hanya membedakan kasus ini dengan mempertimbangkan faktor keluarga atau status kartu keluarga dalam menentukan apakah suatu pemberian tergolong gratifikasi atau bukan. Hal ini berdampak pada pemaknaan masyarakat terhadap penegakan hukum yang adil dan kredibel, sebagaimana cita-cita konstitusi dan amanat reformasi.

Dalam konteks interaksi antara negara dan masyarakat, kebijakan ini mempengaruhi cara masyarakat memandang integritas negara sebagai citra ideal di mata internasional. Menurut Migdal, hubungan antara negara dan masyarakat menciptakan aturan dan batasan sosial yang bisa menguntungkan atau merugikan kelompok tertentu. Dalam konteks ini, pernyataan KPK dapat menimbulkan implikasi bahwa hukum lebih menguntungkan pejabat atau individu di lingkaran kekuasaan yang mampu memanfaatkan relasi keluarga atau sosial untuk menerima fasilitas tanpa pengawasan ketat. Sementara itu, publik mungkin melihat bahwa penyimpangan bisa terjadi bila seseorang memiliki kedekatan atau hubungan personal dengan aktor kekuasaan.

Lebih jauh, perspektif *State in Society* Migdal menunjukkan bagaimana keputusan negara bisa membentuk makna sosial mengenai hubungan kekuasaan dan keadilan. Keputusan KPK ini seolah menegaskan bahwa kelonggaran hukum dapat terjadi bagi mereka yang memiliki kedekatan dengan pejabat negara, yang pada akhirnya menimbulkan ketidaksetaraan dalam perlakuan hukum. Secara jangka panjang, masyarakat mungkin melihat bahwa jargon anti-korupsi berlaku secara fleksibel, tergantung pada konteks dan hubungan personal.

Pada akhirnya, perspektif Migdal tentang *State in Society* menunjukkan bahwa negara tidak hanya menciptakan aturan, tetapi juga membentuk norma sosial melalui kebijakannya. Kebijakan KPK dalam kasus ini memiliki implikasi luas terhadap pemahaman masyarakat mengenai hubungan antara hukum dan kekuasaan. Untuk memastikan integritas penegakan hukum, negara perlu menutup celah yang memungkinkan pemanfaatan gratifikasi terselubung dan memperkuat regulasi agar aturan anti-korupsi berlaku secara adil bagi semua pihak.

 

 

Komentar