Meningkatnya Polarisasi Agama di Era Digital: Tantangan Bagi Kohesi Sosial dan Dialog Antaragama
Oleh: Saur Turnip
ASKARA - Fenomena meningkatnya kebencian terhadap perbedaan keyakinan melalui perdebatan teologis di media sosial menjadi tantangan serius bagi negara yang plural. Ujaran kebencian berbasis agama dapat merusak kohesi sosial dan memperburuk polarisasi dalam masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan komprehensif, mulai dari penegakan hukum yang ketat, edukasi yang inklusif, hingga penguatan dialog antaragama untuk menjaga harmoni dan persatuan dalam keberagaman.
Isu tentang kebencian terhadap perbedaan keyakinan, terutama melalui perdebatan teologis di media sosial, menjadi tantangan besar bagi negara yang beragam suku, agama, dan ras. Fenomena ini berpotensi mengancam kohesi sosial dan harmoni antar kelompok dalam masyarakat plural. Agama sering kali menjadi isu sensitif karena dianggap sakral dan fundamental bagi kehidupan individu dan kelompok.
Faktor Penyebab Kebencian Berbasis Agama
1. Agama Sebagai Identitas Pribadi dan Kolektif
Keterikatan Emosional: Bagi banyak orang, agama bukan sekadar keyakinan, tetapi juga bagian dari identitas pribadi dan kolektif. Oleh karena itu, perbedaan atau kritik terhadap agama dapat memicu respons emosional yang intens.
Solidaritas Kelompok: Dalam masyarakat beragam, agama menjadi dasar solidaritas kelompok. Ketika satu kelompok merasa diserang, respons defensif muncul untuk melindungi identitas dan nilai-nilai kelompok, memicu konflik antaragama.
2. Media Sosial Sebagai Platform Penyebaran
Kemudahan Akses dan Anonimitas: Media sosial memungkinkan siapa saja untuk mengekspresikan pandangan mereka tanpa filter. Anonimitas di media sosial sering kali mendorong orang untuk berbicara lebih keras atau kasar daripada yang mungkin dilakukan dalam percakapan langsung.
Algoritma dan Polarisasi: Algoritma media sosial memperkuat konten yang kontroversial, memicu lebih banyak interaksi, memperburuk polarisasi, dan membuat perdebatan teologis berubah menjadi pertengkaran yang memicu kebencian dan intoleransi.
3. Minimnya Moderasi dalam Diskusi Agama
Ketiadaan Dialog Konstruktif: Debat agama di media sosial sering tidak terarah pada pencarian pemahaman bersama, tetapi untuk memenangkan argumen. Tanpa moderasi atau panduan yang jelas, debat ini sering kali berujung pada serangan dan memperkuat stereotip negatif antaragama.
Kurangnya Pemahaman Antaragama: Banyak dari mereka yang terlibat dalam perdebatan teologis sering kurang memahami keyakinan agama lain dengan benar, yang memperburuk misinformasi dan meningkatkan prasangka.
4. Kebebasan Berpendapat vs Ujaran Kebencian
Kebebasan Berpendapat: Kebebasan berpendapat di era digital sering disalahartikan sebagai kebebasan untuk menghina atau merendahkan agama atau keyakinan orang lain. Batas antara kebebasan berpendapat dan ujaran kebencian menjadi sangat tipis dalam konteks agama yang sensitif.
Perbedaan Teologi dan Interpretasi: Perbedaan teologi antara agama-agama yang berbeda menjadi salah satu pemicu polemik. Diskusi teologis yang mempertanyakan kebenaran agama lain sering kali berujung pada konflik daripada dialog yang membangun.
5. Dampak terhadap Kohesi Sosial
Polarisasi Sosial dan Politik: Ujaran kebencian berbasis agama memperburuk polarisasi masyarakat. Polarisasi ini tidak hanya berdampak pada hubungan antaragama, tetapi juga pada stabilitas politik dan sosial.
Stigmatisasi Kelompok Minoritas: Kelompok-kelompok agama minoritas sering kali menjadi target ujaran kebencian, yang dapat menyebabkan marginalisasi, diskriminasi, dan kekerasan terhadap mereka, memperparah ketegangan antaragama.
Kurangnya Pendidikan Toleransi Beragama: Masyarakat sering kurang dilengkapi dengan pengetahuan tentang pentingnya kerukunan dan toleransi dalam konteks keberagaman, yang berujung pada ketidakpahaman dan kebencian terhadap perbedaan.
Komentar