Kamis, 18 April 2024 | 11:09
NEWS

Seminar Internasional Smention 2023: Prof. Rokhmin Dahuri Paparkan Peta Jalan Pembangunan Bangsa Menuju Indonesia Emas 2045

Seminar Internasional Smention 2023: Prof. Rokhmin Dahuri Paparkan Peta Jalan Pembangunan Bangsa Menuju Indonesia Emas 2045
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS

ASKARA – Sekolah Islam Terpadu (SIT) Insantama di Bogor, Jawa Barat, menggelar Seminar internasional menyoroti topik pemulihan ekonomi, Smart Teen Competition (Smention) 20023”, pada Ahad, 26 Februari 2023. Acara digelar oleh OSIS SMAIT Insantama dengan tema besar ‘Recover the Economy, Revive the Society’.

Smention 2023 bertujuan mengasah kemampuan generasi muda dalam mengembangkan potensi mereka. Diharapkan menjadi salah satu langkah dalam menghasilkan generasi muda yang memiliki kemampuan ilmiah, kreatif, inovatif, kritis, dan solutif, serta memiliki kepedulian terhadap permasalahan perekonomian di dunia.

Seminar internasional tersebut menghadirkan pembicara, Secretary-General of the Tourism Promotion Organization for Asia Pacific Cities dan Chair Professor at Daeshin University, Korea Selatan, Prof Dr. Kim Soo-il; Ketua Dewan Penasihat Kelautan dan Perikanan Kadin dan Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS; Head for Centre of Macroeconomic and Finance INDEF Dr. M. Rizal Taufikurrahman; dan Ketua Umum OSIS SMAIT Insantama Iqrar Mimadzakira.

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS menyatakan Indonesia memiliki potensi (modal dasar) pembangunan yang sangat besar dan lengkap untuk menjadi negara-bangsa yang maju, adil-makmur, dan berdaulat (Indonesia Emas).

Namun, tegasnya, karena belum ada Peta Jalan Pembangunan Bangsa (Nasional) yang komprehensif dan benar serta dilaksanakan secara berkesinambungan, kualitas SDM relatif rendah, dan defisit kepemimpinan (nasional, propinsi, kabupaten/kota, dan desa).

“Maka, sudah 76 tahun merdeka, Indonesia masih sebagai ‘lower-middle income country’, belum sebagai negara yang maju, adil-makmur, dan berdaulat (Cita-Cita Kemerdekaan – RI),” ujar Prof. Rokhmin Dahuri dalam makalah bertema “Peta Jalan Pembangunan Bangsa Menuju  Indonesia Emas 2045”.

Secara ekonomi, sambungnya, Indonesia Emas 2045 akan terwujud, bila kita mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (rata-rata > 7% per tahun), berkualitas (menyerap banyak tenaga kerja), inklusif (mensejahterakan seluruh rakyat secara adil), ramah lingkungan, dan berkelanjutan (sustainable).

 

“Pertumbuhan ekonomi dengan lima sifat (ciri) hanya dapat diwujudkan melalui implementasi Ekonomi Hijau, Ekonomi Digital, dan Ekonomi Spiritual (Pancasila),” kata Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020 – Sekarang.

Pada kesempatan itu, Prof. Rokhmin Dahuri mengatakan, pertama kali dalam sejarah NKRI pada tahun 2019 angka kemiskinan lebih kecil dari 10%. Namun, dampak dari pandemi Covid-19, pada 2021 tingkat kemiskinan meningkat lagi menjadi 10,2 % atau sekitar 27,6 juta orang. Hingga Juli 2022, Indonesia masih sebagai negara berpendapatan menengah atas.

Lalu, Prof Rokhmin memaparkan sejumlah permasalahan  dan tantangan pembangunan kelautan dan perikanan. Antara lain: 1.Pertumbuhan Ekonomi Rendah (< 7% per tahun), 2. Pengangguran dan Kemiskinan, 3. Ketimpangan ekonomi terburuk ke-3 di dunia, 4. Disparitas pembangunan antar wilayah, 5. Fragmentasi sosial: Kadrun vs Cebong, dll, 6. Deindustrialisasi, 7. Kedaulatan pangan, farmasi, dan energy rendah, 8. Daya saing & IPM rendah, 9. Kerusakan lingkungan dan SDA, 10.Volatilitas globar (Perubahan iklim, China vs As, Industry 4.0).

