Jumat, 17 Mei 2024 | 10:29
NEWS

Prof. Rokhmin Dahuri Ungkap Potensi Strategis Sektor Kelautan Perikanan Pada Kerjasama Indonesia - Taiwan

Prof. Rokhmin Dahuri Ungkap Potensi Strategis Sektor Kelautan Perikanan Pada Kerjasama Indonesia - Taiwan
Prof. Dr. Rokhmin Dahuri, MSC

ASKARA - The National Chung Cheng University bekerja sama dengan Taiwan Tun Association (TTA) dan Taiwan Squid and Saury Association (TSSA) menyelenggarakan Seminar Internasional tentang Manajemen Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Kantor Balaikota Kaoshiung, Taiwan pada 14 - 15 Desember 2022.

Sebagai pembicara kunci (keynote speaker) adalah  President of Indonesian Aquaculture Society (IAS), Prof. Dr. Rokhmin Dahuri, MSC. Ia membawakan makalah berjudul  “Enhancing a Mutual Cooperation betteen Indonesia and Taiwan in Sustainable Marine and Fisheries Development”.

Pembicara utama kedua adalah Dr. Steven Wilson dari NOAA (National Oseanography and Atmospheric Administration), USA. Dengan judul keynote speech “Menggunakan Data Satelit dalam Mengelola Perikanan: Perspektif NOAA”.

Pada kesempatan itu, Prof. Rokhmin Dahuri menyampaikan, sejak Revolusi Industri (1750-an) Paradigma Pembangunan Konvensional (Kapitalisme) telah mendorong pertumbuhan ekonomi dunia dengan sangat pesat sebesar 3 - 4% per tahun, dari PDB sekitar US$ 0,45 triliun/tahun menjadi US$ 100 triliun/tahun pada 2019 (Sach, 2015; Bank Dunia, 2020).

“Sebelum tahun 1930-an kebanyakan negara di dunia ini miskin. Sejak saat itu, menurut Sach, jumlah dan persentase penduduk miskin dunia terus menurun,” ujar Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor itu.

Apalagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dipicu oleh orientasi mencari keuntungan dari Kapitalisme sangat fenomenal yang membuat hidup manusia lebih sehat, lebih mudah, lebih cepat, dan lebih nyaman.

Prof. Rokhmin Dahuri memaparkan, populasi dunia telah meningkat dua kali lipat, dari 3,9 miliar pada tahun 1970 menjadi 7,8 miliar orang saat ini (UNEP, 2022). Inovasi teknologi, terutama sejak awal Industri 4.0 (Revolusi Industri Keempat), telah membuat kehidupan manusia lebih produktif, efisien, lebih mudah, lebih sehat, dan nyaman.

"Namun, Kapitalisme hingga saat ini belum mampu mengangkat warga dunia dari kemiskinan. Kesenjangan antara penduduk kaya vs penduduk miskin (ketidaksetaraan ekonomi) baik di dalam maupun antar negara semakin melebar," tandasnya.

Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, pada tahun 2015, 55 negara (34 OECD, dan 21 non-OECD) berpenghasilan tinggi (PDB per kapita > US$ 11.750), 103 negara berpenghasilan menengah (PDB per kapita: US$ 2.000 – 11.750), dan 36 negara berpenghasilan rendah pendapatan (PDB per kapita < US$ 2.000).

Kemajuan teknologi (Revolusi Industri -1 sd -4) telah menjadi fenomenal yang membuat hidup manusia menjadi lebih sehat, mudah, cepat, dan nyaman. Populasi Dunia dan PDB (Produk Domestik Bruto) Sejak Revolusi Industri (1750) hingga Saat Ini (2015)

Mengutip World Bank, Prof. Rokhmin Dahuri menerangkan, status 194 Negara Anggota PBB di Dunia Berdasarkan Tingkat Pendapatan.  Sementara itu, 55 negara berpenghasilan tinggi terdiri dari 34 anggota OECD dan 21 non-OECD termasuk beberapa negara Muslim.

“Ini harus segera diatasi, sebab dari sekitar 194 negara anggota PBB, sampai sekarang baru 55 negara (28 persen) yang telah mencapai status negara maju dan makmur,” ujar Ketua Bidang Kelautan dan Perikanan Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-Perjuangan) itu.

Lebih menukik lagi, Prof. Rokhmin Dahuri memaparkan domain, potensi dan tingkat pemanfaatan ekonomi kelautan dan perikanan Indonesia. Ia menyebutkan, total potensi ekonomi sebelas sektor kelautan Indonesia:  1,4 triliun dolar AS/tahun atau 7 kali lipat APBN 2021 (Rp 2.750 triliun = 196 miliar dolar AS) atau 1,2 PDB Nasional 2020. Sektor kelautan dan perikanan Indonesia mampu menyediakan  lapangan kerja untuk 45 juta orang atau 30 persen total angkatan kerja Indonesia.

“Namun, pada 2018 kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia sekitar 10,4 persen.  Negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil (seperti Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia), kontribusinya  lebih besar dari 30 persen,” paparnya.

Namun, lanjutnya, Kapitalisme telah gagal mengangkat warga dunia dari kemiskinan dan kelaparan. Sebelum Pandemi Covid-19 pada Desember 2019, mengutip Bank Dunia, sekitar 1,3 miliar orang tetap miskin dan sekitar 700 juta orang kelaparan.

Kemudian, akibat Pandemi Covid-19, Perang Rusia vs Ukraina, dan meningkatnya ketegangan geopolitik lainnya (khususnya AS vs China), dunia dihadapkan pada krisis pangan dan energi, inflasi dan resesi ekonomi . Akibat wajarnya, Bank Dunia dan UNDP menyebut saat ini jumlah orang miskin dunia menjadi 3 miliar, sangat miskin 1,5 miliar orang, dan 1 miliar kelaparan.

