OPINI
Apakah Keadilan itu?
Oleh: Muchyar Yara *
Pengantar
Pada suatu hari anak bungsu saya yang baru duduk di bangku kelas 1 SLTP melancarkan protes kepada saya, "Ayah tidak adil!", katanya, Lho, saya bingung, kenapa memangnya? Usut punya usut ternyata si Bungsu merasa diperlakukan tidak adil karena uang jajannya untuk malam minggu lebih kecil dibandingkan dengan yang saya berikan kepada Abangnya yang sudah duduk disemester 4 fakultas hukum sebuah universitas di Jakarta.
Sementara itu serombongan Pengemudi Becak berdemonstrasi di Balaikota memprotes kebijakan “Daerah Bebas Becak” sebagai sebuah kebijakan yang tidak adil. Kemudian belum lama ini juga serombongan eksekutif menengah dari sebuah BUMN terkemuka dinegeri ini, lengkap dengan dasinya yang mahal-2 mendatangi Kantor Meneg.BUMN untuk menyampaikan protes sehubungan dengan penetapan gaji yang dianggap tidak adil.
Dari ilustrasi diatas, dapat dikiranya dipetakan masalahnya kurang-lebih sbb: 1).- semua orang tanpa memandang umur, kedudukan sosial, tingkat kekayaan dsb. dapat berbicara tentang “adil” atau “keadilan”, 2). keadilan menjadi salah satu ukuran idealiasasi yang sangat penting bagi manusia didalam kehidupannya.
Istilah "adil " dan "keadilan"
Kata "adil" atau "keadilan" pada umumnya digunakan untuk mewakili penilaian positif tentang tingkah laku/perbuatan manusia terhadap dirinya sendirinya maupun terhadap manusia lainnya yang hidup bersamanya ditengah masyarakat, atau tentang keadaan masyarakat atau sistem sosial, atau tentang norma sosial, khususnya norma hukum. Sedangkan kata "tidak adil" atau "ketidakadilan" juga digunakan untuk hal sama dalam penilaian yang negatif.
Dibandingkan dengan kosa kata lainnya, mungkin kata "adil" atau "keadilan" tergolong yang paling unik. Meskipun dengan perumusan dan pengucapan yang berbeda, namun dengan kandungan maksud serta tujuan yang sama, kata "adil" hampir dapat dipastikan ditemui dalam semua rumpun bahasa manusia dimasa kini tanpa membedakan tingkatan perkembangan masyarakatnya, baik pada masyarakat yang masih sederhana maupun pada masyarakat yang sudah maju.
Kata “adil” tersebut bisa di “pinjam” dari rumpun bahasa lain atau kosa kata itu aseli berasal dari rumpun bahasa yang bersangkutan.
Contohnya rumpun bahasa Indonesia tidak mengenai kosa kata “adil”, kosa kata ini berasal dari kata “adl” yang “dipinjam dari rumpun Bahasa Arab.
Kata yang mewakili makna "adil" juga dapat dijumpai pada literatur ilmu-ilmu pengetahuan dan naskah-naskah hukum/perundang-undangan sampai dengan buku-buku dongeng anak-anak. Keunikan yang terpenting adalah tidak ada keseragaman pengertian terhadap kata "adil" itu sendiri.
Sekalipun seperti dikemukakan sebelumnya bahwa hampir semua rumpun bahasa dimasa modern ini mengenal kata yang mewakili makna “adil”ini, namun antara satu bahasa dengan bahasa yang lainnya berbeda kandungan pengertiannya dan maknanya, bahkan diantara sesama warga suatu masyarakat yang menggunakan bahasa yang sama belum tentu memiliki keseragaman pengertian tentang kata "adil". Artinya seseorang dapat menilai suatu keadaan adalah adil, tetapi orang lain justru menilai keadaan yang sama sebagai tidak adil, padahal keduanya adalah pengguna bahasa yang sama. Hal ini berarti juga kata "adil" tidak memiliki kandung makna atau pengertian yang sama secara universal, sekalipun kata ini termasuk yang paling luas dikenal, digunakan dan dipahami tujuan penggunaannya.
