Sabtu, 18 Mei 2024 | 15:29
NEWS

Kuliah Umum Unpad, Prof. Rokhmin Dahuri: Potensi Blue Economy Sangat Besar Atasi Permasalahan Bangsa

Kuliah Umum Unpad, Prof. Rokhmin Dahuri: Potensi Blue Economy Sangat Besar Atasi Permasalahan Bangsa

ASKARA - Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran menyelenggarakan Kuliah Umum “Blue Economy Sebagai Pondasi Bangsa” di Auditorium Bale Santika, Kampus UNPAD, Jatinangor, Jumat, 10 Maret 2023. Kuliah Umum mengambil tema “Peran dan Kontribusi Universitas (Perguruan Tinggi) Bagi Pembangunan Ekonomi dan Peradaban Manusia.

Dalam kesempatan itu, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS menjelaskan tentang Peran dan Kontribusi Universitas (Perguruan Tinggi) Bagi Pembangunan Ekonomi dan Peradaban Manusia.

“Universitas telah berperan dan berkontribusi sangat signifikan bagi pembangunan peradaban umat manusia pada umumnya, dan pembangunan ekonomi (economic development) pada khususnya,” ujar Prof. Rokhmin Dahuri saat memberikan kuliah umum bertema “Blue Economy Sebagai Pondasi Perekonomian Bangsa  Untuk Peningkatan Daya Saing Dan Pertumbuhan Ekonomi Yang Berkualitas Dan Inklusif Secara Berkelanjutan Menuju Indonesia Emas 2045”.

Sejak pertama kali berdirinya Universitas di dunia, Bayt Al-Hikmat di Bagdhad (Wallace-Murphy, 2017), melalui 3 tugas-fungsi  (domain) utamanya (Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Kepada Masyarakat/Community Services).

“Bahkan, perekonomian; pendidikan; interaksi sosial, politik, dan budaya berjalan atas dasar persaudaraan karena Allah, Tuhan Pencipta Alam Semesta. Agama, keyakinan, jiwa, harta, dan hak-hak sipil warga non-muslim dilindungi oleh Negara Islam,” paparnya.

Lanjutnya, peran utama Universitas dalam mendukung pembangunan ekonomi dilaksanakan melalui akselerasi inovasi dan kewirausahaan (entrepreneurship) (Yusuf and Nabeshima, 2007).

Disamping itu, kehidupan sosial berlangsung secara harmonis, anak-anak yatim terpelihara, yang kaya membantu dan memberdayakan (empowering) yang miskin, yang miskin tidak iri terhadap yang kaya dan bekerjasama dengan yang kaya dengan mengeluarkan kemampuan terbaiknya.

Namun, seiring dengan semakin masifnya bukti-bukti empiris bahwa Paradigma Pembangunan Konvensional (Kapitalisme) telah gagal mensejahterakan warga dunia, mengurangi kesenjangan kaya vs miskin, dan menjaga kelestarian SDA dan LH.

Maka, sejak 1976 Konferensi PBB tentang Pembangunan dan Lingkungan di Stockholm, Swedia, dilanjutkan dengan The UN Millennium Development Goals tahun 2000, dan terakhir The UN Sustainable Development Goals (SDGs) pada 2030.

“Pembangunan ekonomi yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi dan menumpuk kekayaan individual (Kapitalisme) diganti dengan pembangunan Ekonomi Berkelanjutan (Sustainable Economic Development),” terang Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020 – Sekarang.

Pada prinsipnya, kata Prof. Rokhmin Dahurti,  pembangunan ekonomi berkelanjutan merupakan paradigma (model) ekonomi yang menyelaraskan pertumbuhan ekonomi, inklusi sosial, dan perlindungan lingkungan (Crawley, et.al., 2020).

Pembangunan ekonomi berkelanjutan terjadi ketika ada “kemakmuran dan peluang ekonomi, dan kesejahteraan sosial” sementara pada saat yang sama menyediakan “perlindungan lingkungan” (Perserikatan Bangsa-Bangsa, 2019).

Selanjutnya, Prof. Rokhmin Dahuri menguraikan peran dan kontribusi disiplin ilmu bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan. Antara lain: STEM (Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika): produk berbasis teknologi, peralatan industri, teknologi proses, sistem, dan layanan; Bisnis, Ekonomi, dan Hukum: model pemasaran, model bisnis, manajemen organisasi, pekerjaan yang stabil, keadilan sosial, masyarakat meritokrasi, dan pengaturan kelembagaan;

Ilmu sosial (Psikologi, Sosiologi, Antropologi, dan Ilmu Politik): kebijakan sosial berbasis bukti; Kedokteran: terutama mendukung kesejahteraan sosial; Arsitektur dan Perencanaan Kota: membangun ruang dan kota, juga berkontribusi pada seni dan budaya.

Maka, Prof. Rokhmin Dahuri optimis Indonesia memiliki potensi (modal dasar) pembangunan yang sangat besar dan lengkap untuk menjadi negara-bangsa yang maju, adil-makmur, dan berdaulat (Indonesia Emas). “Potensi tersebut tidak lain adalah sektor Kelautan dan Perikanan (Blue Economy),” tandasnya.

Permasalahan Dan Tantangan Menuju Indonesia Emas 2045

Pertama kali dalam sejarah NKRI Pada tahun 2019 angka kemiskinan lebih kecil dari 10 persen. Namun, dampak dari pandemi Covid-19, pada 2022 tingkat kemiskinan meningkat lagi menjadi 9,6% atau sekitar 26,4 juta orang. Hingga Juli 2022, Indonesia masih sebagai negara berpendapatan menengah bawah.

Dijelaskan Prof Rokhmin Dahuri, Indonesia memiliki empat modal dasar pembangunan dengan jumlah penduduk 278 juta orang dengan jumlah kelas menengah yang terus bertambah dan dapat bonus demografdi dari 2020 – 2040,  merupakan potensi daya saing dan pasar domestik yang luar biasa besar melalui kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) baik di darat maupun di laut.

