Jumat, 19 April 2024 | 12:59
NEWS

Dr. Rahman Sabon: Jika Isu Tunda Pemilu 2024 Dibiarkan, Pancasila Tinggal Nama Tanpa akna

 Dr. Rahman Sabon: Jika Isu Tunda Pemilu 2024 Dibiarkan, Pancasila Tinggal Nama Tanpa akna
Analis Politik dan Pemerhati Masalah Pertahanan-Keamanan, Dr. Rahman Sabon

ASKARA - Beredar dan viralnya siniar (podcast) mantan Wakil Menteri Hukum & HAM terkait percakapan diduga mirip suara Menkopolhukam Mahfud MD yang membahas mengenai wacana memperpanjang masa jabatan Presiden, ide penundaan Pemilu 2024 dan Dekrit Presiden kembali ke UUD 1945 Asli.

Analis Politik dan Pemerhati Masalah Pertahanan-Keamanan, Dr. Rahman Sabon Nama merespon dan menyatakan, situasi Indonesia saat ini tidak jauh beda dengan situasi menjelang pergantian Orde Lama (Soekarno) ke Orde Baru (Soeharto).

“Bahwa situasi setelah dibentuk Konstituante hasil Pemilu 1955, terjadi penyimpangan sehingga Konstituante tidak lagi menjalankan fungsinya untuk menetapkan Undang-Undang Dasar, karena sebagian besar anggotanya tidak mau lagi menghadiri sidang Konstituante. Saat ini, DPR sebagai wakil rakyat justru lumpuh atau mandul tidak menjalankan fungsinya sebagai layaknya wakil rakyat,” ujarnya, dikutip Jumat (3/2).

Menurut Rahman, jika pada 1959, keadaan yang demikian itu mendorong dikeluarkannya Dekrit Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959. Setelah Dekrit Presiden (1959 hingga 1965) terjadi pembubaran Konstituante dan dibentuknya MPRS dan DPRS karena terjadi penyimpangan perilaku individualisme para elit kekuasaan mengarah pada anarkisme rakyat pendukung yang membawa keburukan cukup luas bagi kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.

“Walaupun konstitusi sudah berdasarkan pada UUD 1945, tetapi tidak diberlakukan secara murni dan konsekuen sehingga lembaga-lembaga negara seperti MPR, DPR, DPA dan BPK dalam pelaksanaannya dimanipulir tidak berdasarkan UUD 1945 terutama oleh PKI yang makin mendominir politik,” terangnya menceritakan situasi era itu.

Pada saat itu, Rahman menerangkan, Presiden Soekarno mengeluarkan produk undang-undang yang seharusnya menjadi kewenangan legislatif dalam bentuk penetapan presiden tanpa persetujuan DPR.

“Hak Budgetting atau Hak Anggaran dan pengawasan DPR tidak berjalan sehingga lahir RAPBN yang bukan atas persetujuan DPR. Bahkan tahun 1960 terjadi perbedaan pendapat antara pemerintah dan DPR, sehingga DPR dibubarkan oleh Soekarno,” tuturnya.

Pria asal NTT itu menceritakan bagaimana terjadi pula kegiatan infiltrasi ke tubuh TNI/Polri sehingga masuk ke dalam tubuh kekuatan sosial politik dan bahkan menurutnya, MPRS saat itu mengambil keputusan dengan menetapkan dan mengangkat Soekarno sebagai Presiden Seumur Hidup, yang jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945.

“Penyimpangan kekuasaan berakibat memburuknya situasi politik dan keamanan nasional sehingga merosotnya ekonomi dan daya beli masyarakat menurun tajam bahkan daerah-daerah bergolak sehingga pengendalian perekknomian pemerintah pusat praktis lumpuh karena daerah bebas melakukan perdagangan dengan luar negeri lewat sistem barter,” paparnya.

Rahman mengungkapkan, penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945 yang berpuncak pada pemberontakan G30S dan mendapat dukungan China tahun 1965 bermaksud merebut kekuasaan dengan mengganti dasar negara Pancasila dengan Komunisme dan Markxisme.

“Penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan sesungguhnya baru dilakukan di era pemerintahan Presiden Soeharto tahun 1969 atau era Orde Baru. Suatu orde dimana tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa dan nusa dibangun dengan itikad baik pemerintah untuk mengabdi pada rakyat dan kepentingan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,” ujarnya.

Situasi Saat Ini Dinilai Mirip

Rahman yang juga adalah Ketua Umum Partai Daulat Kerajaan Nusantara (PDKN) tersebut menilai bahwa situasi saat ini mirip. Dimana ia melihat China komunis bertambah leluasa untuk menanamkan pengaruhnya di Indonesia.

“Hampir menguasai tidak hanya ekonomi dan sumber kekayaan alam kita ,tetapi hampir seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara sudah dikuasai China,” ujarnya dengan nada khawatir.

Rahman melihat situasi saat ini dikatakan mirip ketika terjadi tendensi ke arah pemutarbalikan Pancasila dengan memberi arti yang sempit oleh kekuatan sosial dalam tubuh partai politik untuk keuntungan dan kepentingan kelompoknya.

“Apabila hal ini terus dibiarkan maka Pancasila tinggal menjadi nama tanpa makna,” katanya.

Bahkan Rahman menilai kemiripan situasi semakin kuat tatkala terjadi pelemparan isu perpanjangan masa jabatan Presiden dan penundaan Pemilu 2024.

Lebih parahnya lagi situasi ini dipertontonkan pada satu suasana berbondong-bondongnya TKA China baik legal maupun ilegal seolah dibiarkan pemerintah atau pihak imigrasi menyerbu masuk di berbagai daerah Indonesia.

"Hak individu dan kelompok organisasi dibatasi seolah memberi peluang komunis semakin menyusup di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Kecurigaan ini tentu akan membawa konsekuensi logis,” tandasnya.

Komentar