“Selain itu, Kapitalisme juga menjadi akar penyebab melebarnya ketimpangan ekonomi (kesenjangan antara penduduk kaya vs miskin) baik di dalam maupun di antara negara-negara di dunia,” kata Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Lautan, Universitas Bremen itu.

Dan, sambungnya, yang lebih memprihatinkan adalah orientasi keserakahan manusia dan pemaksimalan keuntungan sebagai prinsip dasar Kapitalisme telah mendorong eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan dan pelepasan limbah dan GRK (Gas Rumah Kaca) yang berlebihan ke lingkungan yang mengakibatkan tiga krisis ekologis: Global Perubahan Iklim, Hilangnya Keanekaragaman Hayati, dan Polusi.

“Krisis ekologis rangkap tiga ini jika tidak ditangani dengan baik dan cepat akan mengancam tidak hanya pembangunan ekonomi tetapi juga kelangsungan hidup manusia itu sendiri,” tuturnya.

Selain itu, pengangguran, kemiskinan, kelaparan, ketimpangan ekonomi yang melebar, dan ketidakadilan telah menjadi akar penyebab radikalisme, kerusuhan, dan terorisme (Armstrong, 2010; Yunus, 2016; Oxfarm International, 2021).

Kapitalisme juga telah menimbulkan pencemaran lingkungan, degradasi ekosistem alam, terkikisnya keanekaragaman hayati, Perubahan Iklim Global, dan berbagai jenis kerusakan lingkungan lainnya. Intensitas kerusakan lingkungan tersebut sudah pada tingkat yang telah mengancam kapasitas keberlanjutan ekosistem bumi dalam mendukung pembangunan ekonomi, dan bahkan kehidupan umat manusia itu sendiri (Al Gore, 2017; von Weizsacker and Wijkman, 2018).

“Bila peningkatan suhu bumi lebih besar dari 1,50 C dibandingkan dengan suhu bumi sebelum Revolusi Industri Pertama pada 1750-an, maka dengan kapasitas teknologi yang ada saat ini, dampak negatip tersebut bakal tidak dapat kita kendalikan,” tuturnya.

Maka, lanjutnya, supaya peningkatan suhu bumi tidak melebihi 1,50 C; maka paling lambat 2030 emisi karbon (CO2) ke atmosfer harus dipangkas sebesar 45 persen dari laju emisi tahun 2010. Selain itu, pada 2050 tidak ada lagi emisi karbon ke atmosfer (net-zero emission) sesuai dengan Kesepakatan Iklim Paris pada Desember 2015 (IPCC, 2015).

Namun, faktanya suhu bumi bukannya menurun atau stabil, malah terus memanas. Suhu rata-rata bumi tahun 2021 mencapai 1,090 C diatas rata-rata di masa pra-industri, hanya tinggal 0,410 C dari batas aman 1,50C. Sementara itu, kenaikan permukaan air laut global sebesar 2,1 mm per tahun pada periode tahun 1993 – 2002, lalu meningkat menjadi 4,4 mm per tahun dari 2013 sampai 2021.

“Hal ini disebabkan karena melelehnya gunung es di Kutub Utara dan Kutub Selatan, lapisan es di lautan, dan gletser akibat semakin meningkatnya rata-rata suhu bumi (WMO, 2021),” terang Prof. Rokhmin Dahuri.

Fakta Melebarnya Ketimpangan Ekonomi Dunia

Pada tahun 2010, Prof. Rohmin Dahuri menerangkan, orang terkaya di dunia dari 388 orang memiliki lebih banyak kekayaan daripada seluruh separuh bawah populasi dunia (3,3 miliar orang). Pada tahun 2017, kelompok terkaya yang memiliki kekayaan melebihi setengah populasi dunia terbawah telah menyusut menjadi hanya 8 orang. Menurut Oxfam Internasional, ketimpangan kekayaan yang begitu tinggi telah terjadi tidak hanya antar negara, tetapi juga di dalam Negara.

Saat ini, mengutip IPCC, negara-negara maju (kaya) dengan populasi hanya 18% dari populasi dunia mengkonsumsi sekitar 70% dari energi dunia, yang sebagian besar (87%) berasal dari bahan bakar fosil, yang merupakan faktor utama penyebab Pemanasan Global.

Pada tahun 2022, penduduk dunia membutuhkan 1,8 planet Bumi untuk melanjutkan gaya hidup saat ini. Mereka akan membutuhkan 5 planet Bumi jika semua orang hidup seperti warga negara Amerika Serikat, 3,4 planet Bumi jika semua orang mengikuti gaya hidup Rusia, dan 1,1 planet Bumi jika gaya hidup Indonesia (The Global Footprint Network, 2022). Singkatnya, di Bumi yang satu ini, manusia secara global mengkonsumsi lebih dari kemampuan planet untuk menopang dirinya sendiri.

“Bagi Indonesia, gaya hidup saat ini yang tercermin dari tingkat pemanfaatan sumber daya alam, pembuangan limbah, dan emisi GRK ke lingkungan sudah melampaui daya dukung negara. Ini adalah situasi yang dilematis, karena Indonesia masih merupakan negara berpenghasilan menengah ke bawah dengan Pendapatan Nasional Bruto per kapita hanya US$ 3.870; dan tingkat pengangguran dan kemiskinan yang tinggi (Bank Dunia, 2021),” tandasnya.

Ketika konsentrasi kekayaan (ketidaksetaraan sosial-ekonomi) meningkat di dalam negeri, itu juga melebar antar negara. Jadi, meski jutaan orang miskin bekerja untuk mengangkat diri mereka dari kemiskinan, sebagian besar kekayaan dunia tetap terkonsentrasi di setengah lusin negara.

Konsentrasi kekayaan yang terus meningkat berbahaya karena mengancam kemajuan manusia, kohesi sosial, hak asasi manusia, dan demokrasi.