Bahwa posisi geoekonomi dan geopolitik yang sangat strategis, dimana 45% dari seluruh komoditas dan produk dengan nilai 15 trilyun dolar AS/tahun dikapalkan melalui ALKI (Alur Laut Kepulaun Indonesia) (UNCTAD, 2012). Selat Malaka (ALKI-1) merupakan jalur transportasi laut terpadat di dunia, 200 kapal/hari.

Kemudian, rawan bencana alam (70% gunung berapi dunia, tsunami, dan hidrometri). “Mestinya sebagai tantangan yang membentuk etos kerja unggul (inovatif, kreatif, dan entrepreneur) dan akhlak mulia bangsa,” terangnya.

Lalu, Prof Rokhmin menjelaskan, sejumlah permasalahan  dan tantangan pembangunan kelautan dan perikanan. Antara lain: 1.Pertumbuhan Ekonomi Rendah (< 7% per tahun), 2. Pengangguran dan Kemiskinan, 3. Ketimpangan ekonomi terburuk ke-3 di dunia, 4. Disparitas pembangunan antar wilayah, 5. Fragmentasi sosial: Kadrun vs Cebong, dll, 6. Deindustrialisasi, 7. Kedaulatan pangan, farmasi, dan energy rendah, 8. Daya saing & IPM rendah, 9. Kerusakan lingkungan dan SDA, 10.Volatilitas globar (Perubahan iklim, China vs As, Industry 4.0).

Sedangkan perbandingan pertumbuhan ekonomi, pengangguran, kemiskinan, dan  koefisien Gini antara sebelum dan saat masa Pandemi Covid-19. Perhitungan angka kemiskinan atas dasar garis kemiskinan versi BPS (2022), yakni pengeluaran Rp 550.000/orang/bulan. Garis kemiskinan = Jumlah uang yang cukup untuk seorang memenuhi 5 kebutuhan dasarnya dalam sebulan.

Sementara, menurut garis kemiskinan Bank Dunia (2 dolar AS/orang/hari atau 60 dolar AS (Rp 900.000)/orang/bulan), jumlah orang miskin pada 2022 sebesar 100 juta jiwa (37% total penduduk). “Indonesia menduduki peringkat ke-3 sebagai negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi (terburuk) di dunia,” terang Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2001 – 2004 itu.

Menurut laporan Credit Suisse’s Global Wealth Report 2019, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 44,6% kue kemakmuran secara nasional, sementara 10% orang terkaya menguasai 74,1%. “Kekayaan 4 orang terkaya (US$ 25 M = Rp 335 T) sama dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin (40% penduduk) Indonesia,” kata Prof. Rokhmin Dahuri mengutip Oxfam.

Bahkan, lanjutnya, sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan nasional (KPA, 2015). Sekarang 175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh para konglomerat (korporasi) nasional dan asing (Institute for Global Justice, 2016).

Dalam hal, terangnya, ketimpangan ekonomi (penduduk kaya vs miskin), Indonesia merupakan negara terburuk ketiga di dunia, dimana 1% (satu persen) penduduk terkayanya memiliki total kekayaan sama dengan 45% total kekayaan negara. Yang terburuk adalah Rusia, dimana satu persen orang terkayanya memiliki total kekayaan sama dengan 58,2% kekayaan negara. Disusul Thailand, sekitar 54,6% (Oxfam International, 2021).

Kekayaan 4 orang terkaya Indonesia (US$ 25 M = Rp 335 T) sama dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin (40% penduduk) Indonesia (Oxfam International, 2017). Sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan nasional (KPA, 2015). “Institute for Global Justice menyebutkan, sekitar 175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh para konglomerat (korporasi) nasional dan asing,” ungkap Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Tak kalah rumitnya, lanjut Prof. Rokhmin Dahuri, permasalahan bangsa lainnya adalah disparitas pembangunan antar wilayah. Pulau Jawa yang luasnya hanya 5,5% total luas lahan Indonesia dihuni oleh sekitar 55% total penduduk Indonesia, dan menyumbangkan sekitar 59% terhadap PDB (Produk Domestik Bruto).

Sejak krisis multidimensi 1997 – 1998, Indonesia mengalami deindustrialisasi, yakni suatu kondisi perekonomian negara, dimana kontribusi sektor manufakturing (pengolahan) nya sudah menurun, tetapi GNI  (Gross National Income) per kapitanya belum mencapai 12.536 dolar AS (status negara makmur). “Pada 1996 kontirbusi sektor manufacturing terhadap PDB Indonesia sudah mencapai 29%, tapi tahun 2020 kontribusinya hanya sebesar 19%Padahal, seperti sudah saya sebutkan diatas, GNI perkapita,” tandasnya.

Yang sangat mencemaskan adalah bahwa 30% anak-anak kita mengalami stunting, 17,7% bergizi buruk, dan 10,2% berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi (Kemenkes dan BKKBN, 2022). Apabila masalah krusial ini tidak segera diatasi, maka generasi penerus kita akan menjadi generasi yang lemah fisiknya dan rendah kecerdasannya (a lost generation).

Resultante dari kemiskinan, ketimpangan ekonomi, stunting, dan gizi buruk adalah IPM Indonesia yang baru mencapai 72 tahun lalu. “Padahal, menurut UNDP sebuah bangsa bisa dinobatkan sebagai bangsa maju dan makmur, bila IPM nya lebih besar dari 80,” katanya.