Dalam kepustakaan Filsafat Yunani Kuno kata "adil" diwakili dengan kata "Dike" yang diambil dari nama Dewi Dike, yaitu anak perempuan Dewa Zeus dengan isterinya Dewi Themis menurut mitologi Yunani kuno. Bilamana Dewi Themis bertugas memelihara dan menjaga hukum yang bersifat tidak pernah putus serta mengikat semua orang secara mutlak, maka tugas Dewi Dike adalah menimbang nilai-nilai secara tepat dan memberikan petunjuk-petunjuk tentang bagaimana caranya agar setiap orang mendapatkan apa yang menjadi haknya, sehingga setiap orang memperoleh keadilan.
Petunjuk-petunjuk Dewi Dike inilah yang menjadi sumber perbedaan pendapat yang terus berkelanjutan sampai dengan saat ini. Halmana disebabkan Dewi Dike sendiri senantiasa bergulat dengan dirinya sendiri menentang ketiadaan ukuran bagi petunjuk-petunjuknya itu.
Gambaran keadilan pada Dewi Dike tersebut dikemudian dijadikan landasan pemikiran oleh Anaximandros (610 – 540 s.M) dan Parmenides (515 s.M), keduanya adalah Ahli Filsafat pada masa Yunani Kuno, yang mengatakan bahwa keadilan adalah prinsip yang mengatur keseluruhan kosmos, dimana apeiron yang menunjukan pada keadilan merupakan hakekat dari semua benda dan segala sesuatu yang terjadi ataupun lenyap di dunia ini selalu terikat kepada tertib keadilan.
Didalam filsafat Romawi “Dewi Dike” disebut “Dewi Justice”,dan nama ini kemudian dipinjam oleh rumpun bahasa Inggris untuk memaknai “adil” ( adil = justice), dan didalam beberapa keadaan makna Adil/Justice juga ditampung didalam kosa kata “Fair/Fairness”
Kemudian secara agak berbeda, Ahli Filsafat Yunani Kuno lainnya, yaitu Herakleitos (500 s.M), mengatakan bahwa bagi Tuhan semua hal adalah suci, baik dan adil, hanya manusialah yang melihat hal-hal tertentu sebagai adil dan hal-hal lainnya sebagai tidak adil.
Anaximander, Parmenides dan Heraclitos kemudian dikenal dalam kepustakaan Filsafat Barat sebagai para ahli filsafat yang pertama kali mengemukakan masalah keadilan, dan sejak itu pula \\\\\\\\\\\\\\\\'keadilan\\\\\\\\\\\\\\\\' menjadi salah satu kata yang paling banyak mengundang perhatian umat manusia sejak berabad-abad yang silam dan terus dijadikan sebagai obyek diskusi serta kajian sampai saat ini oleh para ahli dari berbagai cabang disiplin ilmu pengetahuan, terutama sekali dikalangan ahli Filsafat. Berikut ini akan dikemukakan secara singkat pendapat-pendapat dari para Ahli Filsafat tentang \\\\\\\\\\\\\\\\'keadilan\\\\\\\\\\\\\\\\' , dengan maksud memberikan gambaran awal sebagai pangkal penelitian lebih lanjut.
Meskipun tidak terlihat adanya pengaruh langsung dari pendapat Anaximander, Parmenides dan Heraclitos, namun pandangan Filsafat Yunani Kuno tentang keadilan diakui mencapai puncaknya pada masa Plato dan Aristoteles, keduanya adalah Ahli Filsafat dari belahan terakhir masa Yunani Kuno yang pertama sekali membicarakan keadilan secara komprehensif dan sistimatis.
Pandangan Plato dan Aristoteles tentang keadilan. mempunyai pengaruh besar dalam pengkajian masalah keadilan untuk masa-masa berikutnya, dan bahkan pengaruh itu masih terasa dimasa kini.
Di dalam mitologi Romawi istilah keadilan diambil dari nama Dewi Iustitia, yang identik dengan Dewi Dike pada mitologi Yunani Kuno. Istilah iustitia inilah yang kemudian diadopsi kedalam rumpun bahasa masyarakat Eropah lainnya, seperti misalnya Bahasa Inggris yang mengadopsinya menjadi "justice".
"Apakah keadilan itu?"
Pada suatu siang hari yang terik seorang ibu yang memiliki sebuah jeruk (Bali) menghadapi masalah berkenaan dengan adanya permintaan diwaktu yang bersamaan dari dua orang anaknya yang meminta buah tersebut untuk dirinya masing-masing. Anak yang pertama baru saja pulang dari sekolah, dan ia memerlukan buah jeruk tersebut untuk menghilangkan dahaganya. Sedangkan anak yang kedua belum bersekolah, dan ia menginginkan buah jeruk itu untuk membuat mainan dari kulitnya.
