Minggu, 05 Mei 2024 | 23:25
OPINI

Ekonomi Indonesia Dikuasai Etnis China: Perlukah Dikoreksi?

Ekonomi Indonesia Dikuasai Etnis China: Perlukah Dikoreksi?
Dr. Rahmat Mulyana

Oleh: Dr. Rahmat Mulyana, Dosen Ekonomi dan Keuangan Syariah IAI Tazkia 

Di masa lalu negara mendiamkan persoalan ini seperti api dalam sekam, hingga suatu saat meletuskan kerusuhan. Kita bisa memilih mendiskusikannya dan mencari solusi konkrit atau lari dari masalah sampai suatu saat meletus lagi.

ASKARA - Indonesia, sebagai negara yang kaya akan keragaman budaya dan etnis, menghadapi tantangan dalam menjaga keseimbangan ekonomi dan keadilan sosial antara berbagai kelompok masyarakatnya. Salah satu isu yang sering diperbincangkan adalah dominasi ekonomi oleh etnis Tionghoa atau China di Indonesia. Mantan Wakil Presiden Indonesia, Jusuf Kalla (JK), dua hari lalu (13/5) dalam pernyataannya menyebutkan bahwa lebih dari 50% ekonomi Indonesia dikuasai oleh penduduk etnis China1. Pernyataan ini juga berlaku di negara-negara tetangga Indonesia. Pernyataan tersebut menimbulkan pertanyaan penting: apakah perlu adanya koreksi dalam hal ini?

Jusuf Kalla juga mengutip contoh dari negara tetangga, yaitu Malaysia, di mana 30% dari total penduduk Malaysia adalah etnis Tionghoa dan mereka menguasai 60% ekonomi negara tersebut. Beliau menyatakan, "Malaysia juga. Tapi Malaysia memang penduduk Tionghoa itu 30%. Jadi kalau ekonomi Malaysia 60% dikuasai Tionghoa, itu hanya 1 banding dua." Jusuf Kalla juga mengungkapkan bahwa masalah utama di Indonesia adalah minimnya jumlah warga yang menjadi pengusaha. Beliau menjelaskan, "Tentu (etnis Tionghoa) sahabat-sahabat kita, penting kerjanya bayar pajak, dia pekerjakan orang. Tapi tantangan terbesarnya ada di kita. Mereka tidak salah yang kurang kita." Beliau menambahkan bahwa tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia saat ini adalah kewirausahaan. Tidak hanya sebatas pengetahuan, tetapi juga diperlukan semangat kewirausahaan. Beliau menyatakan, "Karena itu tantangan kita yang terbesar sebenarnya pada dewasa ini adalah entrepreneurship. Bukan hanya ilmu saja. Semua di sini perlu memiliki semangat kewirausahaan."

Untuk memahami konteks isu ini, perlu melihat beberapa faktor yang berkontribusi pada dominasi ekonomi oleh etnis Tionghoa di Indonesia2. Ada faktor eksternal dari sejarah kita dalam peran etnis Tionghoa sebagai perantara perdagangan yang didisain penjajah Belanda dalam struktur sosial yang jelas tercatat dalam produk hukum yang mendiskriminasi dengan membagi kelompok asing, non pribumi dan pribumi dimana peran pribumi adalah yang paling dipinggirkan. Dalam proses penjajahan Belanda memperkenalkan sistem tanam paksa di Indonesia pada abad ke-19. Sistem ini memaksa petani untuk menanam komoditas tertentu seperti kopi dan tebu. Etnis Cina kemudian terlibat dalam perekonomian Indonesia sebagai perantara antara petani dan pemerintah kolonial Belanda. Mereka membeli hasil panen dari petani dan menjualnya ke pemerintah kolonial Belanda3 sambil berperan sebagai pemungut pajak natura bagi Belanda dalam perdagangan komoditi tersebut. Setelah Indonesia merdeka sampai saat ini, mayoritas sektor ekonomi di tanah air masih dikelola etnis Cina. Tentu saja ada faktor internal dari kaum pribumi yang “kurang tekun” menjadi wirausahawan. Dalam konteks ini pernyataan JK di atas bahwa masalahnya ada di kaum pribumi sendiri yang harus mengejar etos kerja dan pengasuhan yang mendorong pengambilan keputusan karir yang lebih berisiko. Untuk itu rincian solusinya akan di bahas di bagian akhir tulisan ini.