Biaya yang diperlukan orang Indonesia untuk membeli makanan bergizi seimbang (sehat) sebesar Rp 22.126/hari atau Rp 663.791/bulan. Harga tersebut berdasarkan pada standar komposisi gizi Helathy Diet Basket (HDB) (FAO, 2020). “Atas dasar perhitungan diatas; ada 183,7 juta orang Indonesia (68% total penduduk) yang tidak mampu memenuhi biaya teresebut (Litbang Kompas, 2022 di Harian Kompas, 9 Desember 2022),” terang Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Masalah lainnya, Prof. Rokhmin Dahuri mengatakan, kekurangan rumah yang sehat dan layak huni dari 45 Juta rumah tangga masih 61,7 % rumah tidak layak huni. Padahal, perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia (human basic needs) yang dijamin dalam Pasal 28, Ayat-h UUD 1945. “Hingga 2021, Indeks Pembangunan Manusia Indonesia berada diurutan ke-114 dari 191 negara, atau peringkat ke-5 di ASEAN,” katanya.

Penyebab Ketertinggalan Indonesia

Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS menyebutkan ada beberapa  faktor yang menyebabkan Indonesia tertinggal dibandingkan sejumlah bangsa lain. “Penyebab ketertinggalan Indonesia itu ada fakrtor internal, ada pula faktor eksternal,” katanya.

Faktor internal tersebut, sambungnya, yaitu belum ada road map pembangunan nasional yang komprehensif, tepat, dan benar yang dilaksanakan secara berkesinambungan; kualitas SDM (pengetahuan, keterampilan, keahlian, kapasitas inovasi, dan etos kerja) dan kapasitas Iptek masih rendah; serta khlak belum baik (susah kerja sama, tidak amanah, dan hedonis). “Selain itu, negara kita defisit pemimpin yang capable, negarawan, dengan Imtaq kokoh,” kata Anggota Dewan Pakar ICMI Pusat 2022 – 2026 itu.

Adapun faktor eksternal, kata dia, antara lain  keserakahan bangsa-bangsa maju dan kapitalisme cenderung menjajah secara ekonomi negara berkembang. “Juga, disrupsi akibat kemajuan Iptek  yang sangat pesat (industri 4.0), perubahan iklim global,  pandemi Covid-19, dan pertarungan ideologi,” paparnya.

Prof Rokhmin menyayangkan,  hampir semua indikator yang terkait dengan kapasitas Iptek, riset, inovasi, dan kualitas SDM bangsa Indonesia masih rendah (tertinggal). “Implikasi dari rendahnya kualitas SDM, kapasitas riset, kreativitas, inovasi, dan entrepreneurship adalah proporsi ekspor produk manufaktur berteknologi dan bernilai tambah tinggi hanya 8,1 persen. Selebihnya,  91,9 persen berupa komoditas (bahan mentah) atau SDA yang belum diolah.  Sementara, Singapura mencapai 90 persen, Malaysia 52 persen, Vietnam 40 peren, dan Thailand 24 persen,” urainya mengutip data UNCTAD dan UNDP, 2021.

Selain itu, jelasnya, kualitas SDM (knowledge, skills, expertise, kapasitas inovasi, etos kerja, nasionalisme, dan akhlak) relatif rendah. Sistem politik demokrasi liberal (Kapitalisme) yang sarat dengan politik uang dan kemunafikan, keadilan dan penegakkan hukum buruk, dan KKN massif. Belum ada pemimpin yang capable, negarawan, IMTAQ,  kokoh, dan ikhlas membangun bangsa.

Belum ada “Road Map Pembangunan Nasional yang Komprehensif, Tepat, dan Benar” yang dilaksanakan secara berkesinambungan.  “Sayangnya, hampir semua indikator yang terkait dengan dengan kapasitas IPTEK, Riset, Inovasi, dan Kualitas SDM kita bangsa Indonesia, itu masih rendah (tertinggal),” kata Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu.

Bahkan, sambungnya, dalam riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity (CCSU) pada Maret 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. “Kalah dari negara tetangga seperti Malaysia, Vietnam, Singapura, dan Thailand,” tandas Profesor Emeritus, Shinhan University, Korea Selatan itu.

Hingga 2022, terangnya, peringkat GII (Global Innovation Index) Indonesia berada diurutan ke-75 dari 132 negara, atau ke-6 di ASEAN. Hingga 2019, Indonesia berada diurutan ke-75 dari 137 negara atau peringkat ke-6 di ASEAN.  Pada 2018-2022, indeks daya saing Indonesia semakin menurun, hingga 2022 diurutan ke-44 dari 141 negara, atau peringkat ke-4 di ASEAN.

Implikasi dari Rendahnya Kualitas SDM, Kapasitas Riset, Kreativitas, Inovasi, dan Entrepreneurship adalah: Proporsi ekspor produk manufaktur berteknologi dan bernilai tambah tinggi hanya 8,1%; selebihnya (91,9%) berupa komoditas (bahan mentah) atau SDA yang belum diolah.  Sementara, Singapura mencapai 90%, Malaysia 52%, Vietnam 40%, dan Thailand 24%. (UNCTAD dan UNDP, 2021).

Indonesia negara kepulauan terbesar di dunia, 75% wilayahnya  berupa laut.  Wilayah pesisir dan laut Indonesia mengandung potensi ekonomi berupa SDA terbarukan, SDA tidak terbarukan, dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang luar biasa besar, sekitar US$ 1,4 trilyun/tahun atau 1,3 kali PDB Indonesia dan dapat menciptakan lapangan kerja bagi sedikitnya 45 juta orang (30% total angkatan kerja).

Sebelas sektor Ekonomi Kelautan yang potensi nilai ekonominya US$ 1,4 trilyun/tahun itu dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (> 7%/tahun) dan berkualitas (menyerap banyak tenaga kerja); mengurangi ketimpangan ekonomi; mengurangi disparitas pembangunan antar wilayah; dan memperkuat kedaulatan pangan, energi, farmasi, dan mineral.

