Jumat, 26 April 2024 | 14:59
NEWS

Working Group Discussion Forum Daerah Kepulauan

Prof. Rokhmin Dahuri: UU Daerah Kepulauan Akan Meningkatkan Kemakmuran Baru Di Wilayah Pesisir

Prof. Rokhmin Dahuri: UU Daerah Kepulauan Akan Meningkatkan Kemakmuran Baru Di Wilayah Pesisir
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, M.S.

ASKARA - Meskipun ada kemajuan (perbaikan) hampir di semua bidang kehidupan, namun sudah 77 tahun merdeka, Indonesia masih sebagai ‘a lower-middle income country’ (GNI perkapita US$ 4.140 tahun ini). 

Demikian disampaikan Pakar Ilmu Kelautan dan Perikanan, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, M.S. pada Working Group Discussion Forum Daerah Kepulauan dengan mengusung tema “Daerah Kepulauan dan upaya Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan”. Diselenggarakan PT Tempo Inti Media, Tbk di Hotel Menara Peninsula, Kamis, 1 Desember 2022.

“Menurut Unesco dan Bank Dunia, suatu negara dinobatkan sebagai negara maju dan makmur, bila kapasitas IPTEK-nya kelas-1 dan GNI perkapita > US$ 13.205,” ujar Prof. Rokhmin Dahuri , dalam paparannya bertema “Undang-Undang Daerah Kepulauan  Sebagai Dasar Akselarsi Pembangunan Pusat-Pusat Pertumbuhan Ekonomi Dan Kemakmuran Baru Di Wilayah Pesisir, Pulau-Pulau Kecil, Dan Laut NKRI”.

Pada kesempatan tersebut, Prof Rokhmin Dahuri memaparkan untuk keluar (lulus) dari middle-income trap, dan menjadi negara yang maju dan makmur, bangsa Indonesia harus menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang: (1) tinggi (rata-rata > 7% per tahun) dalam periode minimal 10 tahun; (2) berkualitas (menyerap banyak tenaga kerja dan mensejahterakan rakyat secara adil); (3) merata secara proporsional antar wilayah; dan (4) berkelanjutan (Mc. Kinsey, 2012; Bank Dunia, 2019; dan Bappenas, 2019).

Hingga Juli 2022, Indonesia masih sebagai negara berpendapatan menengah atas. Faktanya, rata-rata pertumbuhan ekonomi dari 2011 – 2019 hanya 5%, pada 2020 akibat Pandemi Covid-19 terkontraksi menjadi minus 2,07% ( - 2,07%), pada 2021 hanya tumbuh 3,69%, dan tahun 2022 ini diperkirakan sekitar 5,2% (Kemenkeu, 2022).

“Jika kebijakan pembangunan dan pelaksanaannya benar, mestinya pada 2019 – 2024 Indonesia bisa tumbuh > 7% per tahun (Mc. Kinsey, 2020; IMF, 2020; dan INDEF, 2020),” kata Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University ini.

Selain pertumbuhan ekonomi yang rendah (< 7%), lanjutnya, pertumbuhan ekonomi RI juga menyebabkan ketimpangan ekonomi (kaya vs miskin) terburuk ketiga di dunia, dan disparitas pembangunan antar wilayah (daerah-daerah kontinental vs kepulauan) yang sangat timpang.

“Apabila masalah ini tidak segera dikoreksi, maka produktivitas dan daya saing ekonomi RI akan rendah dan susah untuk lulus dari middle-income trap,” kata Prof. Rokhmin Dahuri.

Dalam kesempatan itu, Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2001 – 2004 itu menjelaskan, Indonesia menduduki peringkat ke-3 sebagai negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi (terburuk) di dunia. Menurut laporan Credit Suisse’s Global Wealth Report 2019, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 44,6% kue kemakmuran secara nasional, sementara 10% orang terkaya menguasai 74,1%. “Hingga 2021, peringkat Global Innovation Index (GII) Indonesia berada diurutan ke-87 dari 132 negara, atau ke-7 di ASEAN,” katanya.

Prof. Rokhmin Dahuri menyebut, kekayaan 4 orang terkaya (US$ 25 M = Rp 335 T) sama dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin (40% penduduk) Indonesia (Oxfam, 2017). Bahkan, menurut KPA, katanya, sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan nasional.

Sementara, 40% rakyat termiskin, tingkat konsumsinya hanya tumbuh 1,6% per tahun.  Bahkan pada 2014, menurut Bank Dunia, total konsumsi dari 10% penduduk terkaya setara dengan total konsumsi dari 54% penduduk termiskin.  “KPA menyebutkan sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan nasional,” kata Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu.

Mengutip Institute for Global Justice, Prof. Rokhmin Dahuri mengungkapkan, sekarang 175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh para konglomerat (korporasi) nasional dan asing. Dia menyebutkan, kekayaan 4 orang terkaya (US$ 25 M = Rp 335 T) sama dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin (40% penduduk) Indonesia (Oxfam, 2017). Dari 2005 – 2014, 10% orang terkaya Indonesia menambah tingkat konsumsi mereka sebesar 6% per tahun.