Dunia di mana kekayaan terkonsentrasi di beberapa tangan juga merupakan dunia di mana kekuatan militer dan politik dikendalikan oleh segelintir orang dan digunakan oleh mereka untuk keuntungan mereka sendiri.

Ketika kesenjangan kekayaan dan kesenjangan kekuasaan tumbuh. Kemudian, ketidakpercayaan, kebencian, dan kemarahan semakin dalam, mendorong dunia ke arah pergolakan sosial dan meningkatkan kemungkinan konflik bersenjata (perang) antar bangsa.

“Singkatnya, di Bumi yang satu ini, secara global konsumsi manusia melebihi kemampuan planet untuk menopang dirinya sendiri,” kata Prof.Rokhmin Dahuri.

Statistik Ekonomi Dan Perdagangan Antara Taiwan Dan Indonesia

Prof. Rokhmin Dahuri memaparkan, produk ekspor utama Taiwan ke Indonesia antara lain: sirkuit terpadu, produk rajutan dan kaitan, kain serat sintetis, suku cadang dan aksesori mobil, mesin, baja canai panas/dingin, etilena, minyak bumi, produk minyak mentah, tuna mata besar, dan lain-lain;

Sedangkan impor utama dari Indonesia: batu bara, logam pembawa emas, gas alam cair, minyak mentah, produk setengah jadi dari baja tahan karat, tembaga, timah, kayu, amonia anhidrat, pulp, dan lain-lain.

Pada tahun 2004, Taiwan dan Indonesia menandatangani MoU on Marine and Fisheries Cooperation. Pada tahun 2018, IPB University menandatangani kerjasama dengan National Sun Yat-sen University (NSYSU) di Taiwan. Penandatanganan MoU ini bertujuan untuk Deep Sea Research

Pada tahun 2018, Biro Kelautan dan Pelabuhan Kementerian Transportasi dan Komunikasi (MOTC) Taiwan menandatangani MOU bekerja sama dengan Universitas Bina Nusantara.

“Kerjasama ini bertujuan untuk mendorong pertukaran di bidang akademik, kegiatan pelayaran dan maritim, serta pengembangan sumber daya manusia yang professional,” jelasnya.

Pada tahun 2019, lanjutnya, Gubernur Maluku menginisiasi gagasan kerjasama di bidang perikanan dengan pemerintah kota Kohsiung

Pada tahun 2022 Forum Kerjasama Industri Taiwan-Indonesia dihadiri oleh sektor industri, pemerintah, akademisi dan penelitian.

Pada Juni 2022, KDEI Taipei mengunjungi National Taiwan Ocean University untuk peluang kerjasama pendidikan teknologi maritim.

Status Pembangunan Ekonomi Indonesia

Lebih lanjut, Prof Rokhmin Dahuri memaparkan, sejak merdeka pada 17 Agustus 1945, alhamdulillah bangsa Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami perbaikan hampir di semua bidang kehidupan. Contohnya, kalau pada 1945 – 1955 sekitar 70 persen rakyat Indonesia masih miskin, pada 1970 jumlah rakyat miskin menurun menjadi 60 persen.

Namun, bila PDB sebesar itu dibagi dengan jumlah penduduk sebanyak 274 juta orang, maka per Maret 2021 GNI (Gross National Income) atau Pendapatan Nasional Kotor Indonesia baru mencapai 3.870 dolar AS per kapita. Artinya, hingga saat ini (sudah 76 tahun merdeka), status pembangunan (kemakmuran) Indonesia masih sebagai negara berpendapatan-menengah bawah (lower-middle income country). Belum sebagai negara makmur (high-income country) dengan GNI perkapita diatas 12.695 dolar AS, yang merupakan Cita-Cita Kemerdekaan NKRI 1945.

Pada 2004 tingkat kemiskinan turun lagi menjadi 16 persen, tahun 2014 mejadi 12 persen, dan tahun 2019 tinggal 9,2 persen.  Sayang, karena pandemi Covid-19, pada 2021 tingkat kemiskinan meningkat lagi menjadi 10,2 persen atau sekitar 27,6 juta orang (BPS, 2021). Menurut World Bank, ukuran ekonomi atau PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia saat ini mencapai 1,1 trilyun dolar AS atau terbesar ke-16 di dunia. Dari 200 negara anggota PBB, hanya 16 negara dengan PDB US$ > 1 triliun.

Prof Rokhmin Dahuri memaparkan permasalahan dan tantangan pembangunan Indonesia. Antara lain, 1. Pertumbuhan ekonomi rendah (<7% per tahun), 2. Pengangguran dan Kemiskinan, 3. Ketimpangan ekonomi terburuk ke-3 di dunia, 4. Disparitas pembangunan antar wilayah, 5. Fragmentasi sosial: Kadrun vs Cebong, dll, 6. Deindustrialisasi, 7. Kedaulatan pangan, farmasi, dan energy rendah, 8. Daya saing dan IPM rendah, 9. Kerusakan lingkungan dan SDA, 10. Volatilitas Global (Perubahan Iklim, China vs AS, Industry 4.0).

Selanjutnya, ungkapnya, Indonesia menduduki peringkat ke-3 sebagai negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi (terburuk) di dunia. Menurut laporan Credit Suisse’s Global Wealth Report 2019, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 44,6% kue kemakmuran secara nasional, sementara 10% orang terkaya menguasai 74,1%. "Hingga 2021, peringkat Global Innovation Index (GII) Indonesia berada diurutan ke-87 dari 132 negara, atau ke-7 di ASEAN," kata Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia ini.

Yang sangat mencemaskan, kata Prof. Rokhmin Dahuri, adalah 1 dari 3 anak di Indonesia mengalami stunting. Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar-Kemenkes terdapat 30,8% anak-anak kita mengalami stunting, 17,7% bergizi buruk, dan 10,2% berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi.

