Jumat, 26 April 2024 | 04:36
OPINI

Memahami Asas Praduga Tak Bersalah

Presumption of Innocent

Memahami Asas Praduga Tak Bersalah
Muchyar Yara (Dok Askara)

Oleh : Muchyar Yara *

ASKARA - Semua Ahli hukum tentunya mengetahui tentang asas praduga tak bersalah (presumption of innocent), sebagaimana yang tercantum di dalam peraturan perundang-undangan dihampir semua negara didunia ini. Asas ini merupakan salah satu langkah awal perlindungan HAM di dalam hukum Pidana Formil (Hukum Acara Pidana).

Tujuan dari asas ini minimal ada 2 (dua), yaitu: 

1. Aparat penegak hukum/penguasa tidak dapat menghukum seseorang secara sewenang-wenang, kecuali orang tersebut telah melakukan tindakan yang ditentukan oleh hukum pidana materiel positif sebagai tindakan yang dilarang oleh hukum

2. Seseorang  baru dapat dikatakan bersalah bilamana telah ada keputusan hukum/pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, artinya seorang Tersangka atau Terdakwa secara formil (Hukum Acara Pidana) wajib diperlakukan sebagai seorang yang tidak bersalah selama menjalani proses penyidikan, penuntutan maupun peradilan.

Pengertian azas“praduga tak bersalah” didalam kenyataannya mengandung 2 (dua) unsur, yaitu:

1. “Menganggap” seseorang tidak bersalah sebelum ada putusan hukum yang tetap, dan 

2. “Memperlakukan” seseorang sebagai tidak bersalah selama menjalani proses hukum.

Unsur pertama dari azas ini, yaitu  “praduga tak bersalah”(menganggap) nampaknya tidak ada masalah, karena semua masyarakat yang beradab mengakuinya. Tetapi lain halnya dengan unsur yang kedua yaitu “memperlakukan tidak bersalah”. Batasan-batasan pemahaman tentang “perlakuan tidak bersalah” pada satu masyarakat belum tentu sama dengan masyarakat lainnya. Disamping itu sejauhmana prinsip “perlakuan tidak bersalah” diberlakukan oleh suatu sistem hukum positif kadang kala juga tidak seiringan dengan perlakuan masyarakat dimana hukum positif itu bekerja.

Kalangan ahli hukum pada satu pihak sangat mengedepankan prinsip ini, bahkan tidak jarang memperlakukannya seperti berhala yang sangat suci, sehingga sampai-sampai seseorang yang tertangkap tangan oleh aparat penegak hukum dan disaksikan oleh banyak orang tengah mencuri di rumah orang lain dengan barang bukti hasil curian ditangannya, harus tetap “dianggap” dan “diperlakukan” sebagai seseorang yang tidak bersalah seperti laiknya seorang Santo/Wali. Sebaliknya masyarakat (yang dalam hal ini diwakili oleh media massa) baru saja mendengar “isu” tentang keterlibatan seseorang dalam suatu kasus korupsi (dan bahkan  orang tersebut belum lagi berstatus Tersangka), telah “dianggap” dan “diperlakukan” sebagai orang yang bersalah telah melakukan Tindak Pidana Korupsi. Ini adalah fakta empirik yang terjadi ditengah masyarakat kita.

Sedemikian jauhnya rentang perbedaan pemahaman tentang asas praduga tak bersalah ini (khususnya “perlakuan tidak bersalah”) yang terjadi di antara para ahli hukum dan masyarakatnya. 
Mengapa hal ini terjadi? 

Ketika “praduga tak bersalah” ini dijadikan sebagai asas hukum pidana materiel positif, maka tidak keseluruhan unsur dari pengertian umum “praduga tak bersalah” diakomodir oleh hukum acara pidana positif.

Unsur pertama, yakni “anggapan tidak bersalah” sama sekali tidak diakomodir oleh sistem Hukum Pidana Formil (Hukum Acara)  positif, karena memang wilayah kerja hukum positif tidak menjangkau aspek “anggapan” yang hidup di pikiran warga masyarakat. Dan juga hukum positif tidak dapat mengatur “anggapan” warga masyarakat. 

Seperti pada contoh di atas tentang pencuri yang tertangkap tangan dan disaksikan oleh banyak warga. Bagaimana mungkin melarang warga yang menyaksikan peristiwa itu untuk tidak beranggapan bahwasa orang yang tertangkap itu adalah tidak bersalah padahal telah melakukan pencurian.

Dengan demikian adalah sah-sah saja jika “anggapan bersalah” tersebut hidup ditengah kehidupan masyarakat, Meskpipun , kecenderungan dikalangan ahli hukum bahwa “anggapan bersalah” yang ada sebelum adanya putusan hukum yang tetap, dinilai sebagai dosa besar yang mungkin sejajar dengan dosa syirik dalam agama.

Padahal aparat penyidik sekalipun memulai penyidikannya berdasarkan “anggapan bersalah” ini. Artinya aparat penyidik memulai penyidikan berdasarkan “ bukti awal” yang diperoleh dari kegiatan “penyelidikan” yang menyimpulkan “seseorang itu patut diduga kuat (dianggap) telah melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum”.

