Jumat, 19 April 2024 | 11:00
OPINI

Anang Iskandar: Kecelakaan Legislasi Dalam Pembuatan UU No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Anang Iskandar: Kecelakaan Legislasi Dalam Pembuatan UU No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
Dr Anang Iskandar, SIK, SH, MH

Oleh: Dr Anang Iskandar, SIK, SH, MH, Ahli hukum narkotika mantan KA BNN

Kecelakaan legislasi dalam pembuatan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika mengakibatkan badan atau instansi yang bertanggung jawab sebagai koordinasi penanggulangan narkotika secara preventif dan represif, justru tidak dibentuk sebaliknya malah membentuk badan atau instansi pelaksana penanggulangan narkotika sehingga terjadi dualisme lembaga yang menangani proses penyidikan tindak pidana narkotika.

Secara yuridis dualisme tugas dan tanggung jawab menangani penyidikan narkotika, diharapkan saling bekerja sama untuk mencegah dan memberantas masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, tetapi secara empiris justru tidak effektif dan tidak effisien serta bertentangan dengan prinsip good governance

UU no 8 tahun 1976 tentang pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta protokol yang merubahnya, pasal 35 mengamanatkan kepada Pemerintah dan DPR untuk membuat UU narkotika yang memuat hal hal sebagai berikut:

Pertama, membentuk Badan atau instansi yang bertanggung jawab mengkoordinir langkah preventif dan represif melawan peredaran gelap narkotika serta melakukan kerjasama internasional dengan cara yang tepat tanpa adanya prasangka untuk mewajibkan melalui jalur diplomatik.

Kedua, semua tindakan yang berhubungan dengan kepemilikan narkotika mulai dari penanaman, penawaran untuk penjualan untuk penjualan dan pembelian , import eksport yang berlawanan dengan ketentuan yang berlaku, dilakukan dengan sengaja dapat dikenakan hukuman berupa kehilangan kebebasan.

Apabila ada pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dilakukan oleh penyalah guna narkotika diberikan suatu untuk hukuman atau tambahan hukuman bahwa penyalah guna harus menjalani tindakan perawatan, pendidikan, after-care, rehabilitasi dan integrasi sosial.

Ketiga, memberikan perhatian khusus kepada penyalah guna narkotika dengan melakukan tindakan mencegah, mengidentifikasi dini, perawatan, pendidikan, after-care, rehabilitasi dan reintegrasi sosial.

Keempat, memajukan pelatihan personil dibidang perawatan, after-care, rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi penyalah guna narkotika.

Kelima, melakukan segala upaya untuk membantu masarakat atas pemahaman masalah penyalahgunaan narkotika dan pencegahannya.

Keenam, memajukan pemahaman tersebut apabila terdapat resiko penyalahgunaan akan meluas.

Enam butir amanat UU no 8 tahun 1976 tentang pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta protokol yang merubahnya tersebut, faktanya tidak terwadahi dalam UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika akibatnya UU narkotika yang terasa dominan sebagai hukum pidananya saja, padahal UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika mengatur narkotika secara pidana, secara medis dan sosial.

Kenapa UU no 8 tahun 1976 mengamanatkan dibentuknya Badan atau Instansi yang bertugas dan bertanggung jawab sebagai koordinator pelaksanaan penanggulangan masalah narkotika ?

Karena eksistensi Badan atau Instansi sangat penting, guna mengkoordinasikan langkah preventif yaitu langkah pencegahan, rehabilitasi penyalah guna dan penanggulangan secara non yustisi melibatkan Kemenkes, Kemendagri dan Kemensos; serta mengkoordinasikan langkah represif yaitu langkah penegakan hukum dalam memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika serta

Menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi dimana secara yuridis hukum narkotika di Indonesia ancaman sanksi nya secara pidana, proses peradilannya khusus terhadap penyalah guna dilakukan secara restoratif justice, sanksi bagi pengedar secara pidana sedangkan sanksi bagi penyalah guna berupa sanksi medis dan sosial.

Proses peradilan pidana melibatkan Polri, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Kemenkumham, Kemendagri, Kemenkes dan Kemensos serta dalam rangka koordinasi dan kerja sama internasional dengan penegak hukum negara lain, melibatkan Kemenlu, dengan cara yang tepat, tanpa adanya prasangka untuk mewajibkan melalui jalur diplomatik.

Pemerintah dan DPR menabrak UUD narkotika.

Berdasarkan UUD 1945, Pemerintah dan DPR berperan sebagai lembaga pembentuk UU, dimana dalam sejarahnya Pemerintah dan DPR mengalami kecelakaan legislasi setiap membentuk UU narkotika karena selama ber UU narkotika pembuat UU tidak memperhatikan bahkan menabrak UU no 8 tahun 1976 tentang pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta protokol yang merubahnya, sebagai UU rujukan atau UUD nya narkotika di Indonesia, meskipun pembentukan UU narkotika di Indonesia merupakan juridiksi negara.

Menurut memori pembentukan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika bahwa ketika itu Pemerintah mengajukan RUU narkotika, salah satu point pentingnya adalah membentuk badan atau instansi yang tugasnya bertanggung jawab mengkoordinir langkah prevetif dan represif melawan peredaran gelap narkotika.

