Menjaga Hak Beribadah: Izin Pembangunan Gereja Bukan Alasan untuk Menghalangi Kebebasan
Oleh : Saur S. Turnip
ASKARA - Selama satu dekade terakhir, umat Kristen di Indonesia menghadapi berbagai tantangan dalam menjalankan ibadah dan mendirikan rumah ibadah. Meskipun Pasal 29 UUD 1945 dengan tegas menjamin kebebasan beragama, kenyataan di lapangan sering kali berbeda. Hambatan yang bersifat administratif, persekusi, hingga pembongkaran gereja menjadi fakta yang menyoroti perlunya perlindungan lebih kuat terhadap hak asasi ini.
Kasus-kasus seperti GKI Yasmin di Bogor dan HKBP Filadelfia di Bekasi menjadi contoh nyata di mana jemaat Kristen harus menghadapi larangan beribadah meskipun telah memenangkan gugatan hukum. Meskipun izin mendirikan bangunan (IMB) sudah dimiliki atau disahkan melalui keputusan pengadilan, jemaat masih menghadapi tekanan dari kelompok masyarakat setempat yang menolak keberadaan gereja mereka. Bahkan ketika hukum berpihak pada mereka, implementasinya diabaikan oleh pemerintah daerah.
Tidak hanya soal izin mendirikan gereja, tindakan persekusi juga marak terjadi. Di Garut dan Bantul, jemaat Kristen diusir atau dipaksa menghentikan ibadah mereka oleh warga lokal yang tidak menerima keberadaan mereka. Persekusi seperti ini sering kali terjadi di daerah mayoritas Muslim, dengan minimnya perlindungan dari aparat penegak hukum. Pemerintah yang seharusnya berperan sebagai pelindung kebebasan beragama terkadang justru diam atau malah mendukung tekanan dari kelompok intoleran.
Fakta lain yang tak kalah menyakitkan adalah pembongkaran rumah ibadah. Di Aceh Singkil pada 2015, belasan gereja dibongkar setelah adanya desakan dari kelompok mayoritas. Begitu pula di Bekasi pada 2016, gereja yang sudah memenuhi persyaratan administratif tetap diruntuhkan akibat tekanan masyarakat. Sementara di Sumatera Barat, larangan beribadah di tempat-tempat sementara membuat jemaat Kristen harus mencari lokasi baru, meski kegiatan mereka tidak menimbulkan gangguan apa pun.
Mengapa peristiwa semacam ini terus berulang?
Salah satu alasan utama adalah penggunaan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 dan 9 Tahun 2006. Peraturan ini, yang bertujuan menjaga kerukunan umat beragama, justru sering disalahgunakan sebagai alasan untuk menghentikan kegiatan ibadah umat Kristen. Padahal, secara hierarki hukum, Pasal 29 UUD 1945 yang menjamin kebebasan beragama memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Namun, dalam praktiknya, banyak pihak yang menempatkan peraturan ini seolah-olah berada di atas konstitusi.
Pemerintah dan aparat penegak hukum harus memastikan bahwa hak beribadah terlindungi dan tidak dirusak oleh aturan yang disalahgunakan. Umat beragama, apa pun agamanya, berhak beribadah dengan aman dan damai, tanpa takut akan persekusi atau diskriminasi. Kegagalan untuk menjamin kebebasan beragama bukan hanya pelanggaran terhadap hukum, tetapi juga menciderai semangat persatuan dan keadilan yang dijunjung tinggi dalam Pancasila dan UUD 1945.
Dalam tatanan hukum Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menempati posisi tertinggi. Namun, ironisnya, ketentuan fundamental terkait kebebasan beragama yang diatur dalam Pasal 29 UUD 1945 kerap kali terpinggirkan oleh regulasi yang lebih rendah, seperti Peraturan Bersama Menteri (PBM) No. 8 dan 9 Tahun 2006. Pasal tersebut secara tegas menyatakan bahwa negara berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa dan menjamin kebebasan setiap warga untuk beribadah menurut agama dan keyakinannya. Di sisi lain, PBM ini mengatur tata cara pendirian rumah ibadah, yang meskipun memiliki niat baik untuk menjaga kerukunan, sering kali disalahgunakan.