Secara geoekonomi dan geopolitik, letak Indonesia sangat strategis, dimana sekitar 45% total barang yang diperdagangkan di dunia dengan nilai ekonomi rata-rata US$ 15 trilyun/tahun dikapalkan melalui laut Indonesia (UNCTAD, 2016). 

Indonesia Negara Bahari Dan Kepulauan Terbesar Di Dunia

Lanjutnya, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang 77% wilayahnya (termasuk ZEEI) berupa laut.  Wilayah pesisir dan laut Indonesia mengandung potensi ekonomi berupa SDA terbarukan, SDA tidak terbarukan, dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang luar biasa besar, sekitar US$ 1,4 trilyun/tahun atau 1,5 kali PDB Indonesia dan dapat menciptakan lapangan kerja bagi sedikitnya 45 juta orang (30% total angkatan kerja).

Sebelas (11) sektor Ekonomi Kelautan yang potensi nilai ekonominya US$ 1,4 trilyun/tahun itu dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (> 7%/tahun) dan berkualitas (menyerap banyak tenaga kerja), mengurangi ketimpangan ekonomi, mengurangi disparitas pembangunan antar wilayah, dan memperkuat kedaulatan pangan, energi, farmasi, dan mineral.

“Secara geoekonomi dan geopolitik, letak Indonesia sangat strategis, dimana sekitar 45% total barang yang diperdagangkan di dunia dengan nilai ekonomi rata-rata US$ 15 trilyun/tahun dikapalkan melalui laut Indonesia (UNCTAD, 2016),” terangnya.

Selat Malaka sebagai bagian dari ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia)-1 merupakan jalur transportasi laut terpendek yang menghubungkan Samudera Hindia dengan Samudera Pasifik. Menghubungkan raksasa-raksasa ekonomi dunia, termasuk India, Timur-Tengah, Eropa, dan Afrika di belahan Barat dengan China, Korea Selatan, dan Jepang di belahan Timur.

ALKI-1 melayani pengangkutan sekitar 80% total minyak mentah yang memasok Kawasan Asia Timur dari negara-negara Timur Tengah dan Afrika.  Jumlah kapal yang melintasi ALKI-1 mencapai 100.000 kapal/tahun.  Sementara, Terusan Suez dan Terusan Panama masing-masing hanya dilewati oleh 18.800 dan 10.000 kapal per tahun (Calamur, 2017).  Pendapatan Otoritas Terusan Suez mencapai rata-rata Rp 220 milyar/hari atau Rp 80,7 trilyun/tahun. 

“Malangnya, sampai sekarang, Indonesia belum menikmati keuntungan ekonomi secuil pun dari fungsi laut NKRI sebagai jalur transportasi utama global,” ujar Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Lautan, Universitas Bremen, Jerman itu.

Karena, menurutnya, lokasi Indonesia sangat strategis di wilayah Indo-Pasifik: 1. Pintu masuk alur pelayaran, 2. Askes ke pasar, 3. Akses ke sumber daya di kawasan Indo-Pasifik. ARLINDO (Arus Lintas Indonesia) yang secara kontinu bergerak bolak-balik dari Samudera Pasifik ke S. Hindia berfungsi sebagai ‘nutrient trap’ (perangkap unsur-unsur hara).

ARLINDO (Arus Lintas Indonesia) yang secara kontinu bergerak bolak-balik dari Samudera Pasifik ke S. Hindia berfungsi sebagai ‘nutrient trap’ (perangkap unsur-unsur hara). Sehingga, perairan laut Indonesia merupakan habitat ikan tuna terbesar di dunia (the world tuna belt), memiliki keanekaragaman hayati laut tertinggi, dan potensi produksi lestari (MSY = Maximum Sustainable Yield) ikan laut terbesar di dunia, sekitar 12 juta ton/tahun (13,3% total MSY ikan laut dunia) (Dahuri, 2004; KKP, 2021; dan FAO, 2022).

Sebagai bagian utama dari ‘the World Ocean Conveyor Belt’ (Aliran Arus Laut Dunia) dan terletak di Khatulistiwa, Indonesia secara klimatologis merupakan pusat pengatur iklim global, termasuk dinamika El-Nino dan La-Nina (NOAA, 1998). 

Kondisi oseanografi, geomorfologi, dan klimatologi NKRI menjadikan Indonesia sebagai pusatnya energi kelautan dunia yang terbarukan (renewable), seperti arus laut, pasang surut, gelombang, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion) yang potensinya mencapai 17,9 GW, dan sampai sekarang baru dimanfaatkan kurang dari 5 persen.

SDA dan ruang pembangunan di daratan semakin menipis atau sulit untuk dikembangkan.  Padahal, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan daya belinya, permintaan akan SDA, ruang pembangunan, dan jasa-jasa lingkungan bakal semakin berlipat ganda.  Laut sebagai ‘development space’: kota, pemukiman, dan kegiatan ekonomi.

Suatu negara-bangsa akan lulus dari jebakan negara-mengah menjadi maju, makmur, dan berdaulat, bila ia mampu mengembangkan keunggulan kompetitif berdasarkan pada keunggulan komparatif nya (Porter, 2013). Bagi Indonesia, keunggulan komparatif utamanya adalah geokonomi, SDA, dan jasa-jasa lingkungan kelautan. 

Sejarah telah membuktikan bahwa kejayaan Emporium Inggris, Amerika Serikat, dan akhir-akhir ini China adalah karena ketiga negara adidaya tersebut menguasai lautan, baik secara ekonomi maupun hankam.  Maka, tepat yang dinubuatkan ahli strategi pertahanan dunia, AT. Mahan (1890), ‘who rules the waves, rules the world’.  Siapa yang menguasai lautan, dia akan menguasai dunia.