Sedangkan perbandingan pertumbuhan ekonomi, pengangguran, kemiskinan, dan  koefisien Gini antara sebelum dan saat masa Pandemi Covid-19, perhitungan angka kemiskinan atas dasar garis kemiskinan versi BPS (2021), yakni pengeluaran Rp 470.000/orang/bulan. Garis kemiskinan = Jumlah uang yang cukup untuk seorang memenuhi 5 kebutuhan dasarnya dalam sebulan.

Sementara menurut garis kemiskinan Bank Dunia (2 dolar AS/orang/hari atau 60 dolar AS (Rp 840.000/orang/bulan), jumlah orang miskin pada 2019 sebesar 100 juta jiwa (37% total penduduk). Garis kemiskinan = Jumlah uang yang cukup untuk seorang memenuhi 5 kebutuhan dasarnya dalam sebulan.Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, Kemiskinan, dan  Koefisien GINI antara sebelum dan Masa Pandemi Covid-19.

Menurut laporan Credit Suisse’s Global Wealth Report 2019, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 44,6% kue kemakmuran secara nasional, sementara 10% orang terkaya menguasai 74,1%. Kekayaan 4 orang terkaya (US$ 25 M = Rp 335 T) sama dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin (40% penduduk) Indonesia (Oxfam, 2017). “Indonesia menduduki peringkat ke-3 sebagai negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi (terburuk) di dunia,” kata Prof. Rokhmin Dahuri.

Sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan nasional (KPA, 2015). Pada 2016. Sekarang 175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh para konglomerat (korporasi) nasional dan asing (Institute for Global Justice, 2016).

Sementara,pertumbuhan Ekonomi dan Kontribusi PDRB Menurut Pulau, Triwulan III dan IV-2022, masih di dominasi oleh kelompok Provinsi Pulau Jawa yang memberikan kontribusi terhadap PDB TW-3 sebesar 56,3% dan TW-4 sebesar 56,48%

Sejak krisis multidimensi 1997 – 1998, Indonesia mengalami deindustrialisasi, yakni suatu kondisi perekonomian negara, dimana kontribusi sektor manufakturing (pengolahan) nya sudah menurun, tetapi GNI  (Gross National Income) per kapitanya belum mencapai 12.536 dolar AS (status negara makmur).

“Pada 1996 kontirbusi sektor manufacturing terhadap PDB Indonesia sudah mencapai 29%, tapi tahun 2020 kontribusinya hanya sebesar 19%Padahal, seperti sudah saya sebutkan diatas, GNI perkapita Indonesia tahun lalu hanya 3.870 dolar AS,” tandasnya.

Yang sangat mencemaskan adalah bahwa 30% anak-anak kita mengalami stunting, 17,7% bergizi buruk, dan 10,2% berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi (Kemenkes dan BKKBN, 2022). Apabila masalah krusial ini tidak segera diatasi, maka generasi penerus kita akan menjadi generasi yang lemah fisiknya dan rendah kecerdasannya (a lost generation).

Resultante dari kemiskinan, ketimpangan ekonomi, stunting, dan gizi buruk adalah IPM Indonesia yang baru mencapai 72 tahun lalu. “Padahal, menurut UNDP sebuah bangsa bisa dinobatkan sebagai bangsa maju dan makmur, bila IPM nya lebih besar dari 80,” katanya.

“Ironisnya, status masih sebagai negara berpendapatan menengah bawah, tingginya angka kemiskinan, besarnya angka stunting, gizi buruk, dan rendahnya IPM; berbagai jenis SDA seperti minyak dan gas, batubara, tembaga, dan hutan sudah banyak yang mengalami overeksploitasi atau terkuras habis,” kata Ketum Dulur Cirebonan (CIAYUMAJAKUNING) itu.