“Apabila masalah krusial ini tidak segera diatasi, maka generasi penerus kita akan menjadi generasi yang lemah fisiknya dan rendah kecerdasannya, a lost generation. Resultante dari kemiskinan, ketimpangan ekonomi, stunting, dan gizi buruk adalah IPM Indonesia yang baru mencapai 72 tahun lalu. Padahal, menurut UNDP, sebuah bangsa bisa dinobatkan sebagai bangsa maju dan makmur, bila IPM nya lebih besar dari 80,” sebutnya.

Pesisir dan Lautan

Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia periode 2001-2004 tersebut menjelaskan, lautan global memberi umat manusia barang dan jasa ekosistem penting yang mencakup pengaturan iklim Erath, sistem pendukung kehidupan serta penyediaan makanan, mineral, energi, sumber daya alam lainnya, rekreasi, dan nilai-nilai spiritual.

Lautan tidak hanya penting bagi perekonomian dunia, tetapi juga keseimbangan lingkungan dan kelangsungan hidupnya (Noone et al., 2013).

Hampir tiga perempat (72%) planet Bumi ditutupi oleh perairan laut (5 samudra dan banyak lautan), 97% air Bumi terletak di laut dan samudra, dan di dalam laut dan samudra terletak 97% dari Bumi. ruang hidup. Mengutip Costanza, zona pesisir hanya mencakup sekitar 8% dari luas daratan bumi, tetapi menghasilkan sekitar 45% dari sumber daya alam dan jasa lingkungan bumi.

Bahkan menurut UNDP, sekitar 65% populasi dunia tinggal di wilayah pesisir, dan pada tahun 2030 jumlahnya diperkirakan mencapai tiga perempat populasi dunia. “Tiga perempat kota besar dunia terletak di zona pesisir,” terang Prof. Rokhmin Dahuri menguti UNDP.

Pesisir dan lautan menyediakan sumber daya alam dan jasa lingkungan yang sangat besar yang dibutuhkan untuk pembangunan ekonomi dan kelangsungan hidup manusia.

Mengutip Prager dan Earle, Prof. Rokhmin Dahuri menerangkan, melalui proses ekologi, siklus biogeokimia, dan sistem pendukung kehidupan, pantai dan lautan telah menopang dan membentuk keberadaan manusia di Bumi sejak kehidupan pertama kali muncul dari laut purba.

Menurutnya, pesisir dan lautan memainkan peran penting dalam keamanan, pertahanan, dan kedaulatan negara mana pun, khususnya negara pesisir.  Pesisir dan lautan memiliki informasi ilmiah yang tak terhitung jumlahnya di berbagai bidang yang merupakan kunci bagi pembangunan ekonomi dan peradaban manusia yang berkelanjutan.

“Kata AT. Mahan, Siapa yang Menguasai Ombak (laut dan samudera), Menguasai Dunia,” sebutnya.

Ekonomi Biru

Prof. Rokhmin Dahuri mengemukakan, sejak pertengahan tahun 1980-an, Ekonomi Hijau dan Ekonomi Biru muncul sebagai jawaban untuk mengoreksi kegagalan Paradigma Ekonomi Konvensional (Kapitalisme) antara lain: 1 miliar penduduk dunia berada dalam kemiskinan yang ekstrim, 3 miliar orang masih miskin, 800 juta orang kelaparan, ketimpangan ekonomi yang melebar, krisis ekologis, dan Pemanasan Global (UNEP, 2011; Bank Dunia, 2022).

Ekonomi Hijau adalah salah satu yang menghasilkan peningkatan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial, sementara secara signifikan mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologis (UNEP, 2011).

Pada dasarnya Blue Economy merupakan penerapan Green Economy di wilayah laut (in a Blue World) (UNEP, 2012). “Ekonomi Biru berarti penggunaan laut dan sumber dayanya untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan” (Uni Eropa, 2019).

Ekonomi biru didefinisikan sebagai model ekonomi yang menggunakan: (1) infrastruktur, teknologi, dan praktik hijau; (2) mekanisme pembiayaan yang inovatif dan inklusif; (3) dan pengaturan kelembagaan proaktif untuk memenuhi tujuan kembar melindungi pantai dan lautan, dan pada saat yang sama meningkatkan potensi kontribusinya terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan, termasuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologis. (UNEP, 2012; PEMSEA, 2016).

Kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan kegiatan ekonomi di darat (daratan atas) yang menggunakan sumber daya alam dan jasa lingkungan laut untuk menghasilkan barang dan jasa yang diperlukan umat manusia

“Total potensi ekonomi sebelas sektor kelautan Indonesia: US$ 1,4 triliun/tahun atau 7 kali APBN 2021 (Rp 2.750 triliun = US$ 196 miliar) atau 1,2 PDB Nasional tahun 2020. Kalau serius digarap, ini bisa menciptakan 45 juta lapangan kerja atau 30% total angkatan kerja Indonesia,” katanya.

Kemudian, Prof Rokhmin Dahuri mengatakan, pada 2018 kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia sekitar 10,4%.  Negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil (seperti Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia), kontribusinya > 30%.

Prof. Rokhmin Dahuri menyebut, ada 11 sektor ekonomi kelautan yang bisa dikembangkan yakni: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) ESDM, (6) pariwisata bahari, (7) perhubungan laut, (8) industri dan jasa maritim, (9) kehutanan pesisir (coastal forestry), (10) sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, dan (11) SDA kelautan non-konvensional.

"Total nilai ekonomi kesebelas sektor itu sekitar 1,4 triliun dolar AS/tahun, hampir 1,4 PDB Indonesia saat ini atau 8 kali APBN 2020," ujarnya.

Pada tahun 2018, kontribusi ekonomi kelautan terhadap PDB Indonesia sekitar 10,4%. Negara-negara lain yang potensi lautnya kurang (seperti Thailand, Korea Selatan, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia), memberikan kontribusi >30%.

Disisi lain, tren produksi perikanan tangkap Indonesia terus meningkat dibandingkan negara penghasil utama lainnya. Sejak tahun 2009, Indonesia menjadi produsen perikanan budidaya terbesar ke-2 di dunia setelah China.