Pada dasarnya, Ekonomi Hijau dan Ekonomi Biru telah muncul sejak pertengahan tahun 1980-an sebagai respon untuk mengoreksi kegagalan Paradigma Ekonomi Konvensional (Kapitalisme): Sebelum Pandemi Covid-19; 3 miliar orang miskin, 700 juta orang kelaparan, ketimpangan ekonomi yang melebar, krisis ekologi, dan Pemanasan Global (Bank Dunia, 2020).

Ekonomi Hijau adalah salah satu yang menghasilkan peningkatan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial, sementara secara signifikan mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologis (UNEP, 2012). Ada 2 mahzab Blue Economy (Ekonomi Biru): (1) UNEP, Bank Dunia, dan Lembaga Multilateral Lainnya, dan (2) Gunter Pauli (2010).

Bukti-Bukti Kegagalan Kapitalisme

Dalam 250 tahun terakhir, ekonomi dunia tumbuh sangat tidak seimbang. Misalnya, pada tahun 2010, 388 orang terkaya di dunia memiliki lebih banyak kekayaan daripada seluruh bagian bawah populasi dunia (3,3 miliar orang). Pada tahun 2017, kelompok terkaya yang memiliki kekayaan melebihi separuh penduduk dunia terbawah telah menyusut menjadi hanya 8 orang. Ketimpangan kekayaan yang begitu tinggi tidak hanya terjadi antar negara, tetapi juga di dalam negara (Oxfam International, 2019).

Saat ini, negara-negara maju (kaya) dengan populasi hanya 18% dari populasi dunia mengkonsumsi sekitar 70% energi dunia, yang sebagian besar (87%) berasal dari bahan bakar fosil, yang merupakan faktor utama penyebab Pemanasan Global (IPCC, 2019 ).

Pertumbuhan ekonomi global selama 250 tahun terakhir juga telah menyebabkan degradasi lingkungan secara masif yang mengakibatkan krisis ekologi tiga kali lipat (polusi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan Pemanasan Global) yang didorong oleh kegagalan pasar dan kebijakan yang buruk. Hampir semua negara di dunia mengalami skala penipisan sumber daya alam, pencemaran lingkungan, dan dampak negatif dari Pemanasan Global. Dari tahun 1970 hingga 2018, populasi satwa liar dunia menurun sebesar 68% (WWF, 2023).

Perubahan Iklim Global dapat secara langsung merugikan ekonomi dunia sebesar US$ 7,9 triliun pada pertengahan abad karena meningkatnya kekeringan, gelombang panas, wabah penyakit, banjir, dan gagal panen menghambat pertumbuhan dan mengancam infrastruktur (EIU, 2019). Jika suhu bumi meningkat lebih tinggi dari 1,50C dari pengukuran dasar, maka dampak negatif Pemanasan Global tidak dapat dikendalikan (IPCC, 2019).

Blue Economy adalah penerapan Green Economy di wilayah laut (in a Blue World) (UNEP, 2012). “Ekonomi Biru berarti penggunaan laut dan sumber dayanya untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan” (Uni Eropa, 2019).

Mahzab Lembaga Multilateral

Blue Economy adalah penggunaan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi, peningkatan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan umat manusia, dan  secara simultan menjaga kesehatan serta keberlanjutan ekosistem laut (World Bank, 2016).

Blue Economy adalah semua kegiatan ekonomi yang terkait dengan lautan dan pesisir. Ini mencakup berbagai sektor-sektor ekonomi mapan (established sectors) dan sektor-sektor ekonomi yang baru berkembang (emerging sectors) (EC, 2020).

Blue Economy juga mencakup manfaat ekonomi kelautan yang mungkin belum bisa dinilai dengan uang, seperti Carbon Sequestrian, Coastal Protection, Biodiversity, dan Climate Regulator (Conservation International, 2010)."

Ekonomi Biru, meski mencakup konsep ekonomi berbasis laut, jauh melampaui itu. Ekonomi Biru mengonseptualisasikan lautan sebagai “Ruang Pembangunan” di mana perencanaan tata ruang mengintegrasikan konservasi, pemanfaatan berkelanjutan, ekstraksi kekayaan minyak dan mineral, pencarian bio, produksi energi berkelanjutan, dan transportasi laut.

Ekonomi Biru mendobrak cetakan model pembangunan “coklat” bisnis seperti biasa di mana lautan telah dianggap sebagai sarana ekstraksi sumber daya dan pembuangan limbah secara gratis; dengan biaya eksternalisasi dari perhitungan ekonomi.

Ekonomi Biru akan memasukkan nilai dan jasa laut ke dalam pemodelan ekonomi dan proses pengambilan keputusan.

Ekonomi biru didefinisikan sebagai model ekonomi yang menggunakan: (1) infrastruktur, teknologi, dan praktik hijau, (2) mekanisme pembiayaan yang inovatif dan inklusif, dan (3) pengaturan kelembagaan proaktif untuk memenuhi tujuan kembar melindungi pantai dan lautan, dan pada pada saat yang sama meningkatkan potensi kontribusinya terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan, termasuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologis.(PEMSEA, 2011; UNEP, 2012).

Mahzab Gunter Pauli (2010)

Buku karya Gunter Pauli tersebut mengungkapkan tujuan akhir bahwa "model bisnis Ekonomi Biru" akan mengubah masyarakat dari kelangkaan menjadi kelimpahan "dengan apa yang tersedia secara lokal", dengan mengatasi masalah yang menyebabkan masalah lingkungan dan terkait dengan cara baru.

Ekonomi Biru adalah ekonomi rendah karbon, hemat sumber daya, kompetitif, inklusif, dan berkelanjutan.

Ekonomi Biru adalah sistem ekonomi (paradigma) yang tidak menghasilkan limbah dan emisi, namun menciptakan lapangan kerja, menyumbangkan modal sosial, dan tidak menimbulkan biaya yang lebih tinggi.