Pada kesempatan tersebut, Prof. Rokhmin Dahuri membeberkan sejumlah hal diantaranya menurut data UNICEF, Indonesia masih menjadi negara dengan nilai prevalensi stunting yang tinggi (31,8%), dimana dari nilai ini Indonesia masih kalah dibanding dengan negara tetangga seperti Malaysia (20,9%) dan Filipina (28,7%).

 “Biaya yang diperlukan orang Indonesia untuk membeli makanan bergizi seimbang (sehat) sebesar Rp 22.126/hari atau Rp 663.791/bulan. Harga tersebut berdasarkan pada standar komposisi gizi Helathy Diet Basket (HDB) (FAO, 2020). Atas dasar perhitungan diatas; ada 183,7 juta orang Indonesia (68% total penduduk) yang tidak mampu memenuhi biaya teresebut (Litbang Kompas, 2022 di Harian Kompas, 9 Desember 2022),” terang Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Masalah lainnya, Prof. Rokhmin Dahuri mengatakan, kekurangan rumah yang sehat dan layak huni dari 45 Juta rumah tangga masih 61,7 % rumah tidak layak huni. Padahal, perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia (human basic needs) yang dijamin dalam Pasal 28, Ayat-h UUD 1945. “Indeks Pembangunan Manusia Hingga 2019, Indonesia berada diurutan ke-107 dari 189 negara, atau peringkat ke-6 di ASEAN,” katanya.

Penyebab Ketertinggalan Indonesia

Prof.  Rokhmin Dahuri menyebutkan ada beberapa  faktor yang menyebabkan Indonesia tertinggal dibandingkan sejumlah bangsa lain. “Penyebab ketertinggalan Indonesia itu ad fakror internal, ada pula faktor eksternal,” kata Prof Rokhmin Dahuri

Ia menyebutkan, faktor internal tersebut yaitu belum ada road map pembangunan nasional yang komprehensif, tepat, dan benar yang dilaksanakan secara berkesinambungan; kualitas SDM (pengetahuan, keterampilan, keahlian, kapasitas inovasi, dan etos kerja) dan kapasitas Iptek masih rendah; serta khlak belum baik (susah kerja sama, tidak amanah, dan hedonis). “Selain itu, negara kita defisit pemimpin yang capable, negarawan, dengan Imtaq kokoh,” ujar Prof Rokhmin Dahuri.

Adapun faktor eksternal, kata dia, antara lain  keserakahan bangsa-bangsa maju dan kapitalisme cenderung menjajah secara ekonomi negara berkembang. “Juga, disrupsi akibat kemajuan Iptek  yang sangat pesat (industri 4.0), perubahan iklim global,  pandemi Covid-19, dan pertarungan ideologi,” paparnya.

Selain itu, lanjutnya, nasionalisme rendah di kalangan pengusaha: (1) berubah dari industriawan menjadi importir, (2) nyimpan uang > 80% di LN, (3) gaji karyawan rendah, dan (4) R & D, serta daya saing rendah (‘jago kandang’). “Sayangnya, hampir semua indikator yang terkait dengan dengan kapasitas IPTEK, Riset, Inovasi, dan Kualitas SDM kita bangsa Indonesia, itu masih rendah (tertinggal),” tandas Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Terlebih, kata Prof. Rokhmin Dahuri, di dunia yang hyper interconnected dan  Globalisasi yang ciri utamanya free trade and competition inovasi adalah kunci untuk memenangi persaingan. “Sayangnya, hampir semua indikator yang terkait dengan dengan kapasitas IPTEK, Riset, Inovasi, dan Kualitas SDM kita bangsa Indonesia, itu masih rendah (tertinggal),” kata Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu.

Bahkan, sambungnya, dalam riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity (CCSU) pada Maret 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. “Kalah dari negara tetangga seperti Malaysia, Vietnam, Singapura, dan Thailand,” tandas Profesor Emeritus, Shinhan University, Korea Selatan itu.