Sebagai contoh adalah Oei Tiong Ham, seorang pengusaha kelahiran Semarang yang dikenal sebagai raja gula di Hindia Belanda. Pada puncak kejayaannya sekitar dekade 1920-an, Oei Tiong Ham dijuluki sebagai Tuan 200 Juta Gulden, karena menjadi pengusaha pertama yang kekayaannya menembus angka 200 juta gulden. Oei Tiong Ham memulai bisnisnya dengan menjual gula dan kemudian memperluas bisnisnya ke berbagai sektor seperti perkebunan tebu, perbankan, dan transportasi. Ia juga dikenal sebagai juragan opium terkaya di Asia Tenggara pada masanya³. Jejak kekayaannya masih ada sampai saat ini berupa asset usaha yang diambil alih menjadi PT Rajawali Nusantara Indonesia (persero) serta sebuah istana yang masih berdiri megah di kota Semarang.

Kondisi tersebut bukan tanpa reaksi. Haji Samanhudi adalah pendiri Sarekat Dagang Islam (SDI) pada 16 Oktober 1905. Tujuan didirikannya organisasi ini adalah untuk menggalang kerja sama antara pedagang Islam demi memajukan kesejahteraan pedagang Islam pribumi. Haji Samanhudi sangat peduli dengan keadaan masyarakat pribumi khususnya para pedagang. Usaha-usaha yang dilakukan H. Samanhudi ialah mendirikan Sarekat Dagang Islam yang bertujuan mengupas monopoli Belanda dari pedagang Cina, menghidupkan kegiatan ekonomi pedagang Islam dan mengembangkan jiwa dagang4.

Dalam sejarah harus kita akui dengan pahit pernah terjadi beberapa kejadian yang menciptakan kerusuhan dan kebencian terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. Puncaknya adalah kerusuhan tahun 1998 dan kasus Ahok. Kerusuhan tahun 1998 secara luas dikaitkan dengan ketidakpuasan terhadap ketimpangan ekonomi, di mana etnis Tionghoa dianggap mendominasi sektor ekonomi di Indonesia. Kasus Ahok juga memunculkan ketegangan dan sentimen rasial di masyarakat. Kejadian-kejadian ini harus diperhatikan sebagai bagian dari sejarah dan pengalaman yang mempengaruhi persepsi masyarakat. Penelitian Eunike Mutiara Himawan dari The University of Queensland, Australia, mengenai persepsi warga negara Indonesia terhadap peristiwa kerusuhan Mei 1998 mengindikasikan bahwa prasangka negatif terhadap etnis Cina masih ada hingga sekarang. Prasangka ini yang menyebabkan konflik dengan etnis Cina sangat rentan terjadi pada masa depan5. Bagaimana memitigasi risiko ini terjadi di masa depan? Mari kita bahas bersama.

Selama ini, masalah dominasi ekonomi oleh etnis Tionghoa di Indonesia sepertinya menjadi tabu untuk dibicarakan secara terbuka, seolah-olah dengan tidak membicarakannya, masalah tersebut akan hilang dengan sendirinya. Namun, penulis berpendapat bahwa seperti halnya dengan banyak masalah lain dalam kehidupan pribadi maupun masyarakat, persoalan ini seharusnya dibuka, didiskusikan, dan dicari pemecahannya dengan bijak. Hal ini penting karena dalam situasi ini, semua pihak, termasuk mereka yang beretnis Tionghoa, menjadi korban.