Mekanisme kerja Ekonomi Biru pada dasarnya meniru interaksi komponen biotik dan abiotik ekosistem alami yang evolusioner, produktif, dan berkelanjutan, di mana limbah untuk satu komponen menjadi makanan bagi yang lain, dan nutrisi serta energi mengalir dari satu tingkat trofik ke tingkat trofik berikutnya. dengan menerapkan inovasi ramah lingkungan.

Sebagai perbandingan, Ekonomi Hijau mensyaratkan pemerintah, perusahaan atau masyarakat harus berinvestasi lebih banyak, dan konsumen membayar lebih banyak, untuk mencapai hal yang sama atau bahkan lebih sedikit, sembari melestarikan lingkungan.  “Dengan demikian, Ekonomi Biru membahas masalah keberlanjutan yang melampaui sekadar pelestarian. Ini melibatkan regenerasi,” terang Duta Besar Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Korea Selatan itu.

Sedangkan perbedaan antara Red/Brown Economy, Green Economy, dan Blue Economy adalah Karakteristik dan Prinsip-Prinsip Ekonomi Biru efisiensi alam, Bebas Sampah & Sistem siklus produksi, Inklusivitas Sosial, Inovasi dan adaptasi.Potensi Dan Tingkat Pemanfaatan Ekonomi Kelautan Indonesia

“Kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan kegiatan ekonomi di darat (lahan atas)  yang menggunakan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services) yang dibutuhkan umat manusia. Total potensi ekonomi sebelas sektor Kelautan Indonesia: US$ 1,348 triliun/tahun atau 5 kali lipat APBN 2019 (Rp 2.400 triliun = US$ 190 miliar) atau 1,3 PDB Nasional saat ini,” jelas Ketum Dulur Cirebonan (CIAYUMAJAKUNING) tersebut.

Kemudian, Prof. Rokhmin Dahuri mengatakan, untuk lapangan kerja 45 juta orang atau atau 40 persen total angkatan kerja Indonesia. Pada 2014 kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia sekitar 20%.  Negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil (seperti Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia), kontribusinya > 30%.

Prof. Rokhmin Dahuri menyebut, ada 11 sektor ekonomi kelautan yang bisa dikembangkan yakni: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) ESDM, (6) pariwisata bahari, (7) perhubungan laut, (8) industri dan jasa maritim, (9) kehutanan pesisir (coastal forestry), (10) sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, dan (11) SDA kelautan non-konvensional.  " Total potensi ekonomi sebelas sektor Kelautan Indonesia: US$ 1,348 triliun/tahun atau 5 kali lipat APBN 2019  (Rp 2.400 triliun = US$ 190 miliar) atau 1,3 PDB Nasional saat ini," ujarnya.

Pada tahun 2018, sambungnya, kontribusi ekonomi kelautan terhadap PDB Indonesia sekitar 10,4%. Negara-negara lain yang potensi lautnya kurang (seperti Thailand, Korea Selatan, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia), memberikan kontribusi >30%.

Disisi lain, menurut Prof. Rokhmin Dahuri, produksi Perikanan Budidaya (Aquaculture) Indonesia (sekitar 100 juta ton/tahun) terbesar di dunia, dan pada 2021 baru diproduksi (dimanfaatkan) sekitar 19 persen dimana sejak 2009 hingga 2021 Indonesia menjadi produsen Perikanan Tangkap laut terbesar ke-2 di dunia setelah China, dan produsen Perikanan Budidaya terbesar ke-2 di dunia setelah China. “Indonesia mesti menjadi produsen Perikanan Tangkap laut dan Perikanan Budidaya terbesar di dunia, menggeser China pada 2028 atau paling lambat pada 2033,’’ tegasnya.

Kemudian, Prof. Rokhmin Dahuri mengungkapkan Ekonomi Kelautan (Marine Economy). Yaitu, kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan kegiatan ekonomi di darat (lahan atas)  yang menggunakan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services) yang dibutuhkan umat manusia.

Sektor Perikanan, ESDM, dan Wisata Bahari berkontribusi hampir 80% dari total PDB ekonomi biru pada tahun 2021.

Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, sektor kelautan dan perikanan sangat berpotensi untuk meningkatkan kontribusinya secara signifikan bagi terwujudnya Indonesia emas 2045. ”Total potensi lestari SDI Laut Indonesia mencapai 11,68 juta ton, dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan/JTB sebesar 72% atau 8,41 juta ton. Pada 2011-2021, produksi perikanan tangkap laut terus meningkat (rata-rata 2,3% per tahun),’’ sebutnya.

Menurut Prof. Rokhmin Dahuri, produksi Perikanan Budidaya (Aquaculture) Indonesia (sekitar 100 juta ton/tahun) terbesar di dunia. Hingga 2021, produksi perikanan budidaya mencapai 14,65 juta ton dengan dominasi masih dari komoditas Rumput Laut (62%). Jika dibanding tahun 2020, produksi perikanan budidaya hingga 2021 turun 0,7%, dimana kelompok ikan naik 3,1%, sementara rumput laut turun 2,8%.

Sejak 2009-2020, Indonesia menjadi produsen akuakultur terbesar ke-2 di dunia setelah Chin. “Indonesia mesti menjadi produsen Perikanan Tangkap laut dan Perikanan Budidaya terbesar di dunia, menggeser China pada 2028 atau paling lambat pada 2033,’’ tegasnya.

Periode 2017-2021, sambungnya, capaian volume produk olahan hasil perikanan terus meningkat, rata-rata 3,55% per tahun. Periode 2015-2019, angka konsumsi ikan nasional terus meningkat, rata-rata 7,30% per tahun.

Domain Industri Bioteknologi Kelautan

Prof. Rokhmin Dahuri memaparkan sejumlah domain dari bioteknologi kelautan yakni meliputi Ekstraksi senyawa bioaktif (bioactive compounds/natural products) dari biota perairan untuk bahan baku bagi industri nutraseutikal (healthy food & beverages), farmasi, kosmetik, cat film, biofuel, dan beragam industri lainnya.