Namun badan atau instansi yang diusulkan dibentuk dan bertanggung jawab mengkoordinir langkah preventif dan represif melawan peredaran gelap narkotika tersebut, ternyata dalam proses politik di DPR tidak disetujui.

Yang disetujui dibentuk justru badan atau instansi yang tugasnya melaksanakan penegakan hukum narkotika bukan sebagai koordinator langkah preventif dan represif melawan peredaran gelap narkotika, akibatnya terjadi dualisme lembaga yang bertugas dan bertanggung jawab sebagai pelaksana penyidikan narkotika.

Akibat lebih jauh, tidak ada Badan atau Instansi pemerintah yang memberikan perhatian khusus kepada penyalah guna narkotika dalam hal melakukan langkah preventif yaitu mengidentifikasi dini, perawatan, pendidikan, after-care, rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi penyalah guna narkotika; dan

Tidak ada badan atau instansi pemerintah yang memajukan pelatihan personil dibidang perawatan, after-care, rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi penyalah guna narkotika.

Serta tidak ada badan atau instansi pemerintah yang bertanggung jawab mengambil langkah untuk membantu masarakat dalam rangka memahami masalah penyalahgunaan narkotika dan pencegahannya serta meningkatkan pencegahan apabila terdapat resiko penyalahgunaan akan meluas.

Dampak kecelakaan legislasi.

Pertama, sampai sekarang sejak berlakunya UU no 8 tahun 1976,  Indonesia belum memiliki UU narkotika yang mengatur eksistensi badan atau instansi pemerintah yang bertanggung jawab mengkoordinir penanggulangan narkotika preventif dan represif yang dilakukan oleh BNN, Polri, Kejagung, MA, Kemenkumhan, Kemenkes, Kemendagri dan Kemensos agar satu alignment dalam menanggulangi masalah narkotika yang bersifat rehabilitatif terhadap penyalah guna dan represif terhadap pengedar.

Tidak adanya Instansi Pemerintah yang peduli terhadap penyalah guna narkotika sebagai kriminal sakit kecanduan narkotika dan berpotensi sakau, ketika penyalah guna berhadapan dengan proses penegakan hukum kemudian dijatuhi hukuman penjara, padahal penyalah guna secara yuridis mestinya diberi sanksi menjalani rehabilitasi tetapi secara empiris penyalah guna dijatuhi sanksi pidana penjara.

Dampak lebih jauh dari pemenjaraan penyalah guna narkotika tersebut adalah timbulnya semangat bagi penyidik narkotika dan penuntut umum untuk membawa penyalah guna ke pengadilan sehingga lapas menjadi over kapasitas lapas dan terjadinya anomali lapas di Indonesia.

Kedua, penyalah guna narkotika tidak mendapatkan perhatian dari badan atau instansi pemerintah dalam rangka perawatan dan/atau pengobatan secara phisik maupun psikis, after-care dan reintegrasi sosialnya;

Termasuk penyiapan sumberdaya rehabilitasinya baik pelatihan personil dibidang perawatan, after-care, dan reintegrasi sosial bagi penyalah guna narkotika secara masif sampai ke kab/kota dalam rangka merehabilitasi penderita sakit adiksi kecanduan narkotika.

Ketiga, memenjaraan penyalah guna sebagai orang sakit kecanduan narkotika tidak efektif dan efisien, disamping menyalahi UU narkotika, bertentangan dengan rasa keadilan, pemborosan sumberdaya penegakan hukum, juga merugikan masarakat karena terjadi kerusakan sosial akibat penangkapan, penyidikan, penuntutan dan proses proses pengadilannya.

Ada beberapa pertanyaan mengelitik kenapa harus ditangkap, disidik, dituntut dan diadili, kalau UU narkotika mewajibkan penyalah guna melakukan wajib lapor pecandu agar sembuh dan pulih dan demi hukum status pidana penyalah guna gugur menjadi tidak dituntut pidana ?

Mana yang lebih efektif dan efisien dalam menanggulangi masalah penyalahgunaan narkotika dengan cara non yustisi melalui wajib lapor pecandu dan cara yustisi dengan sanksi menjalani rehabilitasi serta bagaimana kalau sanksinya berupa pemenjaraan ?

Kenapa langkah penanggulangan secara non yustisia berupa wajib lapor bagi penyalah guna tidak diutamakan dimana langkah non yustisia disebut sebagai langkah paling efektif dan efisien dalam menanggulang masalah narkotika ?

Kenapa Kementrian Pendidikan diam ketika hukum narkotika tidak diajarkan di fakultas hukum diseluruh Indonesia ? 

Dimana selama ini para lulusan sarjana hukum pengetahuan hukumnya tidak bulat karena minus hukum narkotika, itu sebabnya saya sarankan agar hukum narkotika diajarkan sebagai mata kuliah di fakultas hukum di seluruh Universitas agar para sarjana hukum memahami hukum narkotika yang mengatur narkotika tidak hanya secara pidana, tetapi juga secara medis dan sosial.

Saran kepada Kemenkes dan Kemensos agar memajukan pelatihan personil dibidang perawatan, after-care, rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi penyalah guna narkotika agar rehabilitasi penyalah guna narkotika baik secara yustisia maupun non yustisia berjalan effektif karena masalah penyalahgunaan narkotika sudah merambah sampai ke desa desa.

Salam anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Rehabilitasi penyalah gunanya dan penjarakan pengedarnya.

Komentar