Selanjutnya, Prof. Rokhmin Dahuri mengungkapkan, Indonesia menduduki peringkat ke-3 sebagai negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi (terburuk) di dunia. Menurut laporan Credit Suisse’s Global Wealth Report 2019, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 44,6% kue kemakmuran secara nasional, sementara 10% orang terkaya menguasai 74,1%.  “Hingga 2021, peringkat Global Innovation Index (GII) Indonesia berada diurutan ke-87 dari 132 negara, atau ke-7 di ASEAN,” katanya.

Yang sangat mencemaskan, kata Prof. Rokhmin Dahuri, adalah 1 dari 3 anak di Indonesia mengalami stunting. Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar-Kemenkes terdapat 30,8% anak-anak kita mengalami stunting, 17,7% bergizi buruk, dan 10,2% berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi.

“Apabila masalah krusial ini tidak segera diatasi, maka generasi penerus kita akan menjadi generasi yang lemah fisiknya dan rendah kecerdasannya, a lost generation. Resultante dari kemiskinan, ketimpangan ekonomi, stunting, dan gizi buruk adalah IPM Indonesia yang baru mencapai 72 tahun lalu. Padahal, menurut UNDP, sebuah bangsa bisa dinobatkan sebagai bangsa maju dan makmur, bila IPM nya lebih besar dari 80,” sebut Duta Besar Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Korea Selatan itu.

Mengutip Institute for Global Justice, Prof. Rokhmin Dahuri menyebut, 175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh para konglomerat (korporasi) nasional dan asing. Deindustrilisasi terjadi di suatu negara, manakala kontribusi sektor manufakturnya menurun, sebelum GNI  (Gross National Income) perkapita nya mencapai US$ 13.205. Hingga 2019, Indonesia berada diurutan ke-107 dari 189 negara, atau peringkat ke-6 di ASEAN

Menurutnya, banyak faktor yang menyebabkan Indonesia belum mampu menjadi negara yang maju, adil-makmur, dan berdaulat, mulai dari belum adanya Konsep (Road Map dan Blueprint) Pembangunan Bangsa yang komprehensif dan benar serta diimplementasikan secara berkesinambungan sampai belum adanya pemimpin bangsa yang negarawan (cerdas, capable, taat hukum, tidak mementingkan diri dan kelompoknya, berakhlak mulia, dan IMTAQ menurut agamanya).

“Dan, salah satu penyebab utamanya adalah karena platform pembangunan nasional yang berbasis daratan (kontinental) di negara kepulauan terbesar di dunia dengan wilayah laut sekitar 77% total wilayah NKRI.  Padahal, ‘Geography is Destiny’ (Webber, 1960; Issard, 1972),” tandas Ketua Dewan Pakar Aspeksindo itu.

Potensi pembangunan (SDA dan JASLING) yang luar biasa besar di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, dan laut (Propinsi-Propinsi Daerah Kepulauan) belum dimanfaatkan secara optimal atau ‘dicuri’ pihak asing. Akibatnya: sebagian besar wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sangat tertinggal, miskin, dan hanya dihuni oleh penduduk yang kurang produktif [usia < 15 tahun (anak-anak) dan usia > 64 tahun atau lansia], shingga menjadi beban pembangunan (cost center), bukan pusat kemajuan dan kemakmuran (competitiveness and profit centers).

Akar permasalahan (root causes) dari ketertinggalan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota Kepulauan) adalah karena rendahnya alokasi APBN, minimnya infrastruktur dan konektivitas, dan rendahnya aktivitas investasi, produksi serta bisnis.

Rendahnya alokasi APBN untuk Propinsi, Kabupaten/Kota Daerah Kepulauan (dana transfer ke daerah), karena selama ini Pemerintah RI (pusat) mengalokasikan dana transfer ke daerah hanya berdasarkan pada luas daratan dan jumlah penduduk.  Sementara itu; Propinsi, Kabupaten/Kota Daerah Kepulauan sebagian besar wilayahnya (>75%) berupa laut.

UU Daerah Kepulauan selain dapat meningkatkan dana transfer, UU ini juga akan: (1) meningkatkan pembangunan infrastuktur dan konektivitas; (2) memikat SDM berkualitas; (3) meningkatkan aktivitas investasi, produksi dan bisnis; (4) memacu daya saing dan pertumbuhan ekonomi berkualitas;  (5) meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah-daerah kepulauan; dan (6) mengurangi secara signifikan disparitas pembangunan antar wilayah.

“Oleh sebab itu, RUU Daerah Kepulauan yang sudah disusun sejak awal 2004, diusulkan Pemerintah kepada DPR sejak 2005, dan masuk Prolegnas 2021 dan 2022; dan kembali masuk dalam Prolegnas 2023; sudah semestinya menjadi UU Daerah Kepulauan pada 2023 (tahun depan) !” kata Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020 – Sekarang.