Hierarki Hukum yang Terbalik
Secara prinsip, UUD 1945 harus berada di atas segala bentuk regulasi lain. Namun, praktik di lapangan menunjukkan sebaliknya. PBM yang lebih rendah kedudukannya sering digunakan untuk membatasi hak konstitusional beribadah. Beberapa kelompok intoleran kerap memanfaatkan aturan ini sebagai tameng legal untuk menghalangi pendirian rumah ibadah atau melarang kegiatan keagamaan, meski seharusnya hak beribadah dilindungi sepenuhnya oleh konstitusi.
Syarat dukungan masyarakat dalam PBM sering dijadikan alasan oleh kelompok tertentu untuk menolak pendirian gereja atau bahkan menghentikan ibadah di tempat-tempat tertutup, seperti rumah pribadi. Dalam hal ini, aturan teknis yang seharusnya berfungsi sebagai alat untuk mengelola kehidupan beragama justru berbalik menjadi senjata untuk menekan kelompok minoritas.
Intoleransi dan Kelemahan Penegakan Hukum
Intoleransi yang terjadi tidak lepas dari lemahnya penegakan hukum. Aparat, baik di tingkat lokal maupun nasional, sering kali enggan bertindak tegas terhadap kelompok yang melanggar hak kebebasan beragama. Ketidakmampuan ini mungkin disebabkan oleh tekanan dari kelompok mayoritas atau kekhawatiran memicu konflik lebih besar. Akibatnya, banyak kasus di mana ibadah umat Kristen atau kelompok agama minoritas lain dihentikan oleh massa intoleran tanpa tindakan hukum yang berarti dari pihak berwenang.
Misalnya, ketika terjadi pelarangan ibadah di rumah pribadi dengan alasan belum memiliki izin, padahal berdasarkan hukum, ibadah di rumah pribadi seharusnya tidak memerlukan izin formal. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan PBM cenderung menjadi alat pembatasan kebebasan beragama, bukan pengatur kerukunan.
Inkonsistensi dalam Implementasi dan Efek Polarisasi
Di berbagai wilayah Indonesia, penerapan PBM sering kali tidak konsisten. Di satu daerah, pendirian rumah ibadah untuk umat minoritas menjadi sangat sulit, sementara di daerah lain, izin bisa dikeluarkan dengan lebih mudah. Situasi ini memperlihatkan adanya inkonsistensi dalam penerapan aturan yang bergantung pada dinamika sosial-politik setempat. Polarisasi agama dan politik yang kuat di beberapa daerah juga memperparah situasi ini, karena aparat keamanan sering kali enggan bertindak tegas terhadap kelompok yang memiliki basis massa besar.
Solusi: Mengutamakan Konstitusi dan Penegakan Hukum yang Adil
Untuk mengatasi masalah ini, pertama-tama diperlukan penegasan kembali bahwa konstitusi, khususnya Pasal 29 UUD 1945, harus menjadi pedoman utama dalam setiap kebijakan yang berkaitan dengan kebebasan beragama. Peraturan teknis seperti PBM seharusnya diperlakukan sebagai pelengkap, bukan alat yang dapat membatasi hak-hak konstitusional.
Selain itu, aparat hukum harus lebih tegas dalam menegakkan hukum terkait kebebasan beragama. Perlindungan terhadap hak beribadah, terlepas dari mayoritas atau minoritasnya suatu kelompok, harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Hanya dengan penegakan hukum yang adil dan konsisten, kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi dapat terwujud dalam kehidupan nyata.
Penyalahgunaan Peraturan Bersama Menteri untuk menghalangi kebebasan beragama merupakan bentuk nyata dari ketidakadilan hukum di Indonesia. Hak untuk beribadah adalah hak asasi yang tidak boleh dikompromikan oleh aturan teknis atau kepentingan kelompok tertentu. Pemerintah dan aparat hukum harus segera mengambil langkah nyata untuk memastikan bahwa hierarki hukum ditegakkan, dan kebebasan beragama dilindungi sepenuhnya sesuai dengan konstitusi.
Siapa yang Berwenang Melarang atau Menghentikan Ibadah?
Pertanyaan mengenai siapa yang berwenang melarang atau menghentikan ibadah merupakan isu yang memerlukan pemahaman hukum dan etika yang mendalam. Ibadah, sebagai manifestasi dari kebebasan beragama, diatur dan dijamin oleh konstitusi. Namun, dalam pelaksanaannya, otoritas tertentu memiliki kewenangan untuk mengatur, bahkan menghentikan kegiatan ibadah jika dianggap melanggar ketentuan yang berlaku. Pertanyaannya adalah: siapa yang memegang otoritas tersebut, dan sejauh mana wewenang mereka?