Kemudian Genetic engineering untuk menghasilkan induk dan benih ikan, udang, kepiting, moluska, rumput laut, tanaman pangan, dan biota lainnya yang unggul serta rekayasa genetik organisme mikro (bakteri) untuk bioremediasi lingkungan yang tercemar.

Adapun roadmap atau peta jalan pengembangan industri bioteknologi kelautan yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Rokhmin Dahuri membeberkan beberapa langkah diataranya adalah:

Pertama, melakukan revitalisasi semua unit usaha industri bioteknologi perairan yang ada saat ini (existing). Kedua, Pengembangan industri pakan (feed) berbasis microalgae. Ketiga, Pengembangan industri pangan fungsional (healthy food & beverages), farmasi, dan kosmetik berbasis macroalgae (rumput laut), microalgae, chitin and chitosan, dan sisik atau kulit ikan.

Keempat, Pengembangan biofuel berbasis microalgae. Kelima, Genetic engineering untuk menghasilkan induk dan benih ikan, udang, kepiting, moluska, rumput laut, tanaman pangan, dan biota lainnya yang unggul, dan keenam, Bioremedasi.

“Mengutip Kawaroe (2013) terdapat 13 spesies microalgae di perairan Indonesia mengandung lemak (senyawa hidrokarbon) yang potensial untuk biofuel. Empat spesies utama: Nannocholoropsis oculata (24%), Scenedesmus (22%), Chlorella (20%), dan Dunaliela salina (15%),” jelasnya.

Selanjutnya, Prof. Rokhmin Dahuri menguraikan isu dan tantangan pembangunan blue economy Indonesia. Yakin: 1. Kecuali sektor ESDM, usaha di sektor-sektor kelautan lainnya (perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan pariwisata bahari) dilakukan secara tradisional (low technology & management) dan berskala Usaha Kecil dan Mikro. Sehingga, tingkat pemanfaatan SD, produktivitas, dan efisiensi usaha (bisnis) pada umumnya rendah. Nelayan dan pelaku usaha lain miskin, dan kontribusi bagi perekonomian (PDB, nilai ekspor, pajak, PNBP, dan PAD) rendah.

2. Investasi dan bisnis sektor kelautan yang besar (korporasi), modern, dan sangat menguntungkan (ESDM, Kawasan Industri, Properti, dll) pada umumnya kurang nasionalismenya. Sebagian besar profit nya dibawa ke Jakarta atau negara asalnya (regional leakage), gaji karyawan rendah, dan lingkungan hidup umumnya rusak.

3. Kecuali perikanan tangkap, tingkat pemanfaatan sektor-sektor ekonomi kelautan lainnya belum optimal (underutilized).Kontribusinya bagi perekonomian bangsa (PDB, nilai ekspor, PNBP, dan lapangan kerja) pun masih rendah (15%).

4. Posisi nelayan dan pembudidaya ikan dalam Sistem Tata Niaga (Rantai Nilai) Perikanan sangat marginal. Nelayan dan Pembudidaya terjebak dalam Kemiskinan Struktural. 5. Rendahnya akses nelayan dan pembudidaya ikan kepada sumber pemodalan (kredit bank), teknologi, infrastruktur, informasi, dan aset ekonomi produktif lainnya, Kemiskinan Struktural.

Kontribusi sektor perikanan 2,74% terhadap PDB hanya dihitung dari bahan baku (raw materials).  Bila dimasukkan produk olahannya (ikan kaleng, ikan fillet, bandeng presto, breaded shrimp, dan surimi-based products), kontribusinya sekitar 6% (Bappenas, 2014).

6. Overfishing di beberapa wilayah perairan, sedangkan di sejumlah wilayah perairan lain mengalami underfishing. 7. Pencemaran, degradasi fisik ekosistem (pesisir, danau, dan sungai), dan kerusakan lingkungan lain. 8. Kecelakaan dan keamanan di laut.

9. Dampak negatip Perubahan Iklim Global (seperti peningkatan suhu dan permukaan laut, cuaca ekstrem, pemasaman perairan), tsunami, dan bencan alam lain. 10. Kualitas SDM (knowledge, skills, dan etos kerja) nelayan dan pembudidaya ikan pada umumnya masih relatif rendah. 11. Kebijakan politik ekonomi (moneter, fiskal, RTRW, iklim investasi, dan kemudahan berbisnis) kurang kondusif.

Di beberapa wilayah pesisir dan laut tekanan pembangunan tersebut telah mencapai tingkat yang mengancam kelestariannya yang tercermin antara lain pada: (1) tingkat pencemaran perairan laut yang tinggi; (2) penangkapan ikan yang berlebihan; (3) kerusakan terumbu karang, mangrove, dan ekosistem pesisir lainnya; (4) erosi dan sedimentasi; (5) hilangnya keanekaragaman hayati; (6) konflik pemanfaatan ruang; dan (7) kemiskinan.

Hal ini terutama terjadi di wilayah pesisir dengan intensitas pembangunan (industrialisasi) yang tinggi dan/atau kepadatan penduduk yang tinggi, seperti Teluk Jakarta, Teluk Thailand, Teluk Manila, Muara Sungai Thames, Teluk Boston, Teluk Chesapeake, dan wilayah pesisir di sekitar Timur. Laut Cina.

Disisi lain, lanjutnya, isu, masalah, dan ancaman utama terhadap keberlanjutan pantai dan laut, antara lain: 1. Hilangnya Habitat dan Keanekaragaman Hayati, 2. Eksploitasi Sumber Daya Alam secara berlebihan, terutama penangkapan ikan yang berlebihan, 3. Polusi termasuk plastik, 4. Erosi dan Sedimentasi, 5. Perubahan Iklim Global dan dampak negatif yang menyertainya seperti pemanasan suhu laut, pengasaman laut, cuaca ekstrim, dan kenaikan permukaan laut, 6. Konflik pemanfaatan ruang, 7. Kemiskinan.