Domain Industri Bioteknologi Kelautan

Prof Rokhmin Dahuri mengungkapkan, setidaknya ada empat domain industri bioteknologi kelautan. Pertama, ekstraksi senyawa bioaktif/hasil alam dari biota laut menjadi bahan baku industri nutraceutical (makanan & minuman sehat), farmasi, kosmetik, cat film, biofuel, dan berbagai industri lainnya.

Kedua,  Rekayasa genetika untuk menghasilkan induk dan benih unggul ikan, udang, kepiting, moluska, rumput laut, tanaman pangan, dan biota lainnya.

Ketiga, Rekayasa genetika mikroorganisme (bakteri) untuk bioremediasi lingkungan tercemar. “Dan keempat aplikasi bioteknologi untuk konservasi,” tuturnya.

Secara geoekonomi, lanjutnya, perairan laut Indonesia dengan 3 Sealane-nya sangat strategis terletak di pusat Global Supply Chain System, dimana 45% dari total komoditas dan produk yang diperdagangkan secara global diangkut melalui perairan laut Indonesia dengan nilai ekonomi rata-rata sekitar US$15. triliun per tahun (UNCTAD, 2016).

ALKI-1 melayani pengangkutan sekitar 80% total minyak mentah yang memasok Kawasan Asia Timur (China, Taiwan, Jepang, dan Korea) dari Kawasan Timur- Tengah dan Afrika.

Volume minyak mentah yang dikapalkan via S. Malaka sekitar 16 juta barel/hari, 20 kali lipat total produksi minyak mentah Indonesia, dan 4 kali lipat total minyak mentah yang diangkut via Terusan Suez.

Jumlah kapal yang melintasi ALKI-1 mencapai 100.000 kapal per tahun.  Sementara, Terusan Suez dan Terusan Panama masing-masing hanya dilewati oleh 18.800 dan 10.000 kapal per tahun (Calamur, 2017).

“Pendapatan Otoritas Terusan Suez mencapai rata-rata Rp 220 milyar per hari (Rp 80,7 trilyun per tahun). Bandingkan anggaran (APBN) KKP 2021 hanya Rp 7 trilyun,” katanya.

Prof. Rokhmin Dahuri menegaskan bahwa posisi geoekonomi dan geopolitik NKRI sangat strategis di dunia, karena menghubungkan Samudera Pasifik dan Samudera Hindia serta Benua Asia dan Benua Australia. Secara geologis, oseanografis, dan klimatologis;

Selain itu, ARLINDO yang secara kontinu bergerak bolak-balik dari S. Pasifik ke S. Hindia juga berfungsi sebagai “nutrient trap” (perangkap unsur hara, seperti nitrogen dan fosfor), sehingga perairan laut Indonesia merupakan habitat ikan tuna terbesar di dunia (the world tuna belt), memiliki marine biodiversity (keanekaragaman hayati laut) tertinggi di dunia, termasuk “Coral Triangle”, dan memiliki potensi produksi lestari (MSY = Maximum Sustainable Yield) ikan laut terbesar di dunia, sekitar 12,5 juta ton/tahun (FAO, 2008; KKP, 2017).

Sebagai bagian dari “Global Conveyor Belt” dan terletak di Khatulistiwa menjadikan Indonesia secara klimatologis sebagai pusat pengatur iklim dunia (El-Nino dan La-Nina) (NOAA, 1998).

“Terlepas dari peran dan fungsi penting pesisir dan lautan, hampir di semua tempat, ekosistem pesisir dan laut berada di bawah tekanan pembangunan yang luar biasa,” ujar Duta Besar Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Republik Korea itu.

Lebih lanjut, Prof. Rokhmin Dahuri menguraikan, di beberapa wilayah pesisir dan laut tekanan pembangunan tersebut telah mencapai tingkat yang mengancam kapasitas keberlanjutannya yang tercermin antara lain dari: (1) tingkat pencemaran perairan laut yang tinggi; (2) penangkapan ikan berlebihan; (3) terumbu karang, mangrove, dan ekosistem pesisir lainnya yang terdegradasi; (4) erosi dan sedimentasi; (5) hilangnya keanekaragaman hayati; (6) konflik pemanfaatan ruang; dan (7) kemiskinan.

Hal ini terutama berlaku di wilayah pesisir dengan intensitas pembangunan (industrialisasi) yang tinggi dan/atau kepadatan penduduk yang tinggi, seperti Teluk Jakarta, Teluk Thailand, Teluk Manila, Muara Sungai Thames, Teluk Boston, Teluk Chesapeake, dan wilayah pesisir di sekitar Timur Laut Cina.

Isu, masalah, dan ancaman utama terhadap keberlanjutan pantai dan laut, antara lain: 1. Hilangnya Habitat dan Keanekaragaman Hayati, 2. Eksploitasi Sumber Daya Alam secara berlebihan, terutama penangkapan ikan yang berlebihan, 3. Polusi termasuk plastik, 4. Erosi dan Sedimentasi, 5. Perubahan Iklim Global dan dampak negatif yang menyertainya seperti pemanasan suhu laut, pengasaman laut, cuaca ekstrim, dan kenaikan permukaan laut, 6. Konflik pemanfaatan ruang, 7. Kemiskinan.

Lebih dari 220 juta galon minyak tumpah di kawasan Asia-Pasifik sejak 1965; sekitar 96% dari ini (212 juta galon) terjadi di Asia Timur. Tumpahan Asia Timur berasal dari sejumlah sumber, meskipun 80% melibatkan kapal.

Air berwarna kecoklatan dari muara sungai mengalirkan limbah ke kawasan pesisir utara Bekasi dan Jakarta, Senin (5/3). Ada 13 sungai yang bermuara di perairan utara Jakarta yang diperkirakan mengalirkan 161 ton sampah setiap hari di area seluas 514 kilometer persegi.