Pemerintah Daerah
Pemerintah daerah, khususnya melalui Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), berperan penting dalam menjaga ketertiban di wilayah mereka. Kegiatan ibadah yang tidak sesuai dengan peraturan tata ruang, seperti penggunaan ruang publik tanpa izin atau pembangunan rumah ibadah tanpa perizinan yang sah, dapat ditertibkan oleh pemerintah daerah. Selain itu, pemerintah daerah memiliki tanggung jawab untuk menjaga harmonisasi antarwarga. Ketika aktivitas keagamaan memicu ketegangan sosial atau konflik, pemerintah daerah harus berperan sebagai penengah demi menjaga stabilitas sosial.
Kepolisian
Kepolisian memiliki peran yang tak kalah penting dalam mengatur kegiatan ibadah, terutama yang berpotensi menimbulkan ancaman terhadap ketertiban umum. Ibadah yang memicu kerusuhan, mengganggu ketertiban, atau bahkan menimbulkan konflik antar kelompok, dapat dihentikan oleh kepolisian. Namun, perlu ditekankan bahwa tindakan ini bukan berarti kepolisian melarang ibadah itu sendiri, melainkan menjaga agar kegiatan tersebut tidak menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat secara luas. Polisi juga sering dilibatkan dalam mengamankan acara keagamaan berskala besar yang diadakan di ruang publik, memastikan keselamatan dan keamanan semua pihak yang terlibat.
Satpol PP
Satuan Polisi Pamong Praja memiliki tugas utama menjaga ketertiban umum, dan hal ini termasuk kegiatan ibadah. Ibadah di ruang publik tanpa izin atau pendirian tempat ibadah tanpa perizinan yang sah merupakan pelanggaran yang dapat ditindak oleh Satpol PP. Fungsi mereka lebih kepada menegakkan aturan daerah dan memastikan bahwa kegiatan keagamaan tidak bertentangan dengan regulasi yang ada. Kendati demikian, tindakan Satpol PP seringkali dipersepsikan sebagai tindakan represif, padahal mereka hanya menjalankan fungsi penegakan aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah.
Kementerian Agama
Sebagai lembaga yang mengatur kegiatan keagamaan di Indonesia, Kementerian Agama memegang peran vital dalam mengawasi pelaksanaan ibadah. Mereka menetapkan aturan mengenai perizinan pendirian rumah ibadah dan memastikan bahwa kegiatan keagamaan dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum. Selain itu, kementerian ini juga dapat memberikan rekomendasi terkait perizinan pendirian tempat ibadah. Peran mereka bukan semata-mata sebagai pengatur, tetapi juga sebagai fasilitator untuk menjaga agar kebebasan beragama tetap terlindungi dalam kerangka hukum yang berlaku.
Dalam semua konteks ini, penting untuk memahami bahwa otoritas-otoritas tersebut bukanlah pihak yang "melarang" ibadah secara absolut. Mereka memiliki tanggung jawab untuk menjaga ketertiban, keamanan, dan harmoni sosial. Kebebasan beragama tetap diakui dan dilindungi, namun perlu ada keseimbangan antara hak individu untuk beribadah dan kepentingan umum yang lebih luas. Apakah tindakan ini berarti mereduksi kebebasan beragama? Atau justru menjadi alat untuk memastikan bahwa kebebasan tersebut berjalan dalam kerangka yang teratur dan tidak menimbulkan kekacauan?
Menyoal Kewenangan Ormas dalam Penghentian Kegiatan Ibadah
Mengapa organisasi masyarakat (Ormas) diperkenankan menghentikan kegiatan ibadah? Pertanyaan ini membawa kita pada diskusi yang lebih mendalam tentang batas kewenangan, hukum, dan jaminan kebebasan beragama di Indonesia. Beberapa kasus nyata di lapangan menunjukkan adanya tindakan dari Ormas yang secara sepihak menghentikan kebaktian gereja atau ibadah lain dengan alasan perizinan yang dianggap tidak sah atau karena ketidaksukaan terhadap kelompok agama tertentu. Fenomena ini memunculkan kekhawatiran tentang adanya pelanggaran terhadap kebebasan beribadah yang dijamin oleh konstitusi.