Apa yang harus dilakukan oleh sang Ibu untuk membagi jeruk tersebut secara adil kepada kedua anaknya itu ? Jika sang Ibu memandang keadilan sebagai kesamaan seperti yang dikemukakan pada awalnya oleh Pythagoras, salah seorang Ahli Filsafat dari masa Yunani Kuno, yang menggambarkan keadilan dengan angka 4, yaitu angka dua dikalikan angka dua (dua kwadrat), maka sang Ibu harus membagi dua buah jeruk tersebut untuk kemudian setiap setengah bahagian jeruk dibagikan kepada anak pertama dan anak kedua. Namun penerapan prinsip kesamaan sebagai ukuran keadilan di dalam kasus pembagian jeruk di atas ternyata mengandung kelemahan, yaitu dengan setengah bahagian dari buah jeruk yang diterimanya, anak pertama belum terpenuhi dahaganya, demikian juga anak kedua belum dapat membuat mainan dari bagian kulit buah jeruk yang diterimanya.
Sedangkan jika saja sang Ibu membagi buah jeruk tersebut dengan menggunakan prinsip keadilan sebagaimana yang salah satunya dikemukakan oleh Ulpianus (salah seorang Ahli Filsafat pada masa Romawi), yaitu "berikan pada setiap orang apa yang menjadi haknya" , maka kelemahan cara membagi berdasarkan prinsip kesamaan dapat dihindari. Berdasarkan prinsip ini sang Ibu akan memberikan seluruh isi buah jeruk yang mengandung air kepada anak pertama sehingga dahaganya terpenuhi, dan memberikan seluruh kulit buah jeruk tersebut kepada anak keduanya sehingga dapat membuat mainan yang utuh.
Ilustrasi lainnya yang seringkali diungkapkan dalam berbagai literatur filsafat berkenaan dengan masalah keadilan, adalah Kisah Pengadilan Nabi Sulaiman, yang pada mulanya merencanakan memutuskan untuk memotong seorang bayi menjadi dua bahagian untuk diserahkan masing-masing setengah bahagian dari tubuh bayi tersebut kepada dua orang perempuan yang sama-sama mengaku sebagai ibunya. Nabi Sulaiman pada akhirnya memutuskan memberikan bayi tersebut secara utuh dan hidup kepada salah seorang perempuan yang menarik kembali tuntutannya setelah mendengar rencana pemotongan tubuh bayi menjadi dua bahagian. Nabi Sulaiman berpendapat bahwa perempuan yang menarik tuntutannya tersebut sungguh-sungguh mencintai bayi yang bersangkutan, dan dengan menarik tuntutannya nyawa sang bayi akan selamat karena terhindar dari kematian akibat dipotong menjadi dua bahagian. Keputusan Nabi Sulaiman ini berpangkal pada pandangan “keadilan sebagai cinta kasih dan kebahagiaan (caritas sapienstis)”, dimana karena cinta kasihnya sebagai ibu yang tidak rela melihat bayinya menemui kematian, maka perempuan yang satu sebagai ibu sejati menarik kembali tuntutannya, tetapi justru dengan tindakannya itu sang ibu memperoleh kebahagiaan karena pada akhirnya sang bayi diserahkan kepadanya. Keputusan Nabi Sulaiman tersebut sampai kini senantiasa digambarkan sebagai putusan yang paling adil yang pernah diputuskan oleh seorang hakim.
Kisah buah jeruk dan kisah pengadilan Nabi Sulaiman di atas merupakan dua dari sekian banyak ilustrasi yang diambil untuk menggambarkan bagaimana manusia berusaha mencari jalan keluar yang adil ketika menghadapi dua kepentingan yang saling berbeda. Sekalipun kedua ilustrasi yang dikemukakan di atas terasa sangat menyederhanakan permasalahannya, namun tetap saja tidak dapat menutupi betapa kompleknya masalah keadilan itu. Meskipun pada dua kisah tersebut akhirnya berhasil dicapai adanya keadilan, tetapi di dalamnya saja sudah dijumpainya ada empat pengertian yang saling berbeda tetapi semuanya dilekatkan kepada istilah keadilan, yaitu kesamaan, hak, cinta kasih dan kebahagiaan. Bilamana masing-masing pengertian tersebut diterapkan secara silang ke dalam kedua kisah di atas, maka hasilnya tentu akan berbeda, yaitu akan tercipta keadaan atau keputusan yang tidak adil.