Di masa lalu negara mendiamkan persoalan ini seperti api dalam sekam, hingga suatu saat meletuskan kerusuhan. Kita bisa memilih mendiskusikannya dan mencari solusi konkrit atau lari dari masalah sampai suatu saat meletus lagi. Namun, pembahasan masalah ini harus dilakukan dengan bijaksana dan terukur, dengan kepemimpinan yang mumpuni, agar dampak negatif yang mungkin timbul dapat dikendalikan. Menghadapi masalah ini dengan pendekatan yang bijak dan terukur akan memungkinkan pencarian solusi yang adil dan merata bagi semua pihak yang terlibat. Dalam proses ini, penting untuk menghindari tindakan yang dapat memicu konflik sosial atau meningkatkan ketegangan antar-etnis.

Dominasi ekonomi oleh etnis Tionghoa juga memiliki dampak negatif yang perlu dipertimbangkan untuk dikoreksi. Pertama, adanya ketegangan sosial antara kelompok etnis di Indonesia. Ketimpangan ekonomi yang dirasakan oleh sebagian masyarakat dapat menyebabkan ketidakpuasan dan potensi konflik antar-etnis. Kedua, demokrasi menjadi rapuh ketika minoritas mengamankan posisinya dengan menguasai secara proxy, seperti dalam ekonomi. Selain itu, dominasi ekonomi oleh kelompok tertentu, termasuk etnis Tionghoa, juga bisa diduga berperan dalam menumbuhkembangkan praktek oligarki dan maraknya korupsi6. Ketidakseimbangan kekayaan dan kekuasaan yang terkonsentrasi pada kelompok-kelompok tertentu dapat menghambat pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan merugikan masyarakat secara keseluruhan. Hal ini juga dapat menimbulkan ketidakadilan sosial dan memperdalam kesenjangan antara kaya dan miskin7.

Selain dampak sosial dan politik, dominasi ekonomi oleh etnis Tionghoa juga dapat menciptakan ketimpangan dalam akses terhadap peluang ekonomi. Beberapa kelompok masyarakat, terutama kelompok pribumi, mungkin mengalami kesulitan dalam memperoleh modal dan kesempatan usaha yang sama dengan kelompok etnis Tionghoa. Hal ini dapat menyebabkan frustrasi dan ketidakpuasan yang pada gilirannya dapat mengganggu stabilitas sosial. Namun, dalam mengatasi isu ini, perlu diingat bahwa tidaklah tepat untuk menyalahkan seluruh etnis Tionghoa atau mengeneralisasi bahwa mereka secara kolektif menguasai ekonomi Indonesia. Ada banyak anggota etnis Tionghoa yang juga menghadapi tantangan dan kesulitan dalam menjalankan usaha mereka. Penting untuk memisahkan antara individu-individu yang secara pribadi bertanggung jawab atas praktek bisnis mereka, dengan stereotip yang merugikan kelompok etnis tertentu.

Untuk mengatasi dominasi ekonomi oleh etnis Tionghoa, perlu adanya koreksi yang dilakukan secara hati-hati dan bijaksana. Tindakan afirmatif dapat menjadi salah satu alternatif solusi yang dapat dipertimbangkan. Program-program ini harus dirancang untuk mendorong partisipasi ekonomi yang lebih luas dari kelompok masyarakat yang terpinggirkan, termasuk kelompok pribumi. Pendidikan dan pelatihan kewirausahaan juga harus ditingkatkan untuk memberikan kesempatan yang sama bagi semua individu dalam mengembangkan potensi ekonomi mereka. Selain itu, perlu ada upaya nyata dalam menciptakan demokrasi ekonomi yang lebih sehat dan pemerataan pembangunan. Pemerintah harus memiliki kebijakan yang mendukung keberlanjutan ekonomi dan distribusi kekayaan yang lebih adil. Hal ini dapat dilakukan melalui perbaikan sistem perpajakan yang progresif, penegakan hukum bisnis yang kuat, dan pengawasan yang ketat terhadap oligarki dan praktik korupsi.