Menurutnya, kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan kegiatan ekonomi di darat (lahan atas)  yang menggunakan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services) yang dibutuhkan umat manusia.

Total potensi ekonomi sebelas sektor Kelautan Indonesia: US$ 1,348 triliun/tahun atau 5 kali lipat APBN 2021 (Rp 2.400 triliun = US$ 190 miliar) atau 1,3 PDB Nasional saat ini.

Selanjutnya, Prof Rokhmin Dahuri mengatakan, untuk lapangan kerja 45 juta orang atau 40% total angkatan kerja Indonesia. Pada 2014 kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia sekitar 20%.  Negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil (seperti Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia), kontribusinya > 30%.

Kontirbusi sektor perikanan 2,74% terhadap PDB hanya dihitung dari bahan baku (raw materials).  Bila dimasukkan produk olahannya (ikan kaleng, ikan fillet, bandeng presto, breaded shrimp, dan surimi-based products), kontribusinya sekitar 6% (Bappenas, 2014).

“Sebagai negara maritim dan agraris tropis terbesar di dunia, Indonesia sejatinya memiliki potensi sangat besar untuk berdaulat pangan, dan bahkan feeding the world (pengekspor pangan utama),” kata Prof. Rokhmin Dahuri.

Trend produksi perikanan tangkap Indonesia terus meningkat dibanding negara produsen utama lainnya. Sejak 2009, Indonesia menjadi produsen akuakultur terbesar ke-2 di dunia setelah Tiongkok

Secara geoekonomi, wilayah laut NKRI dengan ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) nya merupakan pusat Sistem Rantai Pasok Global, dimana sekitar 45% total barang (komoditas dan produk manufaktur) yang diperdagangkan di dunia, dikapalkan (ditransportasikan, didistribusikan) dengan nilai rata-rata US$ 15 trilyun/tahun (UNCTAD, 2016).

Selat Malaka sebagai bagian dari ALKI-1 merupakan jalur transportasi laut terpendek yang menghubungkan S. Hindia dengan S. Pasifik.  Menghubungkan raksasa-raksasa ekonomi dunia, termasuk India, Timur-Tengah, Eropa, dan Afrika di belahan Barat dengan China, Korea Selatan, dan Jepang di belahan Timur.  

ALKI-1 melayani pengangkutan sekitar 80% total minyak mentah yang memasok Kawasan Asia Timur (China, Taiwan, Jepang, dan Korea) dari Kawasan Timur- Tengah dan Afrika. Volume minyak mentah yang dikapalkan via S. Malaka sekitar 16 juta barel/hari, 20 kali lipat total produksi minyak mentah Indonesia, dan 4 kali lipat total minyak mentah yang diangkut via Terusan Suez.

Jumlah kapal yang melintasi ALKI-1 mencapai 100.000 kapal per tahun.  Sementara, Terusan Suez dan Terusan Panama masing-masing hanya dilewati oleh 18.800 dan 10.000 kapal per tahun (Calamur, 2017).   Pendapatan Otoritas Terusan Suez mencapai rata-rata Rp 220 milyar per hari (Rp 80,7 trilyun per tahun).  Bandingkan anggaran (APBN) KKP 2021 hanya Rp 7 trilyun.

Secara geologis, oseanografis, dan klimatologis; Indonesia secara kontinu dilalui oleh ARLINDO (Arus Laut Indonesia) atau ITF (Indonesia Through Flow) dari S. Pasifik ke S. Hindia, dan sebaliknya.  Arus laut abadi yang merupakan bagian dari “Global Conveyor Belt” ini merupakan sumber energi kelautan terbarukan (arus laut, pasang surut, dan gelombang) yang sangat besar potensinya, khususnya di selat-selat seperti Selat Malaka, S. Sunda, S. Bali, S. Lombok, S. Makassar, S. Alas, S. Baubau, dan S. Larantuka.

Arus abadi sebagai bagian dari Global Conveyor Belt, yakni: 1. Sumber energi terbarukan, 2. Energi hidrokinetik. 3. Bebas Emisi Karbon, 4.Aliran arus menciptakan habitat bagi 50% spesies ikan dunia, dan 75% terumbu dunia berkumpul di Indonesia.

Prof. Rokhmin Dahuri meyakini, UU Daerah Kepulauan akan meningkatkan kemampuan Propinsi-Propinsi, Kabupaten/Kota Daerah Kepulauan untuk membangun wilayahnya berbasis Ekonomi Kelautan untuk menjadi daerah-daerah maju, sejahtera, dan mandiri.

“Sekaligus berkontribusi signifikan dalam mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia dan Indonesia Emas pada 2045,” kata Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Lautan, Universitas Bremen, Jerman itu.

Komentar