OPINI
Memahami Indonesia sebagai Negara Hukum (Rechtsstaat) Bukan Negara Berdasarkan Kekuasaan Belaka (Mchtsstaat)

Oleh: Muchyar Yara *
Negara Hukum per definisi?
Berawal dari Glorious Revolution (1688) di Inggris, maka gagasan dan pemikiran tentang ‘Negara hukum’ atau ‘rechtsstaat’ atau ‘rule of law’ terus berkembang dan secara berantai diakui serta diterima oleh bangsa demi bangsa di dunia. Meskipun penerimaan dan pengakuan “negara hukum” antara bangsa yang satu dengan yang lainnya belum tentu sama. Sehingga pemahaman atas apa yang dimaksud dengan ‘negara hukum’ sangat bervariasi dan sulit sekali dirumuskan dalam satu definisi yang memuaskan. Tetapi memang untuk apa kita berlelah-lelah berupaya merumuskan definisi bagi pengertian ‘negara hukum’, apabila pada akhirnya juga tidak akan memuaskan. Sehingga adalah jauh lebih bermanfaat untuk merumuskan ciri-ciri dari ‘negara hukum’ yang diterima secara universal, dari pada hanya sekedar merumuskan definisinya.
Ciri umum suatu negara hukum secara tepat sekali telah dikemukakan di dalam Penjelasan UUD 1945 (Aseli) tentang Sistem Pemerintahan Negara angka 1, yang rumusannya dipakai sebagai judul tulisan ini, dimana “ciri umum sebuah negara hukum adalah bukan negara yang berdasarkan kekuasaan semata” (belaka), hal ini berarti juga ciri umum negara hukum bersifat negatif, dalam artian bukan negara kekuasaan. Sehingga untuk mengetahui ciri umum negara hukum, harus erlebih dahulu diketahui ciri umum negara kekuasaan, yaitu:
1. Absolutisme,yaitu di negara yang bersangkutan pemegang kekuasaan berkuasa mutlak (tidak terbatas) dan tidak dibatasi oleh tanggung jawab kepada rakyatnya. Jika kekuasaan mutlak ini dipegang oleh satu orang (Raja Absolut atau Diktatur) sehingga absolutisme dinamakan juga autoritarisme/otoritarian, tetapi jika kekuasaan mutlak itu dipegang oleh beberapa orang atau sekelompok orang dinamakan Oligarkhi.
2. Totalitarisme,penguasaan seluruh aspek kehidupan masyarakat oleh negara atau oleh pepemgang kekuasaan absolut/
Berangkat dari ciri negara kekuasaan diatas, dapat dirumuskan ciri-ciri umum suatu negara hukum, yang antara lain adalah sebagai berikut :
1. Kekuasaan negara atau kekuasaan penguasa dibatasi oleh tanggungjawab kepada rakyat yang dirumuskan di dalam produk-produk hukum, dan
2. Diakuinya dan dilindunginya aspek-aspek kehidupan yang asasi bagi warga masyarakat.
3. Setiap tindakan negara , terutama yang berakibat enerobosan terhadap aspek-aspek kehidupsn yang asasi bagi warga masyarakat harus berdasarkan hukum yang berlaku, atau disebut juga sebagai diakuinya prinsip legalitas.
Di sini hukum yang berlaku tidak hanya sekedar hukum yang dibuat atau dikeluarkan oleh wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga-lembaga pembentuk hukum (Parlemen/DPR), tetapi yang lebih penting lagi bahwa hukum yang berlaku adalah hukum yang benar-benar sesuai dengan rasa perikeadilan dan perikemanusiaan yang hidup secara nyata ditengah-tengah masyarakat.
4. Terjaminnya hak warganegara untuk membela kepentingan-kepentingan terhadap negara/penguasa melalui pengadilan yang merdeka dari campur tangan pemegang kekuasaan negara.
Bertitik tolak dari ciri-ciri umum ‘negara hukum’ di atas, maka bagi saya makna sebuah ‘negara hukum’ adalah sangat sederhana. Yaitu :
1. “tidak ada seorangpun warganegara dapat dicabut nyawanya, disiksa badannya atau dibatasi kebebasannya karena alasan apapun , kecuali atas keputusan pengadilan hukum.
Sehingga jika ada penguasa yang dengan terang-terangan dan dengan ringannya menyatakan di dalam auto biografinya, bahwa pemerintahannya menembak mati (para residivis) serta membuang mayat-mayatnya di pinggir jalan raya untuk schok-teraphy. Ini menandakan di negara tersebut makna negara hukum belum dipahami sama sekali. Bahkan penguasa yang paling absolut di negara kekuasaan sekalipun tidak melakukan tindakan seperti itu.
