Kamis, 24 April 2025 | 14:23
OPINI

Kerukunan dalam Perbedaan

Jalan Menuju Kehidupan Beragama yang Damai dan Berkeadilan di Indonesia

Jalan Menuju Kehidupan Beragama yang Damai dan Berkeadilan di Indonesia
Kerukunan dalam perbedaan (Dok Turnip)

Oleh: Saur S. Turnip

ASKARA - Di tengah keberagaman yang kompleks, Indonesia kini menghadapi krisis toleransi beragama yang mengancam keutuhan masyarakat. Toleransi bukan sekadar kata, tetapi sebuah komitmen yang harus dijunjung tinggi oleh setiap individu dan komunitas. Dinamika bangsa yang beragam seperti Indonesia menjadikan kerukunan hidup beragama sebagai pilar fundamental yang harus dijaga dengan penuh kehati-hatian. Indonesia, yang dibangun di atas semangat Bhinneka Tunggal Ika, memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga kerukunan di tengah perbedaan. Hal ini secara tegas dilindungi dalam UUD 1945, khususnya Pasal 29 ayat 2, yang menjamin kebebasan beragama bagi setiap warga negara. Namun, realitas di lapangan sering kali menguji komitmen kerukunan ini, di mana perbedaan pandangan teologis dapat dengan mudah memicu konflik.

Dengan demikian, mari kita renungkan bahwa kerukunan hidup beragama adalah tanggung jawab bersama yang memerlukan kerja sama dan dedikasi dari semua pihak. Kita perlu berkomitmen untuk menjadikan Indonesia sebagai contoh peradaban yang damai, di mana setiap orang dapat menjalankan keyakinan mereka dengan bebas, tanpa takut akan penistaan atau diskriminasi. Ini adalah tantangan yang harus dihadapi oleh seluruh elemen masyarakat demi masa depan yang lebih harmonis dan sejahtera.

Audience dan Pendakwah

Dalam konteks ini, pendakwah berperan sebagai pemandu spiritual yang seharusnya membangun jembatan antara keyakinan yang berbeda, bukan memperkeras dinding pemisah yang memisahkan satu kelompok dari kelompok lainnya. Sayangnya, banyak pendakwah yang terjebak dalam dogma sempit, menjadikan audiens mereka sebagai arena pertempuran ideologi alih-alih menciptakan ruang dialog yang konstruktif.

Krisis toleransi beragama semakin rumit ketika dakwah yang disampaikan melibatkan perbedaan dogma yang tajam. Ketika ajaran tertentu dipaksakan tanpa menghargai kepercayaan yang dianut oleh orang lain, ketegangan dan permusuhan menjadi hal yang tak terhindarkan, bukan pengertian dan dialog yang diharapkan. Dalam suasana yang tegang ini, potensi untuk melakukan penistaan agama meningkat, di mana keyakinan orang lain dipandang remeh dan dipertanyakan. Situasi ini menciptakan dampak negatif yang mendalam, tidak hanya bagi individu yang diserang, tetapi juga bagi kohesi sosial secara keseluruhan.

Praktik dakwah yang tidak selalu membawa pesan kedamaian sering kali memperburuk situasi. Ketika penyampaian ajaran agama disampaikan tanpa mempertimbangkan sensitivitas keyakinan lain, hasilnya dapat menjadi polarisasi yang berbahaya. Pendakwah seharusnya mengedepankan prinsip-prinsip inklusivitas dan empati, sehingga diskusi yang terjadi dapat membangun pengertian, bukan sebaliknya. Kita perlu menyadari bahwa dalam menjalani hidup beragama, dialog yang sehat dan terbuka adalah kunci untuk mencegah konflik yang tidak perlu.

Krisis toleransi beragama ini bukan hanya tanggung jawab pendakwah, tetapi juga seluruh masyarakat. Kita semua harus berkomitmen untuk menciptakan lingkungan yang saling menghormati dan memahami. Setiap individu, tanpa memandang latar belakang agama, memiliki peran dalam mewujudkan kerukunan ini. Mengedepankan sikap saling menghargai dan membuka diri terhadap perbedaan adalah langkah awal untuk membangun jembatan komunikasi yang lebih kuat.

Mengulas Teologi yang Berbeda

Dalam masyarakat yang plural, pengkajian teologi dari berbagai sudut pandang agama memerlukan kehati-hatian dan kedalaman berpikir yang tidak bisa diabaikan. Upaya untuk memahami dan menghargai keyakinan orang lain seharusnya menjadi landasan bagi dialog yang konstruktif. Ketika pengkajian ini dilakukan dengan bijak, hasilnya bukan hanya dapat memperkaya wawasan individu, tetapi juga memperkuat kerukunan di antara komunitas yang beragam.

Namun, tantangan muncul ketika kritik terhadap teologi agama lain disampaikan tanpa pemahaman yang utuh dan penghormatan yang tulus. Dalam konteks ini, kritik yang asal-asalan dapat memicu konflik, merusak harmoni sosial, dan menciptakan ketegangan di antara umat beragama.