Hingga 2022, terangnya, peringkat GII (Global Innovation Index) Indonesia berada diurutan ke-75 dari 132 negara, atau ke-6 di ASEAN. Pada 2018-2022, indeks daya saing Indonesia semakin menurun, hingga 2022 diurutan ke-44 dari 141 negara, atau peringkat ke-4 di ASEAN.

Sementara, penilaian adopsi teknologi untuk peningkatan ekonomi dan efisiensi di berbagai bidang diukur dari faktor pengetahuan, teknologi, dan  kesiapan adopsi teknologi untuk masa depan Pada 2022, Indonesia berada pada urutan ke-51 dari 63 negara.

World Digital Competitiveness, jelasnya, adalah penilaian adopsi teknologi untuk peningkatan ekonomi dan efisiensi di berbagai bidang diukur dari faktor pengetahuan, teknologi, dan  kesiapan adopsi teknologi untuk masa depan.

Hingga 2019, Global Entrepreneurship Index Indonesia berada diurutan ke-75 dari 137 negara atau peringkat ke-6 di ASEAN. Jumlah wirausahawan di indonesia 3,1 persen. Sementara, Singaoura 8 persen, Malaysia 5 persen, Thailand 4 persen. Standar Bank Dunia, jumlah pengusaha minimal 7% dari jumlah penduduk

Implikasi dari Rendahnya Kualitas SDM, Kapasitas Riset, Kreativitas, Inovasi, dan Entrepreneurship adalah: Proporsi ekspor produk manufaktur berteknologi dan bernilai tambah tinggi hanya 8,1%; selebihnya (91,9%) berupa komoditas (bahan mentah) atau SDA yang belum diolah.  Sementara, Singapura mencapai 90%, Malaysia 52%, Vietnam 40%, dan Thailand 24%.    (UNCTAD dan UNDP, 2021).Peta Jalan Pembangunan Bangsa Menuju Indonesia Emas 2045.

Secara ekonomi, sambungnya, Indonesia Emas 2045 akan terwujud, bila kita mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (rata-rata > 7% per tahun), berkualitas (menyerap banyak tenaga kerja), inklusif (mensejahterakan seluruh rakyat secara adil), ramah lingkungan, dan berkelanjutan (sustainable).

“Pertumbuhan ekonomi dengan lima sifat (ciri) diatas (butir-3) hanya dapat diwujudkan melalui implementasi Ekonomi Hijau, Ekonomi Digital, dan Ekonomi Spiritual (Pancasila),” kata Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu.

Kebijakan dan Program Transformasi Struktural Ekonomi

Selanjutnya, Prof. Rokhmin Dahuri memaparkan kebijakan dan program transformasi struktural ekonomi. Yakni: 1. Dari dominasi eksploitasi SDA dan ekspor komoditas (sektor primer) dan buruh murah, ke dominasi sektor manufaktur (sektor sekunder) dan sektor jasa (sektor tersier) secara proporsional yang produktif, berdaya saing, inklusif, mensejahterakan, dan berkelanjutan (sustainable).

2. Dari dominasi impor dan konsumsi ke dominasi investasi, produksi dan ekspor. 3. Modernisasi sektor primer (kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, dan ESDM) secara produktif, efisien, bernilai tambah (hilirisasi), berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan dan berkelanjutan. 

4. Revitalisasi industri manufakturing yang unggul sejak masa Orde Baru: (1) Mamin, (2) TPT (Tekstil dan Produk Tekstil), (3) kayu dan produk kayu, (4) pulp and paper, (5) Elektronik, (6) Otomotif, dan lainnya.

5. Pengembangan industri manufakturing baru: mobil listrik, Energi Baru Terbarukan (matahari, angin, panas bumi, biofuel, kelautan, dan hidrogen), Semikonduktor, Chips, Baterai Nikel, Bioteknologi, Nanoteknologi, Ekonomi Kelautan, Ekonomi Kreatif, dan lainnya.

“Semua pembangunan ekonomi (butir-1 s/d 5) mesti berbasis pada Pancasila (pengganti Kapitalisme), Ekonomi Hijau (Green Economy), dan Ekonomi Digital (Industry 4.0),” ujar Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Lautan, Universitas Bremen, Jerman itu.

 

Komentar