Lebih dari 220 juta galon minyak tumpah di kawasan Asia-Pasifik sejak 1965; sekitar 96% dari ini (212 juta galon) terjadi di Asia Timur. Tumpahan Asia Timur berasal dari sejumlah sumber, meskipun 80% melibatkan kapal.

Air berwarna kecoklatan dari muara sungai mengalirkan limbah ke kawasan pesisir utara Bekasi dan Jakarta. Ada 13 sungai yang bermuara di perairan utara Jakarta yang diperkirakan mengalirkan 161 ton sampah setiap hari di area seluas 514 kilometer persegi.

Prof. Rokhmin Dahuri mencatat, Indonesia masuk dalam negara dengan pemberi suku bunga pinjaman tertinggi, yaitu sebesar 12,6 persen. Angka ini tinggi dibandingkan negara-negara Asia lain. Misalnya, Vietnam (8,7 persen), Thailand (6,3 persen), Cina (5,6 persen) dan Filipina (5,5 persen).

Sementara itu, dari total alokasi kredit perbankan nasional, Rokhmin menjelaskan, pinjaman yang diberikan ke sektor kelautan dan perikanan hanya sekitar 0,29 persen dari total nilai pinjaman Rp 2,6 triliun. "Dampaknya, nelayan Indonesia menjadi sulit berkompetisi dengan negara lain," tuturnya.

Untuk mengatasi ini, Rokhmin menganjurkan agar Bank Indonesia maupun penyedia jasa perbankan bersama pemerintah mampu menurunkan suku bunga pinjaman bagi nelayan dan pembudidaya skala kecil.  “Sebab, tidak sedikit di antara mereka meminjam uang dari rentenir dengan bunga lima hingga 10 persen per bulan yang tergolong tinggi,” katanya.Persyaratan dari Negara Middle-Income menjadi Negara Maju, Adil-Makmur dan Berdaulat: Pertumbuhan ekonomi berkualitas rata-rata 7% per tahun selama 10 tahun,  I + E > K + Im, Koefisien Gini < 0,3 (inklusif), Ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Pengembangan Pariwisata Bahari

Prof. Rokhmin Dahuri yang juga sebagai Duta Besar Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Korea Selatan itu menjelaskan, potensi pariwisata bahari Indonesia sangat luar biasa. Namun pemanfaatannya belum maksimal.

“Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia -- yang 77 persen  wilayahnya berupa laut, dengan 17.504 jumlah pulau, 95.181 km panjang garis pantai, dan potensi mega marine biodiversity, serta ditambah keindahan alam (pantai, pulau kecil, panorama permukaan laut dan bawah laut) yang menakjubkan --  Indonesia sejatinya memiliki potensi pariwisata bahari yang luar biasa besar,” ungkapnya.

Walaupun memiliki potensi wisata bahari yang sedemikian besar, kata Prof. Rokhmin Dahuri, Indonesia masih dianggap kalah dengan negara-negara tetangga dalam hal mendatangkan wisatawan mancanegara. Hal ini diungkapkan oleh Ahli Kelautan dan Perikanan, Rokhmin Dahuri.

“Kemampuan Indonesia mengemas obyek wisata masih kurang, prasarana juga masih kurang. Anda bisa lihat Wakatobi, di sana kapasitas toilet masih kurang, kebutuhan akomodasi dan penginapan juga seperti itu. Begitu juga dengan Raja Ampat, padahal kalau dilihat, Raja Ampat jauh lebih bagus daripada Halong Bay tapi kemasannya yang kurang, aksesibilitas mulai dari transportasi masih kurang memadai, ditambah lagi faktor biaya yang mahal,” terangnya.

Hingga kini, sambungnya, kontribusi sektor pariwisata bahari bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa masih kecil.  Thailand dengan panjang garis pantai 6.675 km dan hanya 35 pulau, meraup devisa dari pariwisata bahari mencapai  46,5 miliar dolar AS  pada 2015. “Sementara Indonesia, total devisa sektor pariwisata pada 2015 hanya  9 miliar dolar AS,” katanya mengutip data  World Tourism Council, 2015.

Lalu, Prof. Rokhmin Dahuri  menyampaikan gagasan sejumlah permasalahan dan tantangan pembangunan pariwisata bahari Indonesia. Antara lain: Pertama, Revitalisasi obyek-obyek (destinasi) wisata bahari yang ada saat ini, sehingga lebih menarik bagi wisatawan, baik wisnu maupun wisman.

Kedua, Pengembangan destinasi wisata baru yang inovatif dan atraktif. Ketiga, Product development jenis-jenis wisata bahari baru yang inovatif dan atraktif. Keempat, Promosi dan pemasaran. Kelima, Peningkatan kualitas SDM yang ramah kepada wisatawan, dan Keenam, Peningkatan konektivitas dan aksesibilitas (termasuk bebas visa), prasarana dan sarana.

Dalam penjelasannya, Prof. Rokhmin Dahuri menyayangkan kalau kunjungan wisatawan mancanegara belum terlalu banyak padahal sudah banyak upaya yang dilakukan. Salah satunya dengan menggelar acara budaya.

“Selama ini, saya lihat, mentalitas mereka yang terkait dengan pariwisata masih terbatas pada ceremonial saja, setelahnya mereka cenderung cuek. Bahkan kini banyak gelaran budaya yang tak berkelanjutan akibat hal tersebut. Habis, gelaran budaya hanya dijadikan promosi diri untuk dapat jabatan. Manusia memang harus terus diingatkan biar tidak seperti itu, kalau salah beri teguran keras, sebaliknya yang bagus tarik saja dan beri penghargaan,” terangnya.

Komentar