2. Setiap warganegara dijamin kebebasannya untuk memperjuangkan hak-haknya dan kepentingan-kepentingannya melalui upaya hukum yang sah, dan keputusan hukum berkenaan dengan hal-hal itu dijamin penegakannya.
Sehingga jika ada seorang warganegara yang membela kepentingannya melalui pengadilan, dan kepetingannya itu dimenangkan oleh keputusan tertinggi dari lembaga pengadilan tertinggi yang sah dinegaranya. Tetapi kemudian keputusan lembaga pengadilan tertinggi itu tidak dapat ditegakkan karena terhalang suatu tindakan administratif yang dilakukan oleh penguasa ini menandakan negara tersebut sulit sekali untuk bisa digolongkan sebagai negara hukum‘.
Negara Hukum & HAM.
Kiranya kita sudah cukup banyak mengetahui tentang teori-teori, kajian-kajian maupun uraian-uraian sehubungan dengan 'Hak Asasi Manusia' apalagi sejk dasawarsa terakhir masalah HAM telah menjadi perhatian secara global. Oleh karenanya saya menganggap tidak perlu lagi mengulanginya pada kesempatan ini.
Saya hanya ingin mengemukakan makna HAM dari sudut pandang yang paling sederhana pada kesempatan ini, di mana menurut hemat saya makna pengakuan dan perlindungan HAM adalah apabila di dalam suatu masysrakat warganya tidak dibunuh secara sewenang-wenang, tidak disiksa selama menjalani proses pemeriksaan hukum, tidak dipukuli pada saat melakukan demonstrasi secara damai, dan tidak ditahan/dipenjara tanpa berdasarkan keputusan hukum yang final serta lain-lain peristiwa yang serupa.
Maka jika terjadi peristiwa-peristiwa di atas, maka semua orang baik di Barat maupun di Timur akan mempunyai penilaian yang sama, yaitu pelanggaran HAM telah terjadi.
Bilamana pada suatu negara aspek-aspek yang paling asasi dari aspek-aspek kehidupan warganya seperti yang dicontohkan di atas masih menjadi praktek sehari-hari, jangan berharap hak-hak warganegara yang lebih tinggi tinggkatannya dari itu, seperti hak berserikat, berkumpul dan hak mengeluarkan pendapat dan perlakuan yang sama dimuka hukum akan dihargai, diakui dan dilindungi di negara yang bersangkutan.
Negara hukum dan HAM sudah berjalan berdampingan sejak awal perjuangan menentang absolutisme, sehingga mengedepankan HAM pada satu sisi dan meninggalkan negara hukum pada sisi lainnya, atau senaliknya, hanya akan berakhir berupa kegagalan bagi keduanya.
Faktor yang paling penting di dalam upaya mewujudkan Negara Hukum dan perlindungan HAM adalah faktor kesadaran hukum warga masyarakatnya.
Bilamana warga msyarakatnya tidak merasa perlu mewujudkan Negara Hukum dan melindungi HAM, bagi kepentingan mereka sendiri, maka Negara Hukum dan perlindungan HAM tidak mungkin terjadi, sekalipun kekuasaan negara telah dibatasi sedemikian rupa, dan sekalipun kedua hal ini, yaitu Negara Hukum dan pengakuan serta perlindungan HAM telah tercantum didalam naskah konstitusi serta naskah peraturan perundang-undangan lainnya dinegara yang bersangkutan, karena Negara Hukum dan perlindungan HAM tidak mungkin terwujud dengan sendirinya, Negara hukum dan perlindungan HAM harus diperjuangkan oleh warga masyarakatnya agar terwujud di dalam kehidupan yang nyata, jika warga mayarakatnya justru merasa gembira atas dilaksanakannya penembakan mati para rsidivis (petrus), dan menanggapnya sebagai upaya yang cepat dan effisien dalam rangka membasmi praktek kejahatan (premanisme) yang marak terjadi di tengah masyarakat, katimbang memberantasnya melalui upaya hukum yang lambat, panjang serta tidak pasti pula hasilnya. Maka hal ini berarti juga warga masyarakatnya belum mempunyai kesadran hukum yang tinggi, sehingga bagaimana mungkin suatu Negara Hukum dapat diwujudkan ditengah masyarakat yang warganya jutru tidak atau belum menghargai hukum?
Kiranya perlu diingatkan kembali di sini, bahwa hukum yang tercetak atau tercantum didalam konstitsi atau kitab-kitab hukum ataupun peraturan perundang-undangan yang tercetak di dalam Lembaran Negara, adalah merupakan kata-kata yang mati yang tidak bisa bergerak atau berbuat apa-apa. Kata-kata itu baru dapat melahirkan akibat-akibat jika dijalankan/dilaksanakan oleh orang-orang/manusia (petugas hukum). Demikian juga dengan Negara hukum dan perlindungan HAM, ia akan tetap tinggal di dalam naskah konstitusi sebagai kata-kata yang mati. Untuk menghidupkan, menjalankan dan mewujudkannya diperlukan orang-orang, dan orang-orang ini merupakan bagian dari masysrakatnya. Sehingga jika kesadaran hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakatnya rendah, maka konsekwensinya orang-orang yang menggerakkan hukum (aparat penegak hukum) itu juga terdiri dari orang-orang yang keasadaran hukumnya rendah.