Singkatnya, “anggapan bersalah” adalah sah ditinjau dari kacamata hukum bilamana hidup baik di kalangan ahli hukum (termasuk aparat penegak hukum) sekalipun maupun di kalangan warga awam hukum.

Kemudian unsur kedua yakni “memperlakukan seseorang sebagai  tidak bersalah dalam proses hukum”, ternyata juga tidak diakomodir secara sempurna oleh hukum acara pidana. Bahkan di dalam prakteknya, pelaksanaan “perlakuan tidak bersalah” justru menjadi  perwujudan sikap “perlakuan sudah bersalah”.
Buktinya, penyidik dan penuntut  mempunyai kewenangan untuk menahan dan mencekal Tersangka atau Terdakwa. Apakah seseorang yang tidak bersalah boleh ditahan atau dicekal? Tentunya TIDAK ! . Kita perlu ingat bahwa “kebebasan” merupakan unsur yang hakiki dari HAM, disamping hak untuk hidup. Dan bukankah Tersangka dan Terdakwa menurut azas “praduga tak bersalah” wajib diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah, tetapi justru oleh Hukum Formil diperlakukan sebagai orang yang sudah bersalah? Dan ini semuanya bukanlah merupakan penyimpangan atau penyelewengan, tetapi justru merupakan kewenangan aparat penegak hukum yang diatur didalam hukum (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana / KUHAP) yang merupakan bagian integral dari hukum positif itu sendiri. Singkatnya hukum positif mewajibkan perlakuan tidak bersalah, tetapi hukum positif juga memberikan wewenang untuk memperlakukan seseorang Tersangka sebagai sudah bersalah. 

Bukankah keadaan ini saling bertentangan? Ini hanyalah salah satu contoh saja di mana hukum positif buatan manusia tidak luput dari kelemahan di dalam keberadaannya sendiri. Di dalam Teori Hukum hal seperti ini dinamakan “unsur kontradiktif dalam hukum positif”.

Hak aparat penegak hukum untuk melakukan penahanan terhadap Tersangka/Terdakwa memang merupakan salah satu titik crusial di dalam penerapan azas praduga tak bersalah, karena pada satu pihak jelas bertentangan dengan azas termaksud, tetapi di lain pihak hak penahanan tersebut merupakan kewenangan penegak hukum yang sah menurut hukum positif yang berlaku. Padahal menurut Teori Hukum, suatu norma hukum positif tidak boleh bertentangan dengan azas hukum materiel. 
Masalah penahanan Tersangka/Terdakwa ini selain mengandung masalah dari segi Teori Hukum, ternyata juga membawa masalah yang lebih besar lagi pada tataran penerapannya. 

Hak aparat penegak hukum untuk melakukan penahanan Tersangka/Terdakwa menurut ketentuan Hukum Acara Pidana Positif dapat dilaksanakan sepanjang memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan secara limitatif, yaitu : 1. Untuk mencegah Tersangka/Terdakwa menghilangkan barang bukti.

2. Untuk mencegah Tersangka/Terdakwa mengulangi lagi perbuatan yang dituduhkan.

 3. Untuk mencegah Tersangka/Terdakwa melarikan diri selama proses hukum berlangsung. 

Tetapi di dalam prakteknya kewenangan melakukan penahanan ini justru dianggap sebagai “Hak Subyektif” aparat penegak hukum, sehingga mengabaikan persyaratan yang ditetapkan oleh hukum. Sehingga tidaklah mengherankan apabila di dalam prakteknya kewenangan untuk melakukan penahanan terhadap Tersangka (khususnya tersangka Korupsi) diterapkan secara berbeda antara Tersangka yang satu dengan Tersangka lainnya. Atau dapat juga dikatakan bahwa di dalam prakteknya penerapan kewenangan Penahanan atas Tersangka (Kasus Korupsi)  dilakukan secara “tebang pilih”, karena tergantung pada penilaian subyektif aparat penegak hukum (petugas penyidik).

Sebagai akibat praktek “tebang pilih” di dalam pelaksanaan penahanan terhadap Tersangka Korupsi ini, maka tidaklah mengherankan apabila kemudian berkembangan di masyarakat anggapan tentang adanya praktek kotor berkaitan dengan hal ini. Di mana penahan terhadap seorang Tersangka bukan lagi didasarkan pada persyaratan yang ditetapkan oleh Hukum (sebagaimana telah dikemukakan di atas), tetapi tergantung pada kesediaan si Tersangka untuk memberikan imbalan dalam bentuk materiel/uang kepada aparat penegak hukum (petugas penyidik), atau tergantung pada kedekatan hubungan antara si Tersangka dengan pihak-pihak yang berkuasa.

Kembali kepada masalah “asas praduga tak bersalah”, menurut pendapat saya berdasarkan uraian di atas, maka pemahamannya sangatlah terbatas, yakni sepanjang “diakuinya hak-hak Tersangka/Terdakwa melakukan/ memperoleh pembelaan atas dirinya terhadap tuduhan bersalah yang ditujukan kepada yang bersangkutan. Inilah sesungguhnya makna dari “perlakuan tidak bersalah”.

Sekian

21 Maret 2023
* Mantan Pengajar Sejarah Hukum
Dan Teori Hukum Bidang Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana UI dan
Univ. Jayabaya Jakarta

Komentar