Senin, 07 Oktober 2024 | 11:24
NEWS

Cegah Perundungan, DPR Dorong Pendidikan di Bawah K/L Gunakan Standar Sisdiknas

Cegah Perundungan, DPR Dorong Pendidikan di Bawah K/L Gunakan Standar Sisdiknas
Yusuf Macan Effendi

ASKARA - Komisi X DPR RI mendorong Kementerian/Lembaga (K/L) yang menyelenggarakan pendidikan internal untuk menggunakan standar Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Komisi X DPR RI menilai, standar ini bisa mencegah perundungan (bullying), seperti yang terjadi pada Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Diponegoro (Undip).

"Tindakan bullying juga kekerasan kerap kali terjadi, itulah kenapa kami sering mengimbau bahwa K/L perlu menyelenggarakan pendidikan di bawah sistem UU Sisdiknas," kata Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi dikutip Rabu (21/8).

Politisi Fraksi Partai Demokrat itu menilai, tidak diterapkannya Sisdiknas di lingkungan sekolah naungan Kementerian/Lembaga yang menyelenggarakan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) membuat sistem pengawasan terhadap program pendidikan tidak maksimal dilaksanakan.

"Kelemahan dari K/L lainnya ada pada fungsi pengawasan. Nah, sementara kita tahu kalau di Kemendikbud dengan Sisdiknas itu banyak pemantauan dari mulai orang tua, guru, satgas antibullying. Ada permendikbudnya," tegurnya.

Sebab itu, Komisi X DPR tidak bisa mengawasi kementerian/lembaga yang menyelenggarakan pendidian internal. Sehingga, instansi-instansi tersebut tidak mengikuti standar Sisdiknas yang pusatnya bermuara pada Kemendikbud sebagai mitra Komisi X.

Perlu diketahui, UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas sedang digodok melalui revisi undang-undag (RUU) di Komisi X DPR mengatur secara detail tentang pencegahan perundungan di lingkungan pendidikan. Oleh karenanya, Dede menilai penerapan ini penting agar K/L mengikuti standar Sisdiknas saat menyelenggarakan pendidikan.

 

"Kalau di Kementerian/Lembaga sepertinya sudah sering terjadi berulang tanpa ada fungsi pengawasan yang jelas. Maka dari itu kita dorong untuk menerapkan Sisdiknas agar lebih mudah dalam pengawasannya," kata Dede.

Legislator dapil Jawa Barat II ini menilai, penerapan Sisdiknas dapat mengurangi aksi-aksi perundungan di lingkungan pendidikan karena ada aturan yang terstruktur. Dengan demikian, kata Dede, peristiwa perundungan yang diduga dialami almarhumah dr. Aulia Risma Lestari peserta PPDS Universitas Diponegoro tidak terulang kembali.

“Apalagi ternyata masalah bullying di PPDS ini sudah mengakar dan menjadi budaya. Sisdiknas bisa menjadi acuan agar program pendidikan yang diselenggarakan sendiri oleh kementerian/lembaga berjalan dengan pengawasan penuh. Tentunya tak hanya pada program spesialis dokter ya, tapi semua,” paparnya

“Kalau kayak sekarang kan jalan sendiri, apa yang terjadi dalam program pendidikannya hanya diketahui mereka saja. Tahu-tahu ramai saat ada kasus kaya sekarang, jadi pencegahan dan pemantauannya kurang,” sambung Dede.

Komisi X DPR yang membidangi urusan pendidikan berharap agar Kementerian/ Lembaga yang menyelenggarakan pendidikan mengikuti Sistem Pendidikan Nasional. Meskipun tindakan bullying dapat terjadi di mana saja dan kapan saja, menurut Dede, setidaknya ada payung hukum yang jelas dalam penanganan dan pencegahannya di ranah pendidikan.

"Harapan kami semua K/L lain yang menyelenggarakan pendidikan harus mengikuti Sisdiknas agar pengawasan dan controling-nya tetap ada," kata mantan Wagub Jawa Barat tersebut.

