Peningkatan Kualitas Pendidikan Tinggi di Indonesia dengan Kolaborasi Antar Entitas Pendidikan Tinggi
ASKARA - Ketua MPR RI ke-16 Bambang Soesatyo mendukung serta mengapresiasi penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara Universitas Wahid Hasyim Semarang, dengan Universitas Perwira Purbalingga, dan Fakultas Hukum, Ilmu Sosial serta Ilmu Politik Universitas Terbuka. Terjalinnya kerjasama antara Universitas Wahid Hasyim Semarang, Universitas Perwira Purbalingga, dan Fakultas Hukum, Ilmu Sosial serta Ilmu Politik Universitas Terbuka, diharapkan mampu meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia.
"Dewasa ini kerjasama dengan membangun sinergi dan kolaborasi antar entitas pendidikan tinggi telah menjadi sebuah keniscayaan, di tengah semakin kompleksnya tantangan dalam dunia pendidikan tinggi. Saya berharap penandatanganan MoU pada hari ini tidak hanya bersifat simbolis, namun menjadi titik tumpu dan momentum penting bagi ketiga universitas tersebut untuk bersama meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia," ujar Bamsoet usai menyaksikan secara daring penandatanganan MoU antara Universitas Wahid Hasyim Semarang, dengan Universitas Perwira Purbalingga, dan Fakultas Hukum, Ilmu Sosial serta Ilmu Politik Universitas Terbuka di Universitas Wahid Hasyim Semarang, Senin (26/8/24).
Hadir antara lain Anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar Mujib Rohmat, Anggota DPD RI Abdul Kholik, Deputi Bidang Pengkajian dan Pemasyarakatan Konstitusi MPR RI Hentoro Cahyono, Rektor Universitas Wahid Hasyim Mudzakir Ali, Rektor Universitas Perwira Purbalingga Eming Sudiana, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Wahid Hasyim Agus Riyanto serta Dekan Fakultas Hukum, Ilmu Sosial, dan Ilmu Politik Universitas Terbuka Meita Istianda.
Ketua DPR RI ke-20 dan Ketua Komisi III DPR RI ke-7 bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini ini menjelaskan, saat ini masih ada beberapa tantangan yang mengemuka di dunia pendidikan tanah air. Antara lain masih rendahnya angka partisipasi kasar lulusan SMA yang melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi, dimana masih berada pada kisaran 30 hingga 40 persen. Akses pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, seharusnya dapat menjangkau seluas-luasnya kebutuhan masyarakat pencari ilmu. Karena, “mencerdaskan kehidupan bangsa” merupakan salah satu tujuan bernegara, sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi.
"Tantangan kedua adalah kesenjangan relevansi dan kompetensi lulusan perguruan tinggi dalam menjawab kebutuhan pasar tenaga kerja. Ketimpangan antara implementasi sistem pendidikan dengan realitas tuntutan dunia kerja harus diselaraskan, sekurang-kurangnya melalui tiga cara, yaitu pembenahan kurikulum dan metode pembelajaran, peningkatan kualitas tenaga pendidik, dan penyediaan fasilitas pendidikan yang memadai sesuai kebutuhan zaman," kata Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI (Ormas Pendiri Partai Golkar) dan Kepala Badan Polhukam KADIN Indonesia ini memaparkan, persoalan lain yang dihadapi perguruan tinggi di Indonesia terletak pada aspek kualitas. Kualitas pendidikan tinggi di Indonesia belum mencapai pada taraf standar yang diharapkan. Ini tercermin dari fakta, bahwa dari 100 kampus terbaik di dunia versi World University Rankings, hanya ada lima negara Asia yang tercantum di dalamnya, yaitu China, Singapura, Jepang, Hong Kong, dan Korea Selatan. Jika dibandingkan saat ini, kampus yang dianggap terbaik di Indonesia, 'hanya' menduduki urutan ke-537 di dunia.
"Berbagai gambaran di atas mengisyaratkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan. Peningkatan kualitas pendidikan tinggi ini akan menjadi salah satu pendongkrak parameter untuk menggenjot nilai Indeks Pembangunan Manusia dan Indeks Inovasi Global Indonesia, yang saat ini masih lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara tetangga di ASEAN," pungkas Bamsoet.
Komentar