Namun, penting untuk menjaga keseimbangan dan keadilan dalam proses koreksi ini. Tidak boleh ada diskriminasi terhadap etnis Tionghoa atau tindakan yang merugikan mereka secara kolektif. Koreksi harus dilakukan dengan memastikan perlindungan hak asasi manusia, kebebasan berusaha, dan kesetaraan peluang bagi semua warga negara. Penting juga untuk menciptakan dialog terbuka dan inklusif antara berbagai kelompok masyarakat, termasuk etnis Tionghoa, dalam mengatasi isu ini. Semua pihak harus berpartisipasi dalam proses mencari solusi yang adil dan berkelanjutan. Diperlukan kepemimpinan yang kuat dan komitmen yang tulus dari pemerintah, tokoh masyarakat, dan semua pemangku kepentingan untuk menciptakan lingkungan yang mempromosikan kerjasama, toleransi, dan persatuan antara berbagai kelompok etnis di Indonesia. Uangkapan Pak JK dan juga pernah disampaikan oleh Anies Baswedan ketika berpidato dalam pengakatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta yang mengangkat kata “pribumi” secara sengaja dalam pidatonya menunjukkan bahwa beberapa pemimpin bangsa memang akan berani untuk melakukan koreksi.

Disebutkan juga oleh JK bahwa masalah yang sama terjadi di beberapa negara ASEAN. Namun dalam hal ini Malaysia paling tidak sudah melakukan upaya koreksi.

Mahathir Mohamad menulis buku "The Malay Dilemma" pada tahun 1970. Buku ini membahas masalah yang dihadapi oleh kelompok etnis Melayu dalam konteks sejarah dan perkembangan ekonomi Malaysia. Pemikiran yang terkandung dalam buku ini kemudian menjadi dasar bagi Mahathir untuk melanjutkan perjuangan politiknya. Setelah bertahun-tahun berjuang dalam dunia politik, Mahathir akhirnya menjadi Perdana Menteri Malaysia pada tahun 1981. Salah satu fokus utama programnya adalah menerapkan affirmative action atau tindakan afirmatif yang bertujuan untuk mengatasi ketimpangan ekonomi antara kelompok etnis Melayu dan kelompok etnis non-Melayu, termasuk etnis Cina.

Penerapan affirmative action di Malaysia dipandang sebagai strategi untuk mencapai pemerataan ekonomi dan memperkuat kedudukan kelompok etnis Melayu. Meskipun demikian, Mahathir dan pemerintahan Malaysia berusaha untuk menjalankan kebijakan ini tanpa mendzalimi atau merugikan kelompok etnis Cina atau kelompok etnis non-Melayu lainnya. Tujuan dari affirmative action adalah untuk menciptakan kesempatan yang lebih adil bagi semua kelompok masyarakat dalam mengakses sumber daya dan peluang ekonomi. Hasil dari kebijakan affirmative action yang diterapkan di Malaysia dapat dilihat dari data pendapatan per kapita pada tahun 2022. Malaysia mencapai pendapatan per kapita sebesar USD 12.450, sementara Indonesia hanya sebesar USD 4.290. Perbedaan ini menunjukkan bahwa Malaysia berhasil mencapai tingkat kemakmuran yang lebih tinggi dibandingkan Indonesia.

Penerapan affirmative action di Malaysia juga telah memberikan dampak positif lainnya, seperti meningkatnya kesetaraan ekonomi, pengurangan kesenjangan sosial, dan peningkatan akses terhadap pendidikan dan peluang kerja bagi kelompok etnis Melayu. Hal ini juga telah membantu memperkuat persatuan dan keharmonisan antara kelompok etnis di Malaysia. Namun, penting untuk dicatat bahwa setiap kebijakan affirmative action harus terus dievaluasi dan diperbaiki sesuai dengan perubahan sosial dan ekonomi yang terjadi. Kebijakan ini harus dilaksanakan dengan hati-hati dan tidak mengorbankan kelompok etnis tertentu, sehingga tercipta keadilan dan kesejahteraan bagi semua warga negara.

