Sabtu, 18 Mei 2024 | 20:31
OPINI

Mana yang Harus Didahulukan? Hati Nurani atau Kebijakan Terhadap Pengungsi Rohingya?

Mana yang Harus Didahulukan? Hati Nurani atau Kebijakan Terhadap Pengungsi Rohingya?
Pengungsi Rohingya (Dok Pixabay)

Oleh : Razita Larasati *

ASKARA - Di Indonesia, telah terjadi gelombang kedatangan pengungsi Rohingya yang datang dengan perahu nya. Hal ini jelas sangat menyita perhatian banyak khalayak khususnya warga Aceh. Terdapat penolakan terhadap para pengungsi Rohingya oleh warga Aceh, hal itu tentunya menimbulkan banyak spekulasi baik pro maupun kontra. Pasal nya kedatangan pengungsi ini termasuk yang terbesar sejak mereka menjadi korban kekerasan militer oleh Myanmar pada tahun 2017 silam.

Selama ini, warga Aceh dikenal "baik dan ramah" terhadap para pengungsi. Ketika negara lain menolak imigran Rohingya, warga Aceh justru mau menerima mereka. Solidaritas warga Aceh pun tak terlepas dari pengalaman pahit mereka saat diguncang bencana dan konflik berkepanjangan saat adanya Tsunami pada tahun 2004.

Pada dasarnya kita telah mengetahui bahwa para pengungsi Rohingya ini merupakan salah satu etnis korban dari genosida yang dilakukan oleh militer Myanmar yang berpuncak pada tahun 2017. Rohingya sendiri merupakan etnis dengan minoritas muslim di Myanmar yang mendiami wilayah Rakhine.

Menurut badan pengungsi PBB, sumber masalah dari masyarakat Rohingya adalah karena mereka tidak diakui sebagai etnis resmi di Myanmar dan juga status kewarganegaraan yang telah ditolak sejak 1982, sehingga mereka menjadi etnis tanpa kewarganegaraan terbesar di dunia. Puncak kekacauan di dalam etnis ini adalah ketika militer dan pemerintahan Myanmar melakukan pembantaian dan pengusiran paksa pada tahun 2017.

Kita harus berkaca dan belajar pada kasus penolakan imigran Rohingya dari negara Thailand dan Malaysia. Bukan hanya Aceh yang melakukan penolakan atas kehadiran para pengungsi Rohingya. Baik negara Thailand dan Malaysia merasa jera dengan kelakuan beberapa pengungsi yang tidak menghormati aturan dari negara tuan rumah dan sering menimbulkan sifat kriminal yang merugikan warga setempat. Hal ini menjadikan dua negara ini sudah menutup jalan untuk pengungsi Rohingya masuk ke negara mereka.

Berbagai Sikap Mulai Timbul Sejalan Dengan Hadirnya Para Pengungsi Rohingya

Penolakan warga Aceh belakangan ini tak akan terjadi bila pemerintah sigap menangani para pengungsi Rohingya. Masalahnya, pemerintah malah lepas tangan. Ketika rombongan Rohingya terdampar di Kabupaten Pidie, Aceh, pada November 2023. Banyak kekhawatiran yang hadir dari para masyarakat bukan hanya warga Aceh tetapi juga masyarakat Indonesia. Kekhawatiran jika para pengungsi Rohingya ini dapat mengancam kedaulatan NKRI. Ditambah dengan temuan terbaru bahwa beberapa pengungsi terlibat pada sindikat tindak pidana perdagangan orang sebanyak 36 imigran Rohingya di Aceh Timur dengan membayar sekitar Rp 15,5 juta untuk dapat diselundupkan ke Indonesia. Dengan adanya temuan kasus ini maka semakin memperkuat bahwa mereka dengan sengaja datang ke Indonesia untuk menetap.

Indonesia memang terikat prinsip non refoulement, yang melarang suatu negara mengembalikan pengungsi ke negara asal atau melepas mereka dalam kondisi yang bisa membahayakan keselamatan.

Namun yang jangan sampai terlupakan adalah, bahwa negara Indonesia sebetulnya memiliki Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Peraturan itu menyebutkan bahwa penanganan pengungsi dilakukan lewat kerjasama pemerintah pusat, bersama Komisariat Tinggi Urusan Pengungsi PBB dan organisasi internasional. Namun Peraturan Presiden Nomor 125 itu tak berjalan dengan efektif.

Langkah Pasti Dalam Menangani Para Pengungsi Rohingya

Pemerintah tak boleh tinggal diam berhadapan dengan ini semua. Penduduk lokal Aceh berinisiatif membantu pengungsi. Namun bagaimanapun juga kemampuan penduduk lokal masih sangat terbatas. Lama-lama cadangan kesabaran mereka pun bisa tandas.

Melihat fakta lain yaitu garis kemiskinan di Indonesia masih di atas 70%, dengan masih banyak angka penduduk belum produktif dan sudah tidak produktif lagi yang harus terus berjuang untuk dapat membeli makanan dan menjadi tulang punggung untuk menyambung hidup keluarga mereka.

Pada dasarnya kita semua pasti punya rasa kemanusiaan. Namun menolong pengungsi bukan soal ada-tidaknya aturan atau anggaran. Karena itu, pemerintah Indonesia seharusnya lebih gigih melakukan upaya diplomasi. Bersama negara lain yang peduli terhadap hak asasi, Indonesia perlu lebih gencar menekan Myanmar agar mengakui eksistensi Rohingya.

Bersama badan urusan pengungsi PBB dan lembaga lain, Indonesia hendaknya giat mengajak diskusi dan bekerjasama negara tujuan pengungsi agar mau menerima orang Rohingya.

Hanya Dengan begitu manusia-manusia perahu yang terbuang itu bisa diselamatkan.
 

** Mahasiswa Program Studi Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi, IPB University

 

Komentar