Ormas sebagai bagian dari masyarakat sipil tentu memiliki peran dalam mengawal nilai-nilai sosial dan keagamaan, namun perlu dipahami bahwa kewenangan mereka memiliki batasan yang jelas. Dalam banyak kasus, ketika Ormas mencoba membubarkan ibadah, mereka telah melampaui batas kewenangannya. Secara hukum, Ormas tidak memiliki otoritas untuk menegakkan peraturan terkait kegiatan keagamaan. Tindakan penegakan hukum, termasuk penghentian ibadah, hanya dapat dilakukan oleh aparat yang berwenang seperti kepolisian atau Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), yang memiliki landasan hukum yang sah untuk bertindak.
Selain itu, tindakan penghentian ibadah oleh Ormas sering kali didasari oleh perbedaan keyakinan atau interpretasi agama yang sempit, yang pada akhirnya menyebabkan ketidakadilan bagi kelompok agama minoritas. Peristiwa seperti ini mencoreng prinsip keadilan dan kebhinnekaan yang seharusnya menjadi landasan kuat dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia.
Lebih jauh, dalam konteks hukum, Ormas yang melanggar kewenangannya dengan menghentikan kegiatan ibadah dapat dijerat oleh undang-undang yang berlaku. Undang-Undang No. 17 Tahun 2013, yang diperbarui dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2017 tentang Ormas, secara tegas menyatakan bahwa Ormas yang melakukan tindakan melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum dapat dikenai sanksi administratif hingga pembubaran. Jika tindakan penghentian ibadah dilakukan dengan kekerasan, Ormas tersebut juga dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), seperti penganiayaan atau pengrusakan.
Dengan demikian, tidak ada alasan hukum yang membenarkan Ormas untuk menghentikan kegiatan ibadah, apapun alasannya. Jika ada masalah terkait izin atau pelanggaran peraturan, maka langkah yang tepat adalah melaporkan kepada pihak berwenang, bukan mengambil tindakan sendiri. Kewenangan Ormas tetap berada di ranah pengawalan sosial, bukan penegakan hukum. Adalah tanggung jawab pemerintah untuk menjamin kebebasan beragama dan beribadah bagi setiap warga negara tanpa adanya intimidasi atau intervensi sepihak. Dengan mengedepankan dialog dan penegakan hukum yang adil, kita dapat menjaga harmoni sosial dan kebebasan beragama yang menjadi ciri khas bangsa ini.
Dalam kehidupan bernegara yang berlandaskan hukum, kebebasan beragama bukanlah sebuah kemewahan, melainkan hak fundamental yang dijamin oleh konstitusi. Ketika sebuah gereja atau tempat ibadah lainnya terhalang oleh birokrasi atau penolakan selama bertahun-tahun, pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk turun tangan, menjamin hak-hak ini terlindungi, dan menciptakan ruang bagi warga untuk beribadah dengan aman dan layak. Ini adalah amanat yang termaktub dalam UUD 1945, khususnya Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2), yang menegaskan bahwa setiap individu berhak untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya.
Pemerintah, sebagai pelayan publik, harus memegang teguh tanggung jawab konstitusional ini. Tidak ada ruang bagi diskriminasi atau hambatan yang tidak beralasan terhadap suatu kelompok agama. Apabila penolakan terhadap pembangunan gereja terjadi karena konflik sosial atau ketidaksepakatan masyarakat sekitar, pemerintah harus segera mengambil peran sebagai mediator netral. Dialog antarumat beragama dan musyawarah dengan tokoh-tokoh masyarakat adalah langkah bijak yang tidak hanya meredakan ketegangan, tetapi juga membangun fondasi bagi toleransi yang lebih kuat di masa depan.
Tentu, proses penerbitan izin pendirian rumah ibadah tidak selalu mudah. Persyaratan yang diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 dan 9 Tahun 2006 harus dipenuhi, salah satunya adalah dukungan masyarakat setempat. Namun, di sinilah letak peran pemerintah yang adil. Bukan sekadar memantau dari kejauhan, tetapi aktif memfasilitasi, mengedukasi, dan membantu menyelesaikan kendala yang mungkin timbul. Sosialisasi yang efektif bisa menjadi kunci untuk memperoleh dukungan masyarakat, sementara pengawasan terhadap FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) harus dilakukan untuk memastikan proses berjalan tanpa diskriminasi.