"Maki kami selalu mendorong agar K/L lain itu menggunakan standar pendidikan yang digunakan Kemendikbud yaitu Sisdiknas ini, termasuk standart pengawasannya," sambung Dede.

Seperti diketahui, kasus perundungan marak terjadi di lingkungan pendidikan kedinasan yang diselenggarakan sendiri oleh kementerian/lembaga. Tak hanya pada PPDS, tapi juga program pendidikan khusus lainnya.

Misalnya yang baru-baru ini terjadi adalah kasus di STIP (Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran) yang berada dalam naungan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) di mana seorang siswanya bernama Putu Satria Ananta Rustika tewas akibat tindak kekerasan dari seniornya pada bulan Mei 2024 lalu.

Kasus kekerasan berujung kematian juga pernah beberapa kali terjadi di IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri), salah satunya kasus kekerasan terhadap Calon Praja Tingkat 1 I asal Lampung yang meninggal dunia ketika mengikuti pendidikan dasar (diksar) di tahun 2017. IPDN berada di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Dede pun mengecam tindakan kekerasan di lingkungan pendidikan, seperti pada program residensi dokter spesialis yang kembali menyita perhatian publik setelah dr. Aulia ditemukan tewas diduga bunuh diri akibat tak kuat menahan perundungan dari seniornya.

"Bullying tidak boleh terjadi, kita tidak bisa pungkiri ini bisa terjadi bukan hanya di sekolah tetapi juga di kantor dan di mana saja. Efek dari bullying bisa berdampak dalam waktu yang panjang, tidak hanya hari ini melainkan juga pada masa depan korban," terangnya.

Selain kasus dr. Aulia, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan menerima ratusan laporan terkait bullying senior ke junior pada program PPDS hingga tak sedikit yang mengaku ingin bunuh diri akibat aksi-aksi perundungan itu. Di media sosial juga ramai kisah-kisah yang membongkar kasus perundungan yang ada di PPDS.
 
Beberapa di antaranya seperti junior di PPDS yang diwajibkan menyediakan makanan kepada senior dalam waktu-waktu dan kondisi yang tidak wajar. Lalu ada juga hukuman fisik hingga ada 'jatah istri residen junior’ kepada senior.

Peserta PPDS atau residen spesialis pun diketahui harus mengakomodir biaya pesta, perjalanan dengan pesawat, hingga hotel bagi senior dengan nilai biaya yang sangat besar sampai puluhan hingga seratusan juta. Bahkan ada peserta PPDS yang harus rela merangkap menjadi ‘tukang parkir’ dan ‘sopir’ senior untuk antar jemput.

Media sosial juga dihebohkan terkait adanya temuan buku pedoman bullying. Pada buku tersebut mencantumkan sejumlah aturan tata krama junior, serta tugas-tugas apa saja yang tidak boleh dilewatkan selama PPDS berlangsung. Mayoritas laporan pun rata-rata terkait kewajiban junior yang harus memenuhi kebutuhan senior, termasuk untuk hiburan sampai penyewaan mobil.

Menurut Dede, kasus-kasus seperti itu sudah masuk ke ranah hukum dan pelaku bisa dijerat dengan ancaman pidana. “Kalau sudah seperti itu kan artinya adanya pemerasan di situ, pelecehan, dan penyalahgunaan wewenang. Sudah masuk pidana dan harus ditindak,” tegasnya.

Dede mengatakan, salah satu hal yang bisa menghilangkan bullying adalah dengan menaruh respect antara senior dan junior dalam batas yang wajar. Untuk mengaturnya, diperlukan aturan dan pengawasan yang tegas.

“Inilah pentingnya fungsi pengawasan dan aturan yang jelas. Jadi jangan setelah ramai ada kasus baru diatasi, tapi perlu ada pencegahan yang bisa dilakukan melalui Sisdiknas ini,” tandasnya.

Komentar