Rechtsstaat versus Welfare State.
Welfare State atau disebut juga sebagai Negera berkesejahtraan adalah sebuah konsep/gagasan tentang negara yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan warganya.Welfare State bisa merupakan negara hukum atupun negara kekuasaan. Korea Selatan dimasa Presiden Park chung Hee dapat digolongkan sebagai Negara kekuasaan dan sekaligus welfare state. Disini artinya kekuasaan absolut yang dimiliki penguasanya dipergunakakan untuk melakukan kegiatan pembangunan yang bertujuan meningkatkan kesejhateran wrakyat. Demikian juga Indonesia di masa Presiden Soeharto, di mana dengan dilaksanakannya program pembangunan lima tahunan (Repelita) dapat digolongkan sebagai machsstaat plus welfare State. Dinegara Machsstaat, pelaksanaan fungsi Welfare State tidak menimbulkan problematik. Sementara dinegara Hukum pelaksaan fungsi welfare state acapkali menimbulkan masalah. Di mana untuk melaksanakan fungsinya Welfare State, negara memerlukan tambahan kekuasaan (kekuasaan negara bertambah besar), sementara Negara hukum senantisa cenderung membatasi kekuasaan negara.
Dari sudut Welfare State diperlukan kekuasaan yang besar, karena kekuasaan yang terbatas akan menghalangi atau memperlmabat pencapaian tujuan meningkatkan kesejahteraan warga masyarakat, Setiap warga bergerak diperlukan izin tertentu dari negara, mau mendirikan bangunan perlu mendapat IMB, mau melakukan kegiatan usaha diperlukan Izin Usaha. Dimana kesemuanya ini dimaksudkan untuk menciptakan ketertiban dalam interaksi antara warga nemasyarakat agar dapat diarahkan sejalan dengan tujuan negara meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
Dilain pihak dari sudut Negara hukum, kekuasaan negara yang semakin besar justru berpotensi membahayakan kepentingan-kepenting warga masyarakatnya. Contohnya dapat dikemukakan disini adalah diberlakukakannya UU Cipta Kerja (UU Omnibus Law), diamana pada satu pihak melalui UU ini pemerintah mendapat kewenangan mensinkronnisasikan dan mengkoordininasikan serta meningkatkan kegiatan pembangunan , mellaui peningkatkan dan penyederhanana prosedur investasi, tetapi dilain pihak UU ini dinilai merugikan kepentingan kaum buruh lokal. Kemudian terlihat tarik menarik antara kepentingan warga msyarakat (buruh lokal) dengan pemerintah. Kaum buruh melakukan demonstrasi menentang keberlakukan UU Cipta Kerja ini, dilainnya pihak pemerintah meneguhkan keberlakuan UU tersebut melalui penerbitan Perppu.
Contoh lainnya terjadi di Indonesia, di kawasan Jakarta kota (Glodok/kota Tua) pada dekade tahun 70’an,(awal orde baru), dimana Pemda DKI berencana untuk meningkatkan kegiatan ekonomi/perdagangan berencana melakukan pelebaran jalan raya, akibatnya banyak rumah dan bangunan milik warga yang harus dibongkar (tanpa ganti rugi). Sebuah penginapan/restaurant kecil (namanya kalau tidak salah “Shin Poe”) menolak rencana Pemda DKI tersebut dan megajukan gugatan kepengadilan, dan pengadilan memenangkan gugatan tersebut dan memutuskan Pemda DKI tidak diperkenankan membongkar rumah dan bangunan milik penduduk tanpa ganti rugi. Tetapi karena pada waktu itu Indonesia masih merupakan Machsstaat , Gubernur DKI pada saat itu Letjen (Mar) Ali Sadiking menyatakan “Pembangunan di depan, hukum dibelakang!!!”. Akhirnya bangunan tersebut tetap dibongkar tanpa ganti rugi.Kasus ini sangat terkenal pada waktu itu dan menjadi bahan kuliah di Fakultas Hukum UI.
Peristiwa serupa banyak terjadi di masa Orde Baru, di mana setiap upaya melindungi hak wara negara akan dicap sebagai “Anti Pembangunan, maklum pada masa itu negara Indonesia masih merupakan negara kekuasaan (Machtsstaat), sehingga kepentingan Welfare State selalu dimenangkan.
Masalahnya akan berbeda jika hal ini terjadi di Negara Hukum, masalah seperti ini harus diselesaikan melalui putusan pengadilan yang memakan waktu panjang, sehingga target Wefare State dapat tertunda.