Pada tahun 2014, Presiden Joko “Jokowi” Widodo meluncurkan kebijakan pembangunan terobosan “Indonesia sebagai GMF (Global Maritime Fulcrum)” yang berfokus pada pengembangan dan pengamanan wilayah dan sumber daya maritim negara untuk kemajuan, kemakmuran, dan kedaulatan bangsa.

Sangat diyakini bahwa GMF akan memungkinkan bangsa Indonesia untuk memanfaatkan dan mengembangkan sumber daya pesisir dan laut (maritim) untuk meningkatkan daya saing dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dengan cara yang ramah lingkungan dan berkelanjutan untuk mencapai Indonesia sebagai negara yang maju, sejahtera (kaya), dan berdaulat paling lambat pada tahun 2045.

Pada tataran filosofis: reorientasi platform (paradigma) pembangunan Indonesia, dari pembangunan berbasis darat menjadi pembangunan berbasis maritim.

Pada tataran strategis dan praktis: dalam jangka pendek – menengah – (2015 – 2020) setiap sektor kelautan harus mampu menyelesaikan permasalahan dan tantangan sektoral internalnya. Dalam jangka panjang (tahun 2030 atau 2045) Indonesia akan menjadi negara maritim yang maju, makmur, dan berdaulat yang memiliki daya pengaruh luhur untuk menjadikan dunia lebih baik dengan memanfaatkan sumber daya kelautan (pesisir dan lautan) dan jasa lingkungan secara berkelanjutan. .

“Indonesia sebagai poros maritim dunia juga berarti bahwa Indonesia harus menjadi penggerak dan titik fokus bagi pembangunan maritim yang damai, sejahtera, dan berkelanjutan antara Samudra Pasifik dan Hindia,” ujar kata Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia itu.

Hal ini, menurutnya, dapat membantu ASEAN sebagai poros kepentingan simetris melalui kerja sama dengan mitra eksternal di kawasan (misalnya China, Taiwan, Jepang, dan Korea) dan dunia serta memungkinkan ASEAN untuk membantu membentuk tata kelola global baru yang lebih baik, damai, sejahtera, dan dunia yang berkelanjutan.

Prof. Rokhmin Dahuri mengutip penyataan residen Joko Widodo, “Kita harus berjuang memulihkan Indonesia sebagai negara maritim. Samudera, laut, selat, dan teluk adalah masa depan kita. Sudah terlalu lama kita berpaling dari mereka. Sekarang saatnya memulihkan semua sampai kita capai Jalesveva Jayamahe; di lautan kita kita jaya.”

1. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, khususnya nelayan, pembudidaya ikan, dan masyarakat bahari lainnya.

2. Menghasilkan produk dan jasa kelautan yang berdaya saing tinggi untuk memenuhi kebutuhan domestik dan ekspor.

3. Meningkatkan kontribusi sektor ekonomi kelautan terhadap perekonomian negara (PDB).

4. Menciptakan lebih banyak kesempatan kerja.

5. Meningkatkan konsumsi ikan (seafood) per kapita guna meningkatkan kesehatan masyarakat Indonesia dan meningkatkan pasar dalam negeri untuk hasil laut dan produk perikanan.

6. Melindungi kelestarian ekosistem pesisir dan laut serta sumber daya yang terkandung di dalamnya.

7. Membina dan meningkatkan budaya bahari masyarakat Indonesia.

8. Menjaga kedaulatan negara dan bangsa Indonesia.

Kebijakan dan Program

Hal lain yang juga penting, kata Prof. Rokhmin Dahuri, adalah Kebijakan dan Program Pembangunan. Antara lain: 1. Penegakkan kedaulatan wilayah laut NKRI: (1) penyelesaian batas wilayah laut (UNCLOS 1982) dengan 10 negara tetangga; (2) penguatan & pengembangan sarpras hankam laut; dan (3) peningkatan kesejahteraan, etos kerja, dan nasionalisme aparat;

2. Penguatan dan pengembangan diplomasi maritime; 3. Revitalisasi (peningkatan produktivitas, efisiensi, dan sustainability) seluruh sektor dan usaha (bisnis) Ekonomi Kelautan yang ada sekarang (existing); 4. Pengembangan sektor-sektor Ekonomi Maritim baru, seperti: industri bioteknologi kelautan, shale and hydrate gas, fiber optics, dan deep sea water industry;

5. Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi (kemakmuran) baru di wilayah pesisir sepanjang ALKI, pulau-pulau kecil, dan wilayah perbatasan, dengan model Kawasan Industri Maritim Terpadu berskala besar (big-push development model).

6. Penguatan dan pengembangan konektivitas maritim: TOL LAUT dan konektivitas digital:

a) Revitalisasi dan pengembangan armada kapal yang menghubungkan pelabuhan utama, dari ujung barat sampai ujung timur NKRI: (Sabang) – Kuala Tanjung – Batam – Tj. Priok – Tj. Perak – Makassar – Bitung – (Morotai) – Sorong – (Kupang).

b) Revitalisasi dan pembangunan pelabuhan baru sebagai tambat labuh kapal, basis logistik, dan kawasan industri

c) Pembangunan transportasi multimoda (sungai, darat, kereta api, atau udara) dari pelabuhan ke wilayah darat (upland areas, dan pedalaman).

d) Konektivitas digital: telkom, fiber optics, dan internet.