Penerapan prinsip kesamaan atau prinsip berikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya kedalam Kisah Pengadilan Nabi Sulaiman, akan mengakibatkan terjadinya ketidakadilan, karena sang bayi terpaksa harus dipotong menjadi dua bahagian sehingga akan menemui ajalnya, akibatnya salah seorang dari kedua perempuan yang menuntut sebagai ibu yang sesungguhnya dari sang bayi menjadi sangat dirugikan dan sangat tidak berbahagia. Sebaliknya jika prinsip cinta kasih diterapkan ke dalam Kisah Buah Jeruk, maka tentunya akan sangat sulit bagi sang ibu untuk memilih siapa yang paling dicintainya diantara kedua anaknya itu. Jadi yang manakah dari keempat makna keadilan yang muncul dalam kedua ilustrasi di atas merupakan makna keadilan yang sesungguhnya dan dapat diterapkan secara universal ? Atau secara lebih spesifik pertanyaannya menjadi "apakah keadilan itu ?".
Selama berabad-abad lamanya pertanyaan tentang "apakah keadilan?" senantiasa mempengaruhi kehidupan umat manusia, sebagaimana dikatakan oleh Hans Kelsen :
" No other question has been discussed so passionately; no other question has caused so much precious blood and so many bitter tears to be shed; no other question has been the object of so much intensive thinking by the most illustrious thinkers from Plato to Kant; "
Tetapi pertanyaan tersebut tetap belum juga terjawab secara memuaskan, dan nampaknya tidak akan pernah ditemukan jawaban yang pasti serta berlaku secara universal mengenai hal ini, karena semua usaha guna menemukan jawaban tentang \\\\\\\\\\\\\\\\'apakah keadilan?\\\\\\\\\\\\\\\\' tidak lain hanyalah merupakan upaya untuk memperdalam pertanyaan itu sendiri.
Menunjuk kembali kepada kedua ilustrasi di atas, maka jika keadilan itu adalah kesamaan, atau hak, atau cinta kasih atau kebahagiaan, maka masih perlu dipertanyaan lebih lanjut apakah kesamaan itu, atau apakah yang dimaksud dengan hak, atau apakah cinta kasih itu, atau apakah kebahagiaan itu. Jawaban atas masing-masing pertanyaan inipun pada gilirannya akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru yang perlu lagi dicarikan jawabannya, demikianlah hal ini akan berlangsung terus menerus. Sehingga pertanyaan "apakah keadilan" pada gilirannya akan melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru yang terus bergulir.
Jika jawaban yang pasti dan universal tentang keadilan tidaklah mungkin diperoleh, maka tentunya sebelum melangkah lebih jauh perlu terlebih dahulu dipertanyakan mengapa masalah keadilan ini masih saja dijadikan objek diskusi dan kajian sampai saat ini ? Atau dengan bentuk lain yang lebih singkat dapat dirumuskan menjadi sebuah pertanyaan baru : "mengapa mempertanyakan keadilan ?"
Diskursus keadilan yang telah berlangsung selama berabad-abad memang belum atau tidak berhasil menemukan jawaban atas pertanyaan pokoknya secara pasti serta bersifat universal, dan bahkan menyebabkan semakin meluas dan beragamnya pengertian serta pemahaman tentang keadilan, tetapi juga tidak dapat dipungkiri bahwa diskursus tersebut telah mendatangkan kemajuan-kemajuan penting berupa kesepakatan-kesepakatan berkenaan dengan aspek-aspek tertentu dari keadilan, sehingga dapat bermanfaat sebagai landasan bagi pengkajian lebih lanjut. Salah satu kesepakatan yang terpenting adalah diakuinya keadilan sebagai ukuran utama yang menentukan kualitas suatu masyarakat (tatanan sosial) yang ideal, yaitu masyarakat yang secara effektif diatur oleh konsepsi keadilan yang hidup dikalangan warga masyarakatnya.