Tetapi mulai satu dasawarsa di akhir Orde baru, Penguasa absolut yang berpegang pada Machtsstaat mulai melunak dan secara perlahan dan bertahap mulai mengakomodir prinsip-prinsip Negara hukum, dimana setiap pembongkaran milik rakyat harus dibayar ganti ruginya dengan harga yang disepakati bersama.
Oleh karenanya didalam sebuah Negara Hukum yang menjalan fungsi Wefare State perlu ditentukan secara tepat batas-batas kekuasaan negara, agar pada satu pihak dapat menjalankan peranannya dalam rangka Wefare State dan pada pihak lainkekuasaan itu tidak cukup besar untuk melindas kepentingan-kepentingan warga masyarakat yang wajib dilindungi dalam ranga Negara hukum. Batas-batas kekuasaan negara juga tidak bersifat statis, karena dari waktu kewaktu akan berubah sesuai dengan perkembangan kebutuhan, dan setiap kali pula batasn-bataan itu harus ditetapkan secara tepat. Ini merupakan persoalan yang sangat rumit yang dihadapi Negara Hukum yang juga menjalankan fungsi Welfare State.
Apakah Indonesia merupakan Negara Hukum?
Seperti yang telah dikemukakan secara sekilas diatas, bhawa pada 1 dasawarwa diakhir masa Orde Baru, sikap penguasa yang Otoriter (Presiden Soeharto), mulai melunak, negara Mavhtsstaat mulai secara perlahan dan bertahap mulai mengakui dan menerima ciri Negara hukum, diantaranya :
1. Menerbitkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dimana hak-hak warganegara yang sedang menjalani proses hukum mulai diakui dan dilindungi;
2. Para ex G.30.S/PKI yang ditahan di Pulau Buru tanpa proses hukum mulai dibebaskan;
3. Kebebasan berpendapat mulai secara perlahan di akui ;
4. Pengadilan dibebaskan dari pengaruh penguasa (eksekutif)
5. Dibentuknya Pengadilan Tata Usaha Negara, dimana warga negara dapat membela kepentingannya trehadap perbuatan melawan hukum yang dilakukan penguasa (perorangan atau badan)
6. Didirikannya Komisi Pemberantas Korupsi (KPK);
7. Izin bepergian keluar negeri (exit permit) dihapuskan ,
namun sayang perubahan sikap penguasa otoriter yang positif kearah pengakuan terhadap ciri-ciri Negara hukum, mengalami kemunduran kembali ketika dilakukanya operasi Petrus .
Setelah Indonesia memasuki era reformasi, ciri-ciri negara hukum hampir seluruhnya diakui, seperti hak berserikat (mendirikan partai politik kembali dibukan dan dihargai, kebebasan berpendapat demikian pula, pemilu dilaksanakan secara periodik 5 tahun sekali, demikian, sehingga dapat disimpulkan setelah memasuki era reformasi Indonesia dapat dilihatkan sepenuhny sebagai Negara Hukum.
Namun patut disayangkan pada masa pemerintahan Presiden Jokowin ciri-ciri Negara hukum mengalami kemunduran, di mana beberapa warganegara yang mengeluarkan pendapatnya yang berbeda dengan pendapat penguasa, ditahan tanpa proses hukum yang berlaku. Penguasa membubarkan organisasi masyarakat, seperti HTI dan FPI tanpa proses hukum yang berlaku. Ini berarti penguasa telah meninggalkan prinsip atau asas legalitas dan perlindungan HAM, yang merupakan ciri penting suatu Negara hukum.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kondisi Negara hukum Indonesia belum ajeg/mantap/konstan ada kalanya ciri-ciri tertentu 'negara hukum' mengalami penurunan dalam kualitasnya pada satu sisi dan disi lainnya ciri negara kekuasaan mengalami penguatan, oleh karenanya pada saat kondisi negara hukum mengalami penurunan seperti yang terjadi pada saat ini, diharapkan
warga masysrakat kembali saling bekerjasama memperjuangkan penguatannya, agar kondisi Negara Hukum menjadi ajeg.
Wacana yang meluas di tengah masyarakat tentang pengunduran pelaksanaan Pemilu dan masa jabatanPresiden 3 periode bisa jadi merupakan isyarat awal menurunnya kualitas Negara hukum.
Dan apabila penurunan kualitas negara hukum ini dibiarkan, maka bukannya tidak mungkin Indonesia berubah lagi menjadi Negara Kekuasaan seperti yang pernah terjadi dimasa Orde Baru.
Sekian dan terima kasih.
16 Maret 2023.
* Mantan Pengajar Sejarah hukum & Teori Hukum
Bidang studi Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan
Universitas Jayabaya-jakarta.
Komentar