7. Semua unit usaha sektor Ekonomi Kelautan harus menerapkan: (1) skala ekonomi (economy of scale); (2) integrated supply chain management system; (3) inovasi teknologi mutakhir (Industry 4.0) pada setiap mata rantai suplai, dan (4) sustainable development principles;

8. Seluruh proses produksi, pengolahan (manufakturing), dan transportasi harus secara gradual menggunakan energi terbarukan (Zero Carbon): solar, pasang surut, gelombang, angin, biofuel, dan lainnya;

9. Eksplorasi dan eksploitasi ESDM serta SDA non-konvensional harus dilakukan secara ramah lingkungan; 10. Pengelolaan lingkungan: (1) tata ruang, (2) rehabilitasi ekosistem yang rusak, (3) pengendalian pencemaran, dan (4) konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity);

11. Mitigasi dan adaptasi terhadap Global Climate Change, tsunami, dan bencana alam lainnya; 12. Peningkatan kualitas dan kuantitas SDM kelautan; 13. Penguatan dan pengembangan R & D guna menguasai, menghasilkan, dan menerapkan IPTEKS.

14. Penciptaan iklim investasi dan Ease of Doing Business yang kondusif dan atraktif; 15. Peningkatan budaya maritim bangsa; 16. Kebijakan politik-ekonomi (fiskal, moneter, otoda, hubungan pemerintah dan DPR, penegakkan hukum, dll) yang kondusif: Policy Banking (Bank Maritim) untuk sektor-sektor ekonomi kelautan.

16. Menciptakan iklim investasi dan kemudahan berusaha yang lebih kondusif dan menarik. 17. Membuat kebijakan politik dan ekonomi (seperti moneter, fiskal, suku bunga dan pinjaman perbankan, ketenagakerjaan, pemerintahan, konsistensi kebijakan, perizinan, dan penegakan hukum) menjadi lebih kondusif. 18. Pembinaan dan peningkatan budaya bahari masyarakat Indonesia.

Selain itu, pada tahun 2018, Biro Kelautan dan Pelabuhan Kementerian Transportasi dan Komunikasi (MOTC) Taiwan menandatangani MOU bekerja sama dengan Universitas Bina Nusantara. Kerjasama ini bertujuan untuk mendorong pertukaran di bidang akademik, kegiatan pelayaran dan maritim, serta pengembangan sumber daya manusia yang professional.

Pada tahun 2019, Gubernur Maluku menginisiasi gagasan kerjasama di bidang perikanan dengan pemerintah kota Kohsiung. Pada tahun 2022 Forum Kerjasama Industri Taiwan-Indonesia dihadiri oleh sektor industri, pemerintah, akademisi dan penelitian. Dan Pada Juni 2022, KDEI Taipei mengunjungi National Taiwan Ocean University untuk peluang kerjasama pendidikan teknologi maritim.

Dengan modal hubungan dan Kerjasama tersebut, Prof Rokhmin mendorong Indonesia-Taiwan untuk memperkuat dan meningkatkan kerjasama dalam mengimplementasikan ekonomi berkelanjutan utamanya di sektor kelautan dan perikanan. dalam hal ini perikanan tangkap.

Sebagai contoh, ada 11 FMZ (Zona Pengelolaan Perikanan) di perairan laut Indonesia. Masing-masing FMZ memiliki potensi produksi berkelanjutan (MSY = Maximum Sustainable Yield).  “Kuota tangkapan adalah 80% MSY dari setiap kelompok stok ikan di setiap FMZ. Kuota tangkapan hanya diberikan untuk kelompok stok ikan yang status tangkapannya underutilized (total catch < MSY) dan fully utilized (total catch = MSY),” terangnya.

Selain itu, lanjut Prof. Rokhmin Dahuri, untuk kelompok stok ikan dengan status tangkapan sudah overfishing (total catch > MSY), tidak diberikan kuota baru. Sebaliknya, upaya penangkapan ikan akan berkurang.

Kuota tangkapan hanya tersedia di 7 FMZ Indonesia: FMZ-711, FMZ-716, FMZ-717, FMZ-715, FMZ-718, FMZ-572, dan FMZ-573. Kuota tangkapan di 8 FMZ Indonesia tersebut adalah untuk Koperasi Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, dan Swasta serta Perusahaan Asing.

“Perusahaan asing dapat beroperasi berdasarkan skema Join Venture yang bermitra dengan perusahaan lokal (Indonesia) atau skema Perusahaan Asing yang diatur secara rinci dalam Undang-Undang Pemerintah yang akan datang,” tegasnya.

Pokok-Pokok Politik Luar Negeri Indonesia

Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, bahwa kebebasan dan kedaulatan adalah hak setiap bangsa di dunia. Oleh karena itu, segala bentuk penjajahan suatu bangsa terhadap bangsa lain harus dilarang keras dan dihapuskan di dunia.

Dasar politik luar negeri Indonesia adalah 'Bebas Aktif' (Politik Luar Negeri Bebas Aktif) dalam mewujudkan "Dunia yang Lebih Sejahtera, Adil, Damai, dan Lebih Baik".

Seiring dengan tumbuh dan berkembangnya Indonesia menjadi bangsa yang maju, sejahtera, dan berdaulat; Indonesia tidak akan menjadi ancaman bagi orang lain, apalagi penjajah. (UUD 1945 Indonesia).

Lanjut Prof Rokhmin Dahuri, Bidang Potensi Kerjasama Maritim Antara Taiwan dan Indonesia diantaranya:

1. Pembangunan infrastruktur: pelabuhan (port); bandara; konektivitas digital; dan pembangkit listrik biru, terutama berbasis laut dan energi terbarukan lainnya termasuk pasang surut, ombak, biofuel dari ganggang laut, angin, matahari, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion).

2. Pembangunan ekonomi: perikanan tangkap (fishing), budidaya pesisir dan laut, industri pengolahan ikan dan hasil laut, industri bioteknologi kelautan, pariwisata bahari, industri dan jasa maritim (misalnya galangan kapal, alat tangkap, rekayasa pesisir dan samudera), transportasi laut, dll .

3. Pengembangan bersama wisata pesisir dan bahari.

4. Perdagangan komoditas, produk, mesin dan peralatan, serta jasa yang berkaitan dengan ekonomi dan industri kelautan. Taiwan harus membantu Indonesia meningkatkan kemampuannya di bidang manufaktur dan proses nilai tambah.