Kesepakatan di atas menunjukan adanya perkembangan pemikiran tentang keadilan dikalangan para ahli Filsafat Hukum, yang pada mulanya menyakini dan karenanya berupaya menemukan adanya pengertian yang pasti serta bersifat universal, sebagaimana tdiakili oleh Aliran Hukum Alam, kemudian karena upaya tersebut tidak kunjung memperoleh hasil, lahirlah pemikiran lain yang berawal dari para ahli Filsafat Hukum Mashab Historis dan kemudian dilanjuntukan oleh Aliran Positivis, yang menolak keyakinan adanya pengertian keadilan yang pasti secara universal, dan sebaliknya berpendapat bahwa keadilan merupakan konsepsi atau pandangan yang hidup pada masyarakat tertentu. Artinya setiap masyarakat memiliki pemahamannya sendiri-sendiri tentang keadilan, yang satu dengan lainnya belum tentu sama. Masyarakat Indonesia mempunyai pemahaman keadilan yang belum tentu sama atau mungkin berbeda dengan pemahaman keadilan yang berlaku di masyarakat Jepang atau yang lainnya.
Berangkat dari kesepakatan di atas, maka pertanyaan pertama yang diajukan pada bagian awal di atas, yaitu "apakah keadilan?" mengalami juga perkembangan, sehingga pertanyaan tersebut kemudian dirumuskan sebagai "apakah keadilan menurut masyarakat Indonesia, atau masyarakat Inggris, atau masyarakat Amerika Serikat dan seterusnya?". Namun dengan rumusan baru atas pertanyaan pertama tersebut sebenarnya belum juga menjawab pertanyaan yang kedua, yaitu "mengapa mempertanyakan keadilan?" Artinya disini, apakah upaya menemukan pemahaman keadilan yang hidup pada suatu masyarakat tertentu akan berhasil ataukah sebaliknya akan mengalami nasib yang sama dengan upaya menemukan pengertian keadilan yang pasti secara universal, yang sampai saat ini belum juga kunjung berhasil, jika tidak hendak dikatakan secara lebih lugas, telah mengalami kegagalan. Kemudian, misalnya saja upaya menemukan pemahaman keadilan tersebut membuahkan hasil, maka selanjutnya masih perlu diperdebatkan tentang manfaat penemuan tersebut.
Permasalahan di atas dapat dijawab dengan penjelasan berikut ini. Pertama, dibandingkan dengan upaya menemukan pengertian keadilan yang pasti secara universal, maka upaya menemukan pengertian keadilan yang hidup pada suatu masyarakat tertentu lebih mempunyai kemungkinan untuk berhasil, karena setiap masyarakat mempunyai karakteristik tersendiri yang lebih mudah untuk dikenali (di identifikasi) dengan memanfaatkan bantuan dari ilmu-ilmu pengetahuan kemasyarakatan yang telah berkembang secara pesat, seperti misalnya sosiologi, anthropologi, psikologi dan sebagainya.
Hanya saja sejak awal perlu disadari bahwasanya upaya menemukan pengertian keadilan yang hidup pada suatu masyarakat tertentu bukanlah berarti berupaya menemukan pengertian yang pasti, artinya pengertian keadilan yang hidup selama-lamanya (abadi) pada masyarakat yang bersangkutan. Upaya seperti ini pastilah akan mengalami kegagalan. Salah satu ungkapan Herakleitos yang terkenal dikalangan dunia Filsafat adalah "panta rhei kai uden menei" yang artinya "semua mengalir dan tidak sesuatupun yang tidak berubah".
Ungkapan ini menunjukan bahwa segala sesuatu di dunia ini pasti akan mengalami perubahan, dan satu-satunya hal keduniaan yang bersifat kekal adalah perubahan itu sendiri. Masyarakat juga tidak terbebas dari hukum perubahan ini, sehingga pemahaman tentang keadilan yang hidup pada suatu masyarakat juga mengalami perubahan dari waktu kewaktu sejalan dengan perubahan yang terjadi di masyarakat yang bersangkutan. Berkenaan dengan ini, maka upaya menemukan pemahaman tentang keadilan yang hidup pada suatau masyarakat tertentu mengandung arti sebagai upaya menemukan pemahaman keadilan yang hidup pada suatu kurun waktu tertentu.