Kesalahpahaman ini sering kali diperburuk oleh peran media sosial, yang berfungsi sebagai double-edged sword. Di satu sisi, media sosial memberikan platform untuk diskusi dan berbagi informasi, tetapi di sisi lain, ia juga menyebarkan potongan-potongan argumen yang diambil di luar konteks, memperburuk polaritas di masyarakat.

Dakwah yang moderat dan bijak dapat berfungsi untuk membangun semangat toleransi, mengajak semua pihak untuk saling menghormati, dan menciptakan ruang dialog yang konstruktif. Sebaliknya, jika dakwah digunakan sebagai alat untuk memperkuat fanatisme dan eksklusi, maka yang terbentuk adalah jurang pemisah yang semakin lebar, menjauhkan kita dari cita-cita persatuan dan kedamaian.

Penistaan Agama dan Proses Hukum

Proses hukum yang menyertai laporan penistaan agama di Indonesia sering kali menjadi sorotan tajam karena dianggap tidak berimbang. Meskipun undang-undang yang berlaku, terutama UU ITE dan KUHP, telah memuat ketentuan yang jelas tentang larangan ujaran kebencian dan penghinaan terhadap agama, implementasinya di lapangan menunjukkan realitas yang mencemaskan. Dalam praktiknya, penegakan hukum sering kali dipengaruhi oleh bias yang mencolok; hukum cenderung lebih melindungi agama mayoritas, sementara agama minoritas sering kali terpinggirkan dan kurang mendapat perlindungan yang sama.

Lebih tragis lagi, tindakan penistaan ini sering kali tidak mendapatkan penanganan yang adil dari aparat hukum, menciptakan diskriminasi yang jelas dalam penegakan hukum. Ketika hukum seharusnya berfungsi sebagai pelindung bagi semua individu—sebagaimana diamanatkan dalam pasal-pasal UUD 1945 yang menjamin kebebasan beragama—realitas yang ada justru menunjukkan bahwa banyak kelompok merasa terpinggirkan dan diabaikan.

Komitmen Menghidupkan Kerukunan

Komitmen terhadap toleransi yang semu kerap kali tampak dalam praktik sehari-hari, di mana retorika yang mendukung keberagaman sering kali hanya menjadi slogan tanpa adanya realisasi yang konkret. Kita perlu bertanya kepada diri kita sendiri: sejauh mana kita benar-benar menghormati dan memahami keyakinan orang lain?

Sebagai masyarakat yang mengklaim menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia, kita dituntut untuk tidak hanya berbicara, tetapi juga bertindak. Ini adalah panggilan untuk refleksi yang mendalam—apakah kita, dalam keseharian kita, sudah benar-benar mencerminkan nilai-nilai toleransi yang kita agungkan?

Pemerintah memiliki tanggung jawab besar dalam memelihara kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Komitmen ini harus diwujudkan melalui kebijakan yang menjamin kebebasan beragama secara setara, penyediaan ruang dialog lintas agama yang aman, serta penegakan hukum yang tegas namun berimbang. Pendidikan multikulturalisme, kampanye toleransi, dan pengawasan ketat atas konten dakwah yang provokatif adalah langkah-langkah solutif yang harus dioptimalkan pemerintah untuk menjaga harmoni di tengah masyarakat yang plural.

Penutup

Sebagai penutup, marilah kita merenungkan bahwa krisis toleransi beragama bukan hanya merupakan tanggung jawab satu pihak, melainkan sebuah tugas bersama yang harus diemban oleh seluruh elemen masyarakat. Dalam menghadapi tantangan ini, kita dihadapkan pada sebuah misi kolektif untuk membangun komitmen sejati dalam menghargai perbedaan, menjadikan Indonesia sebagai contoh peradaban yang beradab dalam merayakan keragaman.

Kerukunan hidup beragama bukan sekadar idealisme; ia merupakan wujud nyata dari cita-cita bangsa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam konteks ini, penguatan peran dakwah yang toleran sangatlah penting. Pendakwah harus menyadari bahwa menghormati teologi yang berbeda bukan hanya sebuah pilihan, melainkan suatu keharusan dalam membangun masyarakat yang harmonis.

Indonesia memiliki potensi besar yang seharusnya menjadi miniatur dalam kerukunan antarumat beragama, namun ini hanya bisa terwujud melalui komitmen semua pihak. Pemuka agama, masyarakat, dan pemerintah harus bersinergi dalam menciptakan iklim dialog yang konstruktif, berkeadilan, dan saling menghormati.

Dengan demikian, tantangan ini bukanlah beban yang harus dipikul sendirian, tetapi sebuah kesempatan untuk bersatu dan bekerja sama, menciptakan harmoni dalam keragaman yang menjadi ciri khas bangsa kita. Saatnya kita bertindak, mewujudkan kerukunan sebagai bagian dari identitas nasional kita yang sejati.

 

 

Komentar