5. Program bersama dalam memerangi IUU (Illegal, Unregulated, and Unreported) fishing, perampokan, perompakan, imigran ilegal, perdagangan narkoba, perdagangan manusia, dan kegiatan kriminal lainnya di laut.

6. Perlindungan lingkungan, konservasi keanekaragaman hayati, dan penerapan Ekonomi Biru untuk memastikan pembangunan maritim yang berkelanjutan.

7. Meningkatkan dan mengembangkan Nelayan dan Pelaut Indonesia yang bekerja di kapal wisata, kapal pengangkut, dll . Bekerja sama dengan SPPI (Serikat Pekerja Perikanan Indonesia), pemerintah Indonesia harus melakukan peningkatan kapasitas (pengetahuan, keterampilan, dan etos kerja) bagi nelayan dan pelaut Indonesia agar kualitasnya sesuai yang teratas, sebelum mereka datang dan bekerja di Taiwan.

“Demikian pula pemerintah dan perusahaan Taiwan juga harus memperlakukan nelayan dan pelaut Indonesia secara manusiawi termasuk gaji yang baik, kesejahteraan, keselamatan jiwa, dan hak asasi manusia,” terangnya.

8. Mengembangkan langkah-langkah mitigasi dan adaptasi Perubahan Iklim Global, tsunami, dan bencana alam lainnya.

9. Penyelesaian sengketa batas laut secara damai.

10. R&D (Research and Development) Bersama di berbagai aspek terkait kemaritiman.

11. Pendidikan dan pelatihan bidang pesisir dan kelautan.

Terkait isu ABK (anak buah kapal) saat ini, Prof. Rokhmin Dahuri mengatakan, tidak adanya kontrol yang memadai oleh lembaga Pemerintah; Penempatan oleh agen tenaga kerja tidak melalui mekanisme: Perintah Pekerjaan, Izin Rekrutmen, Verifikasi Data Calon ABK, Pemeriksaan medis, Uji Kompetensi, Kepesertaan Jamsostek PMI.

Tidak ada database terpadu yang terintegrasi (manning agency, crew yang ditempatkan, agensi luar negeri, dan pengguna jasa) sehingga sulit untuk menangani kasus dengan segera

Perjanjian Kerja Laut yang tidak memihak menyebabkan banyak agen pengawakan dan pemilik kapal lepas dari tanggung jawab melindungi awak kapal. Pengaduan ini terdiri dari ABK prosedural dan nonprocedural.

Tingginya jumlah keluhan awak penempatan Taiwan karena: Sebaran nelayan Indonesia di Taiwan sebagian besar terkonsentrasi di wilayah Taiwan, KDEI Taipei aktif mengawasi dan menangani kasus-kasus ABK, Ada Perwakilan BP2MI di Taiwan yang memfasilitasi koordinasi.

Berdasarkan data yang ditampilkan terlihat jumlah kasus ABK berdasarkan jenis kapal yang menduduki posisi pertama yaitu kasus pada kapal ikan dengan jumlah kasus sebanyak 2.782 kasus.

Gaji yang tidak dibayar menjadi keluhan terbanyak karena kebanyakan pelapor adalah ABK kapal nonprosedural yang lebih rentan terhadap pelanggaran perjanjian kerja dan eksploitasi oleh pengguna.

Kurangnya perlindungan awal berupa pengesahan Perwakilan RI atas Job Order karena awak kapal yang melaut di perairan internasional yang digunakan adalah Letter of Guarantee (LG).

Kemudian, Penempatan ABK oleh agen pengawakan dengan: Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dari Kementerian Perdagangan/Dinas Perdagangan, Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK) dari Kementerian Perhubungan.

Penempatan abk oleh Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) dengan Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI) dari Kementerian Ketenagakerjaan

Penempatan abk dilakukan secara mandiri oleh perseorangan, namun pada umumnya direkrut melalui agen tenaga kerja/P3MI.

Banyak abk yang dipekerjakan tidak memenuhi persyaratan, tidak memiliki latar belakang dan kompetensi yang sesuai dengan bidang pekerjaannya.

Rumah Singgah ABK Dan Overstayer Shelter Indonesia

Prof. Rokhmin Dahuri menuturkan, dalam rangka upaya perlindungan WNI di luar negeri, khususnya anak buah kapal (ABK) yang bekerja di kapal penangkap ikan asing di Taiwan, KDEI Taipei telah mendirikan Rumah Singgah untuk Indonesian Seafarer Corner (ISC).

Pendirian ISC di Taiwan merupakan inisiatif Pemerintah Indonesia untuk memberikan pembinaan dan memfasilitasi penyelesaian masalah bagi ABK yang berada di Taiwan.

Beberapa program ISC antara lain program pendataan WNI, program peningkatan kapasitas ABK WNI dan penyelesaian berbagai permasalahan WNI di Taiwan.

Selain itu, ISC juga berperan sebagai sarana jeda kemanusiaan saat kapal merapat, khususnya bagi ABK LG yang sedang bekerja di berbagai kapal asing di Taiwan.

Penegasan wewenang, tugas, dan fungsi antar lembaga yang menangani penyelenggaraan penempatan dan perlindungan nelayan.

Membangun database terintegrasi antar instansi terkait (Kemenhub, Kemenaker, KKP, Kemenlu, BP2MI).

Membentuk tim investigasi (internal BP2MI) dan sinergi koordinasi antar K/L untuk mengusut tuntas dugaan pelanggaran HAM, tindak pidana ketenagakerjaan, trafficking, dan tindak pidana lainnya.

“Moratorium/penghentian sementara pengiriman nelayan, khususnya nelayan yang bekerja di perairan internasional (Surat Penjaminan ABK) sampai dengan selesainya hasil penyelidikan dan/atau setelah diterbitkannya PP tentang Penempatan dan Perlindungan Awak Perikanan,” pungkasnya.

Komentar