Akibatnya upaya menemukan pemahaman keadilan ini mengandung sifat yang dinamis dan tidak henti-hentinya sesuai dengan perkembangan dan perubahan atas pemahaman keadilan yang terjadi sejalan dengan perkembangan dan perubahan masyarakatnya. Kedua, di atas telah dikemukakan bahwa keadilan merupakan ukuran utama yang menentukan kualitas masyarakat yang ideal, yaitu masyarakat yang diatur oleh konsepsi keadilan. Hal ini berarti keadilan bagi suatu masyarakat memiliki fungsi ganda, yaitu pada satu pihak berfungsi sebagai ukuran atau patokan bagi masyarakat yang bersangkutan didalam mencapai tujuannya, yaitu terciptanya suatu masyarakat ideal, dan pada pihal lainnya berfungsi sebagai ukuran bagi tujuan masyarakat itu sendiri. Fungsi ini menempatkan keadilan sebagai rujukan bagi lembaga-lembaga sosial (social institutions) yang ada pada masyarakat yang bersangkuntukan, seperti, hukum, ekonomi, politik dan sebagainya, di dalam menjalankan tugasnya masing-masing melayani masyarakat guna mencapai tujuannya, yaitu masyarakat ideal dan berkeadilan.
Dari sudut pandang ini adanya pengetahuan tentang pemahaman keadilan yang hidup di masyarakat tertentu merupakan keperluan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, mengingat tanpa adanya pengetahuan tersebut lembaga-lembaga sosial yang ada tidak mungkin dapat melaksanakan tugasnya secara baik, dan proses menuju pencapaian tujuan masyarakat akan berjalan tanpa arah yang pasti, atau bahkan mungkin perkembangan masyarakat yang bersangkutan akan berjalan menyimpang dari tujuannya. Penjelasan di atas sebagai usaha menjawab kedua pertanyaan yang diajukan sebelumnya, masih merupakan jawaban yang bersifat umum dan mungkin terasa sangat sumir, sehingga jauh dari memuaskan. Halmana disebabkan kedua pertanyaan yang kemudian di dalam perkembangannya dirumuskan sebagai, "apakah keadilan menurut masyarakat Indonesia?" dan "apakah manfaat mengetahui pengertian keadilan tersebut?", pada hakekatnya merupakan titik awal yang mendorong lahirnya motivasi guna melakukan pendalaman terhadap pemahaman atas pertanyaan awal yaitu “Apakah keadilan itu?”.
Berdasarkan pemahaman diatas bahwa pemahaman adil pada suatu masyarakat sebabtiasa mengalami perubahan dari waktu ke waktu,maka filsafat modern yang diantaranya diwakili oleh John Rawls cenderung mengalihkan fokusnya bukan untuk mencari arti keadilan, tetapi mengarahkan upayanya untuk mencari atau merumuskan cara-cara untuk menemukan makna dari keadilan yang dapat diterapkan pada suatu keadaan tertentu, yaitu merumuskan metodologi guna menemukan makna keadilan yang berlaku pada suatu masyarakat pada suatu waktu yang tertentu, cara-cara inilah yang akan dirumuskan menjadi “Teori Keadilan Indonesia (masyarakat tertentu)” atau misalnya “Indonesian Theory of Jaustice” atau lebih tepatnya lagi “Teori Keadilan Pancasila”
Dengan demikian pertanyaan awal yaitu “Apakah Keadilan itu” nampaknya harus diganti denganpertanyaan lain, yaitu, “Bagaimana Teori Keadilan masyarakat tertentu pada waktu tertentu”.
Kesimpulan.
Tulisan ini akan diakhiri dengan sebuah pertanyaan penutup, yaitu „”Apakah keadilan di Indonesia menurut Pancasila dimasa Reformasi?”
Pertanyaan diatas merupakan pekerjaan rumah yang belum dikerjakan oleh para ahli filsafat dan ahli Teori Hukum di Indonesia selama ini.
Bangsa Indonesia hidup bernegara untuk tujuan mencapai “masyarakat yang adil dan makmur”. Masyarakat yang bagaimanakah itu?, Selama belum ditemukan arti adil maka rumusan atau gambar tujuan nasional ini masih kabur, akibatnya jalannya kehidupan bernegara tidak mempunyai arah yang tepat/jelas, sehingga selalu saja diwarnai dengan gonjang-ganjing.
26 Maret 2023
* Mantan Pengajar Sejarah Hukum Dan Teori Hukum Bidang Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Univesitas Indonesia Dan Universitas Jayabaya-Jakarta
Komentar