Indonesia sebagai negara dengan keberagaman etnis yang kaya juga dapat mengambil pelajaran dari pengalaman Malaysia dalam menerapkan affirmative action meski tidak harus mengambil kebijakan yang persis sama. Setidaknya dari segi timing dimana saat ini masyarakat lebih maju dan terbuka, maka pendekatan yang lebih menekankan empowering pribumi lebih diutamakan dibanding membatasi non pribumi. Dengan memperhatikan konteks dan karakteristik masyarakat Indonesia, perlu dilakukan studi mendalam dan dialog antara pemerintah, masyarakat, dan kelompok etnis untuk mengembangkan kebijakan yang memperkuat keadilan sosial dan pemerataan ekonomi tanpa mengorbankan kelompok etnis tertentu.

Masalah yang terkait dengan etnis Cina di Indonesia harus dibuka dan didiskusikan dengan serius. Tidak lagi boleh kita pura-pura dan membiarkan masalah ini terus berlanjut tanpa penyelesaian yang nyata. Jika dibiarkan terus-menerus, masalah ini dapat menjadi pemicu konflik yang dapat meledak kapan saja8. Oleh karena itu, diperlukan saluran solusi yang efektif untuk mengatasi masalah ini.

Berikut adalah beberapa alternatif solusi yang dapat dipertimbangkan:

1. Pendidikan Kewirausahaan bagi Pribumi dan Saling Belajar, Saling Mengenal: Pendidikan kewirausahaan dapat diberikan kepada masyarakat pribumi untuk memberikan kesempatan yang setara dalam mengembangkan usaha dan berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi. Selain itu, penting bagi semua pihak, termasuk etnis Cina, untuk saling belajar dan saling mengenal, sehingga dapat membangun pemahaman dan toleransi antar-etnis.

2. Demokrasi Ekonomi dan Pemerataan Pembangunan: Penting untuk mendorong demokrasi ekonomi yang inklusif dan mewujudkan pemerataan pembangunan di seluruh Indonesia. Ini berarti memberikan kesempatan yang adil bagi semua kelompok masyarakat, termasuk etnis Cina, untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi dan mendapatkan manfaat yang setara.

3. Bukan Salah Etnis Cina Masa Kini, Koreksi Bersama dan Harus Bersama: Penting untuk tidak menyalahkan etnis Cina secara keseluruhan atas masalah ekonomi yang ada. Koreksi harus dilakukan secara bersama-sama dengan melibatkan semua pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan kelompok etnis Cina itu sendiri. Ini membutuhkan sikap saling pengertian, kerjasama, dan kolaborasi untuk mencapai solusi yang adil dan berkelanjutan.

4. Pajak Progresif dengan Sistem Pajak yang Sehat: Implementasi sistem pajak progresif yang adil dapat membantu mengurangi kesenjangan ekonomi dan memastikan bahwa beban pajak didistribusikan secara merata. Hal ini dapat membantu mendorong pemerataan ekonomi dan mengurangi ketimpangan yang ada.

5. Penegakan Hukum Bisnis: Penting untuk memastikan penegakan hukum yang tegas dalam bisnis, tanpa memandang latar belakang etnis. Ini akan menciptakan lingkungan bisnis yang adil dan memberikan kesempatan yang setara bagi semua pelaku usaha.

Tidak adanya solusi yang memadai terhadap masalah etnis Tionghoa di Indonesia dapat memiliki dampak negatif tambahan yang signifikan selain yang telah diuraikan sebelumnya. Pertama, ketidakseimbangan kekuasaan dan pengaruh ekonomi yang cenderung dikuasai oleh minoritas tertentu dapat melemahkan prinsip demokrasi yang seharusnya mengedepankan partisipasi dan representasi seluruh masyarakat. Hal ini berpotensi menyebabkan ketidakadilan dalam pembuatan kebijakan dan distribusi sumber daya. Kedua, dominasi ekonomi yang dianggap dimiliki oleh kelompok tertentu, termasuk etnis Tionghoa, dapat memperkuat struktur oligarki dalam masyarakat. Kekuatan ekonomi yang terkonsentrasi pada segelintir individu atau kelompok dapat menghambat mobilitas sosial dan memberikan akses yang tidak adil bagi masyarakat secara luas.