Jika situasi terus berlarut-larut, solusi sementara harus ditawarkan. Pemerintah harus sigap mencarikan alternatif, entah dengan memfasilitasi jemaat untuk beribadah di tempat netral seperti balai pertemuan, atau menyiapkan lahan alternatif yang lebih disetujui oleh masyarakat sekitar. Kebutuhan untuk beribadah tidak boleh menjadi tawanan dari proses birokrasi yang berbelit-belit.
Lebih dari itu, pemerintah harus bersikap tegas terhadap segala bentuk intoleransi. Penolakan terhadap pendirian gereja yang didasari oleh diskriminasi agama adalah tindakan yang melanggar asas kesetaraan dan kebebasan beragama. Dalam hal ini, tindakan hukum harus diterapkan kepada pihak-pihak yang sengaja menghalangi atau mengintimidasi jemaat. Pemerintah tidak boleh ragu untuk menindak organisasi masyarakat (Ormas) yang bertindak di luar batas hukum dan melanggar hak-hak warga negara.
Evaluasi dan reformasi terhadap prosedur izin rumah ibadah juga sangat diperlukan. Jika sebuah proses perizinan memakan waktu bertahun-tahun tanpa kejelasan, itu adalah tanda bahwa sistem tersebut bermasalah. Prosedur yang tumpang tindih dan birokrasi yang lambat harus segera dibenahi agar tidak lagi menjadi penghalang bagi kebebasan beragama.
Pada akhirnya, pemerintah juga harus memastikan bahwa tempat ibadah yang sudah berdiri mendapat perlindungan penuh. Polisi dan aparat keamanan harus aktif menjaga keamanan dan ketertiban, khususnya dalam situasi di mana ketegangan agama dapat berujung pada kekerasan. Pemerintah yang bijak adalah pemerintah yang tidak hanya memastikan warga dapat beribadah, tetapi juga melindungi mereka dalam menjalankan ibadah dengan aman dan damai.
Pemerintah punya tanggung jawab besar di sini. Setiap tindakan atau ketidaktindakan mereka mencerminkan sejauh mana negara ini menghormati kebebasan beragama dan menjaga keadilan bagi seluruh rakyatnya.
Penutup
Pemerintah dan aparat keamanan memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga kebebasan beragama, namun sayangnya, dalam praktiknya, sering kali terjadi ketidakadilan dalam penyikapan terhadap pembangunan gereja dan hak beribadah umat Kristen. Isu ini semakin nyata ketika organisasi masyarakat (ormas) bertindak sewenang-wenang dengan melakukan gangguan, persekusi, bahkan pembongkaran tempat ibadah, sementara pemerintah tampak pasif atau lamban dalam memberikan perlindungan yang semestinya. Seharusnya, tidak ada alasan yang sah untuk melarang pembangunan gereja atau menghentikan kegiatan ibadah, apalagi jika secara administratif persyaratan telah dipenuhi. Hak untuk beribadah merupakan hak konstitusional yang dijamin oleh Pasal 29 UUD 1945, sebuah hak yang harus ditegakkan di atas alasan administratif yang sering kali dipergunakan secara tidak proporsional.
Lebih jauh lagi, penundaan izin pembangunan tidak boleh menjadi alasan untuk menghentikan ibadah. Selama kegiatan ibadah dilakukan dengan tertib dan tidak mengancam ketertiban umum, apalagi jika dilakukan di tempat tertutup seperti rumah pribadi atau bangunan sementara, pemerintah seharusnya mendukung, bukan menghalangi. Prinsip dasar kebebasan beragama mencakup hak untuk beribadah di manapun, kapanpun, tanpa hambatan birokrasi yang berlebihan.
Tugas pemerintah tidak berhenti pada penerbitan izin semata, melainkan juga memastikan bahwa warga negara dapat menjalankan agamanya dengan aman dan damai, tanpa ancaman dari pihak-pihak yang berusaha memecah belah kerukunan. Sudah saatnya pemerintah mengambil sikap tegas, baik dalam mempermudah perizinan pembangunan rumah ibadah maupun memberikan perlindungan yang nyata kepada umat beragama. Dengan tindakan yang adil dan konsisten, kebebasan beragama dapat terjamin, kerukunan antarumat dapat dipelihara, dan setiap warga negara—tanpa memandang agama—bisa menjalankan ibadah mereka dengan penuh kedamaian. @opnsjj
Komentar