Selanjutnya, kondisi dimana kelompok tertentu, termasuk etnis Tionghoa, menguasai sebagian besar sektor ekonomi juga menciptakan celah bagi tindakan korupsi. Pemusatan kekayaan dan kekuasaan pada kelompok kecil dapat menghasilkan praktek korupsi yang merugikan negara dan masyarakat secara keseluruhan. Selain itu, ketidakseimbangan dalam distribusi kekayaan dan peluang ekonomi antara kelompok etnis dapat memperdalam kesenjangan sosial dan ekonomi di masyarakat. Ketimpangan yang berkelanjutan dapat menciptakan ketidakadilan struktural dan ketidaksetaraan dalam kesempatan hidup, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan.

Terakhir, adanya aturan yang dianggap mendiskriminasi etnis Tionghoa dapat membatasi hak-hak mereka dan menciptakan ketidakadilan dalam berbagai aspek kehidupan. Aturan semacam itu dapat mempengaruhi akses terhadap pekerjaan, pendidikan, dan pelayanan publik, dan menjadi mekanisme "balas dendam" dalam masyarakat yang perlu dihentikan

Bagi kelompok etnis Cina, penting untuk terlibat secara aktif dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik Indonesia. Mereka dapat berkontribusi pada pembangunan negara dan membantu memperkuat kerukunan antar-etnis melalui partisipasi yang aktif, pemberdayaan ekonomi, dan pengabdian kepada masyarakat luas9. Dalam menghadapi dampak negatif yang terkait dengan masalah etnis Cina di Indonesia, kolaborasi antara semua pihak menjadi kunci keberhasilan. Hanya melalui kerjasama yang kokoh, penyelesaian masalah ini dapat dicapai dan Indonesia dapat bergerak maju sebagai negara yang berkeadilan sosial dan harmonis antar-etnis.

Dengan mengakui dan mengatasi masalah ini secara tegas, Indonesia dapat membangun fondasi yang kuat untuk keberlanjutan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Ini akan memastikan bahwa semua warga negara, tanpa memandang latar belakang etnis mereka, dapat menikmati hak-hak yang sama dan berpartisipasi aktif dalam membangun masa depan yang lebih baik bagi Indonesia.

SUMBER

(1) https://www.cnbcindonesia.com/news/20230513060737-4-436995/mengejutkan-jk-bocorkan-ekonomi-ri-dikuasai-china

(2) Deni, Candra. 2018. Ekonomi Etnis Cina di Indonesia . Jurnal Pendidikan Sejarah. 2(1).

(3) Ekonomi Indonesia dalam Lintasan Sejarah. Prof. Dr. Boediono, Esti A. Budihabsari (ed) Mizan Pustaka,  2016, Bandung, ISBN : 978-979-433-947-3

(4) Peranan H. Samanhudi dalam Sarekat Dagang Islam - UIN Alauddin. http://repositori.uin-alauddin.ac.id/13427/.

(5) 22 tahun setelah kerusuhan anti-Cina Mei 1998, riset ungkap prasangka dan trauma masih ada (theconversation.com)

(6) Khoirul Huda dan Bobi Hidayat. Dominasi Kelompok Etnis Tionghoa Pada Bidang Ekonomi Di Indonesia Tahun 1986-2000. Jurnal Swarnadwipa Volume 4, Nomor 1, Tahun 2020, E-ISSN 2580-7315

(7) Peran Orang Tionghoa dalam Perdagangan dan Hidup Perekonomian dalam ....https://jurnalmanajemen.petra.ac.id/index.php/man/article/view/15644/15636.

(8)  Tionghoa Dalam Keindonesiaan: Peran Dan Kontribusi Bagi .... https://www.academia.edu/40569066/Tionghoa_Dalam_Keindonesiaan_Peran_Dan_Kontribusi_Bagi_Pembangunan_Bangsa_prospektus_.

(9) Perilaku Elit Politik Etnis Tionghoa Pasca Reformasi. Juliastutik. HUMANITY, Volume 6, Nomor 1, September 2010: 45 - 58

Komentar